Devan kaget saat tiba-tiba seseorang masuk seenaknya ke dalam mobilnya, bahkan dengan berani duduk di pangkuannya. Ia bertekad untuk mengusir gadis itu, tapi... gadis itu tampak tidak normal. Lebih parah lagi, ciuman pertamanya malah di ambil oleh gadis aneh itu.
"Aku akan menikahi Gauri."
~ Devan Valtor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diana murka
Pandangan Devan tak beralih dari Gauri sedikit pun saat mereka keluar dari ruangan kepala sekolah. Koridor sepi. Sudah bel masuk sekitar lima menit yang lalu. Biasanya Devan tidak suka terlambat, tapi hari ini ia bahkan tidak sadar kalau dirinya akan mengajar mata pelajaran pertama.
Fakta tentang Gauri anak dari seorang wanita yang dia hormati, begitu membuatnya terkejut sekaligus senang. Devan sesekali tertawa kecil melihat Gauri yang terus memeluk kotak cokelatnya dengan wajah berseri-seri. Saat ia mengambil sebuah cokelat dari dalam cokelat, ia berbalik, menatapi Devan dengan mata bulatnya yang bersinar cerah.
"Kakak mau?" gadis itu menawarkan.
Devan tidak suka cokelat karena terlalu manis. Tapi karena Gauri yang menawarkan, dia mengangguk tanpa paksaan. Ia melihat Gauri membuka bungkus cokelat itu dan maju untuk menyuapi Devan.
Devan segera menunduk dan membuka mulutnya dan menerima cokelat dari tangan Gauri.
"Enak?" tanya Gauri, wajahnya penuh harap.
Devan mengangguk, tersenyum.
"Enak sekali. Terima kasih." Padahal lidahnya terasa aneh karena rasa manis yang berlebihan.
Gauri tertawa senang. Dari kejauhan, Diana melihat mereka dengan raut wajah tidak suka. Sikap Devan begitu lembut pada gadis gila itu, jelaslah dia cemburu. Karena tidak tahan, Diana mendekat.
"Pak Devan,"
Suaranya dan suara langkah kakinya membuat Gauri segera menutup kembali kotak cokelat pemberian tante Victoria dan menempel pada Devan. Wajah Devan berubah dengan cepat datar kembali. Ia hanya menatap Diana, menunggu wanita itu bicara.
"Bukannya sekarang pak Devan ada kelas ya? Bapak lupa?" ia sengaja mengingatkan.
"Aku tahu, kau tidak perlu mengingatkanku." balas Devan datar.
"Kakak ganteng, itu bu guru yang selalu marahin Ares ..." lapor Gauri. Ketika Diana menatapnya, dengan cepat ia bersembunyi di belakang tubuh Devan.
Diana menahan amarahnya dalam hati. Perempuan gila.
"Pak Devan tidak usah hiraukan kata-katanya. Ares memang sering membantah saya di kelas, jadi saya sering menegurnya." ia berusaha menjelaskan karena tidak ingin Devan salah paham. Padahal Devan tahu sekali Ares anaknya seperti apa. Laki-laki itu tidak akan melawan guru kalau di tegur. Kecuali teguran dari guru di rasa tidak masuk akal sama dia.
"Devan!" Kali ini yang memanggilnya adalah Agam. Pria itu datang lengkap dengan pakaian dokternya.
Diana juga kenal pria itu. Sepertinya halnya Devan, Agam juga adalah teman sekelasnya di SMA dulu. Salah satu cowok yang populer di masa itu bareng Devan. Ada Gino juga. Diana sudah tahu Agam kerja di rumah sakit sebelah, tapi ia jarang sekali melihat pria itu.
"Kak Agaam!" Gauri berseru senang memanggil Agam yang tengah berjalan ke arah mereka, tapi tidak berlari ke pria itu. Ia terus melekat pada Devan.
Agam berhenti tepat di sisi Gauri dan Devan lalu menghela nafas panjang. Ia mencubit gemas pipi Gauri.
"Kamu itu, kakak udah bilang kan jangan keluar sendiri. Mulai nakal ya kamu sekarang." Agam menegur tapi suaranya tetap lembut. Gauri malah tertawa sambil terus memeluk Devan dari belakang.
Melihat kedua laki-laki itu begitu dekat dengan si perempuan gila, Diana makin meradang. Setelah beberapa menit barulah Agam menyadari keberadaannya. Dahi Agam mengernyit seolah merasa wajah Diana terlihat familiar.
"Kamu ..?"
"Aku Diana, teman sekelas kalian dulu waktu SMA!" balas Diana langsung. Berharap Agam akan antusias begitu mengingatnya, sayang sekali tidak. Sama saja dengan Devan. Meski sedikit lebih baik reaksinya dari Devan, tetap saja pria itu hanya mengangguk singkat dan tersenyum tipis lalu pandangannya fokus kembali ke Gauri lagi. Benar-benar menyebalkan.
"Gauri, ayo balik sama kakak ke rumah sakit." ucap Agam lembut sambil mengusap kepala Gauri tapi gadis itu menggeleng.
"Masih mau sama kak Devan." katanya.
Agam dan Devan saling menatap.
"Tapi kak Devannya mau ngajar sayang, nanti aja ya?" kata Agam lagi. Wajah Gauri berubah. Pelukannya di lengan Devan semakin erat.
"Gak mau, mau sama kak Devan!"
Diana yang melihat kelakuan gadis itu tersenyum sinis. Tapi cepat-cepat merubah ekspresinya takut keliatan oleh dua laki-laki tampan itu.
Agam menatap Devan, seolah menyuruh lelaki itu saja yang membujuk Gauri. Devan pun melakukannya. Ia berbalik dan bicara dengan lembut sekali pada gadis itu.
"Gauri, Kakak harus mengajar. Nanti kalau kakak udah selesai ngajar, kakak menemuimu lagi. Bagaimana?" bujuk Devan.
Gauri menggeleng keras.
"Nggak mau! Gauri mau ikut kakak mengajar!"
"Nggak bisa, Gauri. Di kelas nanti ramai, Gauri nggak akan nyaman," balas Devan lembut. Ia berusaha melepaskan pelukan Gauri, tetapi gadis itu semakin erat memeluknya.
Agam menghela napas. Ia tahu betul betapa keras kepalanya Gauri jika sudah menginginkan sesuatu. Diana hanya bisa menyaksikan drama itu dengan tatapan jengkel.
"Gauri, jangan gitu. Nanti kakak nggak bisa kerja. Kalo gak bisa kerja, gak bisa beliin Gauri boneka."
Perkataan Devan membuat Gauri melonggarkan pelukannya.
"Boneka?"
Devan mengangguk. Sementara Agam tertawa kecil. Bisa saja si Devan cari idenya.
"Boneka beruang besar?!"
Devan mengangguk lagi.
"Kalo gitu kak Devan kerja aja, biar nanti bisa beliin Gauri boneka!"
Devan tersenyum lega.
"Nah, gitu dong. Anak pintar. Kakak janji, nanti setelah selesai mengajar, kakak akan langsung belikan Gauri boneka beruang besar."
Gauri tersenyum lebar.
"Janji?"
"Janji," jawab Devan sambil mengacungkan jari kelingkingnya. Gauri menyambut jari kelingking Devan dengan jari kelingkingnya sendiri kemudian berpindah ke dekat Agam.
Agam menggandeng tangan Gauri.
"Ayo balik," ucapnya.
Gauri melambaikan tangannya pada Devan.
Devan membalas lambaian tangan Gauri dengan senyuman. Ia merasa lega karena akhirnya bisa membujuk Gauri. Ia kemudian berbalik dan berjalan menuju kelasnya seolah tak ada lagi orang lain yang berdiri di belakangnya.
Diana masih berdiri di tempat yang sama, menatap kepergian Devan dengan tatapan kecewa dan jengkel. Ia tidak habis pikir bagaimana bisa Devan begitu perhatian pada Gauri. Ia merasa semakin cemburu dan sakit hati.
"Gadis gila itu, apa hebatnya?"
Ia lalu berbalik menuju kelasnya mengajar hari ini. Masih kesal karena sikap cuek Devan dan Agam, Diana di buat makin kesal lagi pada saat tiba di kelas XII⁴, dan melihat kelas tersebut kacau sekali. Murid-muridnya malah main lempar bola basket padahal sudah jam pelajaran. Diana langsung murka dan berteriak kasar.
"DIAM SEMUA!!"
Sontak, kelas menjadi hening. Semua mata tertuju pada Diana yang berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam.
"Kalian ini sudah kelas XII! Sebentar lagi ujian! Kenapa kelakuannya seperti anak kecil?!" bentak Diana dengan suara lantang.
Ares menyeringai sinis.
"Santai saja, bu. Kami hanya menghilangkan penat," jawabnya dengan nada mengejek.
Diana semakin geram mendengar jawaban Ares.
"ARES, KELUAR KAMU! KAMU TERLALU BANYAK BERTINGKAH, KAMU TIDAK PERLU LAGI MASUK KELAS SAYA!"
Hening. Senyuman di wajah Ares ikut hilang. Ia menatap Diana tajam, lalu keluar. Teman-temannya langsung berbisik-bisik, merasa bu Diana terlalu berlebihan.
Devan Ampe gak tenang disamping Gauri, terlalu banyak hal yg bikin degdegan ya Van 🤭
Tapi gimana Gauri ga tergantung sama bapak,, perhatiannya itu lho...,, Gauri ga tau sj kalo pak Devan sudah dag Dig dug ser....🤭
Sabar yah Van 🤭🤭🤭