"Aku hamil."
Savanna yang mendengar sahabatnya hamil pun terkejut, dia menatap sahabatnya dengan tatapan tak percaya.
"Dengan Darren , maaf Savanna."
"Nadia, kalian ...." Savanna membekap mulutnya sendiri, rasanya dunianya runtuh saat itu juga. Dimana Darren merupakan kekasihnya sekaligus calon suaminya telah menghamili sahabatnya.
***
"Pergi, nikahi dia. Anggap saja kita gak pernah kenal, aku ... anggap aku gak pernah ada di hidup kalian."
Sejak saat itu, Savanna memilih pergi keluar kota. Hingga, 6 tahun kemudian Savanna kembali lagi ke kota kelahirannya dan dia bertemu dengan seorang bocah yang duduk di pinggir jalan sedang menangis sambil mengoceh.
"Daddy lupa maca cama dedek hiks ... dedek di tindal, nda betul itu hiks ..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa bisa tubuhmu penuh luka?
Jam menunjukkan pukul 11 malam, Darren baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Karena ada masalah di bagian keuangan sehingga dirinya harus turun tangan sendiri untuk menyelesaikannya.
Dengan wajah letih, Darren menaiki tangga. Sebelum dia ke kamarnya, Darren memutuskan untuk ke kamar putranya terlebih dahulu.
"Aku harus melihat luka Gibran, luka itu sudah kering atau belum." Gumam Darren sambil membuka pintu kamar putranya.
Cklek!
Darren kembali menutup pintu kamar si kembar, dia menaruh tas kerjanya di sofa mini dan berjalan ke arah ranjang si kembar sambil melepas jas yang masih melekat.
Jasnya ia taruh di ujung ranjang, tangannya pun menarik selimut yang Gibran kenakan. Netranya langsung tertuju pada kaki Gibran yang masih terdapat luka gores walau plester luka sudah di lepas.
"Sudah kering, tapi aku harus memakaikannya obat lagi." Gumam Darren.
Darren menegakkan tubuhnya, dia akan membuka laci nakas yang berada di samping Gibran. Namun, netranya melihat benda yang di gunakan untuk mengompres luka lebam tergeletak di atas nakas.
"Apa ini?" Gumam Darren.
"Siapa yang terluka?" Batin Darren.
Darren melirik Gabriel, tak ada yang aneh dari putranya itu karena Gabriel memakai celana tidur selutut dan baju tidur tanpa lengan. Sementara Gibran, anak itu memakai baju tidur panjang, seketika Darren menarik celana Gibran.
Matanya terbelalak kaget saat melihat banyak sekali luka kebiruan bahkan keunguan pun tercetak jelas. Tak sampai di sana, Darren langsung melepas atasan yang Gibran kenakan.
"Astaga." Lirih Darren.
Karena merasa tidurnya terusik, Gibran membuka matanya. Dia terkejut saat mendapati sang daddy yang tengah melihat ke arah lukanya.
"Daddy."
"Diam! Kenapa bisa tubuhmu penuh luka hah!!!" Sentak Darren.
Gibran terkejut saat Darren mendudukkan tubuhnya, daddynya itu melihat ke arah punggung nya. Seketika tubuh Darren meluruh saat melihat banyak sekali luka lebam yang putranya dapatkan.
"Apa ini Gibran? kenapa banyak luka seperti ini?" Tanya Darren dengan suara bergetar.
Gabriel yang mendengar suara berisik terbangun, dia mendudukkan dirinya dan mengucek matanya. Kantuk yang menderanya hilang seketika saat melihat Darren tengah melihat kondisi sang adik.
"Daddy." Cicit Gabriel.
Darren menoleh, dengan tergesa-gesa Darren bangkit dan sedikit berlari ke arah putra sulungnya. Darren yang melihat kondisi Gibran tadi seketika mengkhawatirkan Gabriel. Apakah mereka memiliki luka yang sama atau tidak.
"Daddy mau apa?" Panik Gabriel saat Darren berusaha membuka bajunya.
"Diam! kamu pasti sama seperti adikmu kan!"
Darren melepas baju Gabriel, tetapi punggung Gabriel mulus. Tak seperti punggung Gibran. Sejenak Darren bisa menghela nafasnya, setidaknya Gabriel tak mengalami hal serupa dengan Gibran.
"Hiks ... hiks ... hiks." Gibran yang merasa ketakutan oun menangis.
Darren segera kembali kepada Gibran, dia memakaikan kembali celana Gibran dan memangku putranya.
"Gabriel, ambilkan ponsel di tas daddy yang ada di sofa." Titah Darren.
Gabriel mengangguk, dia turun dari tempat tidur dan mengambil tas Darren yang tergeletak di sofa. Setelah mengambilnya, Gabriel kembali dan menyerahkannya pada sang daddy.
"Kenapa kalian tidak bilang daddy jika Gibran terluka? apa kalian tahu, betapa panik nya daddy." Lirih Darren sambil mencari nomor kontak seseorang.
Darren menempelkan benda pipih itu di telinganya, dia sedang menunggu seseorang di sebrang sana mengangkat telponnya.
"Halo? lu kagak liat jam apa Ren? ini tengah malem? gue lagi nina ninu ama bini gue, gara-gara lu jadi gagal kan!"
"Jangan bercanda sekarang Dim! lebih baik lo ke rumah gue, tolong periksain anak gue. Gue mohon, sekarang," ujar Dareen dengan suara bergetar.
"I-iya, gue ke sana sekarang." Sepertinya Dimas ikutan panik, sebab jarang sekali Darren memohon padanya kecuali karena kondisi putra kembarnya.
Darren mematikan sambungan itu, dia meletakkan ponselnya begitu saja di ranjang dan kembali memperhatikan luka biru keunguan di punggung putranya.
"Apa kalian habis bertengkar? bicara pada daddy, siapa yang membuat Gibran seperti ini?"
Gabriel diam, begitu pula Gibran yang hanya bisa menangis. Darren yang tak mendapat jawaban pun menahan emosinya, tetapi dia sadar jika saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk memaksa mereka berbicara.
Darren memilih diam, sehingga kini kamar si kembar hanya terisi isakan Gibran. Selang beberapa saat, terdengar derap langkah kaki terdengar menuju kamar si kembar.
Cklek!
Dimas datang dengan tas peralatannya, dengan tergesa-gesa dia menghampiri Darren yang duduk di tepi ranjang sambil menimang Gibran yang kini tertidur.
"Ada apa?" Bisik Dimas.
Darren meletakkan jari telunjuknya di bibirnya, dia mengisyaratkan agar Dimas diam terlebih dahulu. Dia pun dengan perlahan melepas kembali celana putranya, kini hanya tersisa dalaman saja.
"Lu nyiksa anak lu ya?" Tuduh Dimas saat melihat banyak sekali luka lebam di paha putra sahabatnya.
"Ngaco!" Geram Darren dengan suara lirih.
Dimas pun meletakkan tasnya, dia berjongkok dan memperhatikan luka yang yang terdapat pada paha putra sahabatnya itu.
"Ini luka lebam nya parah, ini." Gumam Dimas.
Dimas menyentuh luka lebam itu, dan benar saja Gibran merengek di dalam tidurnya. Darren menepuk tangan Dimas dengan kesal, putranya akan terbangun dan menangis. Sehingga mereka akan kesulitan memeriksanya.
"Si Gabriel mana?" Tanya Dimas.
"Tuh." Unjuk Darren.
Dimas melihat Gabriel yang ternyata sudah kembali tertidur di ujung ranjang, bahkan anak itu sepertinya sudah terlampau pulas sebab menunggu Dimas.
"Dia gak papa?" Tanya Dimas dan Darren pun menggeleng sebagai jawaban.
"Apa mungkin Gabriel yang pukul? biasa anak kecil suka bertengkar kan?" Pertanyaan Dimas membuat Darren mendelik sebal.
"Enggak mungkin! Gabriel sangat menjaga adiknya, bahkan Gibran di gigit nyamuk saja Gabriel tidak terima. Apalagi sampai seperti ini," ujar Darren dengan kesal.
Dimas pun kembali mengecek luka yang di terima oleh Gibran, dia tengah memikirkan luka yang Gibran dapatkan.
"Ini seperti luka pukulan, lukanya lebih besar. Coba lo balikkan dia, gue ingin mengecek punggung nya."
Dengan perlahan Darren menidurkan Gibran di tempat tidur, dia membalikkan tubuh putranya dengan hati-hati. Sehingga kini Gibran tertidur dengan posisi tengkurap.
"Waduh, parah juga." Gumam Dimas.
Dimas memegang beberapa luka lebam, tetapi keningnya mengerut ketika merasakan ada yang tidak beras dari kondisi Gibran.
"Besok pagi, lo bawa Gibran ke rumah sakit. Gue rasa, tulang belakang anak lu ini ada yang geser, makanya luka lebamnya bisa sebesar ini. Apa dia enggak mengeluh apapun?"
Darren syok mendengarnya, dia pikir hanya luka luar saja. Ternyata luka lebam di punggung putranya lebih besar akibat ada sesuatu yang salah pada organ dalamnya.
"Besok gue tunggu di rumah sakit, tapi gue herannya bisa yah anak lo gak demam dapet lebam begini." Heran Dimas.
Darren pun mengakui, jarang sekali putra kembarnya mengeluh sakit. Bahkan ketika demam pun hanya Gibran yang menangis, dan itu pun hanya sebentar.
"Kira-kira, siapa yang buat Gibran seperti ini?" Tanya Darren dengan sorot mata yang tajam.
"Gue enggak tahu, apa lo pake pengasuh buat ngurus mereka?" Pertanyaan Dimas membuat Darren bungkam.
"Iya, gue sibuk kerja sehingga si kembar gak ada yang ngurus. Gue pakai jasa baby sitter," ujar Darren.
Dimas menggelengkan kepalanya, dia mendongak dan memperhatikan setiap sudut kamar si kembar.
"Ck, kok bisa lo tenang saat titipin mereka ke orang asing Ren?"
"Maksudnya?" Bingung Darren.
Dimas beralih menatap Darren, dirinya pun kesal saat tak mendapati apa yang dirinya cari sejak tadi.
"Lo gak naruh CCTV atau kamera pengintai di kamar putra lo? gimana pun juga, lo titipkan si kembar pada orang asing. Jika mereka remaja, oke lah karena mereka butuh privasi. Tapi mereka masih kecil, butuh pengawasan lebih. Menurut gue, lo bodoh Ren,"
______
Jangan lupa dukungannya