“Lo cantik banget, sumpah,” bisiknya. “Gue gak bisa berhenti mikirin lo. Pingin banget lakuin ini sama lo. Padahal gue tahu, gue gak seharusnya kayak gini.”
Tangan gue masih main-main di perutnya yang berotot itu. “Kenapa lo merasa gak boleh lakuin itu sama gue?”
Dia kelihatan kayak lagi disiksa batin gara-gara pertanyaan itu. “Kayak yang udah gue bilang ... gue gak ngambil apa yang bukan milik gue.”
Tiba-tiba perutnya bunyi kencang di bawah tangan gue, dan kita berdua ketawa.
“Oke. Kita stop di sini dulu. Itu tadi cuma ciuman. Sekarang gue kasih makan lo, terus lo bisa kasih tahu gue alasan kenapa kita gak boleh ciuman lagi.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Pendekatan
Gue tahu Nauru ada janji malam ini, makanya gue datang lebih awal.
Lagian, ini kan malam Valentine.
"Lo gak usah nemenin gue juga gak apa-apa, kok. Gue bisa minum air di apartemen gue. Lo pasti punya rencana sendiri buat malam ini," kata gue, sambil menahan rasa penasaran.
Gue pingin banget tahu, dia punya pacar nggak sih?
Gue gak pernah lihat dia bareng siapa-siapa, tapi sekarang gym jadi rame sama cewek-cewek karena Nauru sudah jadi seleb gara-gara berita pertarungan dia sama Rahardian.
Dan jujur saja, gue pingin banget mencungkil mata mereka satu-satu. Soalnya ... gue gak punya hak apa-apa atas Nauru. Kita bahkan gak bisa dibilang berteman.
"Itu cara lo nanya apakah gue ada acara malam Valentine?"
Suaranya tuh ... gila sih, seksi banget. Kadang gue sampai susah napas kalau dekat dia. Tatapan dia yang dalam selalu bikin gue merasa aneh tiap kali mata kita mengunci satu sama lain.
"Bukan. Kenapa juga gue harus peduli lo ngapain pas Valentine? Gue cuma gak pingin nahan-nahan lo di sini."
"Terus lo sendiri? Gak ada acara malam ini? Bentar, gue tebak. Lo pasti lagi dekat sama cowok tajir yang suka pakai polo dan nyetir Lambo?"
Gue mencoba gak senyum, tapi ya gagal juga. "Salah. Dan itu cara lo nanya apakah gue ada acara Valentine?"
"Itu memang cara gue," suaranya dalam, agak serak.
Gue langsung merasa ruangan jadi panas. Gue minum air lagi. Kadang dia kayak menggoda gue, tapi kadang juga kayak benci banget lihat gue.
Tapi jantung gue langsung mengebut pas dia mengaku kalau dia memang pingin tahu.
"Gue tebak lo lagi nanya buat ... teman ya?" Gue senyum tipis.
Dia jilat bibir bawahnya pelan banget dan gue langsung mengapit paha gue sendiri, mencoba duduk lebih nyaman, terus buang napas pelan.
Gue benar-benar frustasi.
Nauru bikin hormon gue rusuh parah.
"Jadi gini, si Beefcake tuh ngomongin lo. Jadi gue harus pastiin gak ada yang nge-deketin cewek dia pas dia lagi gak lihat."
Gue langsung ketawa sampai nunduk. Chumpa itu anak paling menggemaskan yang pernah gue kenal. Gue tahu Eros punya anak, tapi gue kan kuliah di luar kota beberapa tahun, jadi baru ketemu sekarang.
"Bilangin ke dia kalau gue gak bakal pernah nyakitin Beefcake. Gue tahu dia itu sesuatu yang berharga."
"Yakin banget lo. Tapi sekarang, gimana kalau lo cerita kenapa tadi lo sampai pingsan?"
Tatapannya jadi makin dalam pas dia memperhatikan gue.
"Gue, nggak apa-apa, biasa aja."
"Jangan ngibul deh, Ailsa. Gue tahu banget kayak gimana muka orang ketakutan. Gue lihat ekspresi lo. Pingko emang gak jago baca sinyal. Tapi lo kelihatan takut banget. Lebih dari takut malah, kayak... gelisah setengah mati."
Gue alihkan pandangan. Bagaimana caranya dia bisa lihat semua itu padahal posisi dia jauh?
"Lo salah nangkep aja kali."
"Gak juga. Kenapa lo gak cerita aja?"
"Cerita apaan?"
"Siapa yang bikin lo jadi kayak gini? Siapa yang bikin lo merasa lo harus selalu waspada? Kakak lo?"
Itu langsung bikin emosi gue naik. Oke, memang dia punya alasan buat menuduh Caspian. Ya, memang kakak gue itu pecandu dan sudah mencuri uang dari gue, tapi dia gak pernah menyakiti gue.
"Lo pasti mikir ini gara-gara Caspian, ya?"
"Dia kandidat paling kuat, sih."
"Gue udah bilang, gue gak takut sama kakak gue. Dia gak bakal nyakitin gue."
"Dia bisa aja nyakitin lo waktu ngerampok toko lo. Kalau gak salah, lo sampai luka kena pecahan kaca, kan?" katanya sambil menatap tangan gue, terus dia ambil tangan gue dan memasukan ke telapak tangannya yang besar.
Dia balik tangan gue, lihat bagian dalamnya, terus jarinya jalan pelan di sepanjang bekas luka yang masih tersisa.
Gue keluarkan napas pelan sambil menyandar ke bangku. Tapi gue gak tarik tangan gue. Gue suka cara dia memegang tangan gue. Cara dia bikin gue merasa kayak dilindungi. Gue memang gak gampang percaya sama seseorang, tapi entah kenapa, gue percaya sama Nauru. Dia gak pernah menyebarkan soal kakak gue ke siapa pun setahu gue, ya.
"Gue ikut kelas tinju bukan karena gue takut sama Caspian," bisik gue.
"Tapi lo takut sama seseorang?"
"Gue gak takut siapa-siapa. Tapi gue sadar aja, banyak orang yang lebih kuat dari gue. Dan gue pingin mempersiapkan diri."
"Lo lagi siapin diri buat ngadepin orang yang lo kenal? Orang yang udah pernah bikin lo takut?"
Gue pingin banget berdiri dan langsung cabut. Gue gak pingin ngomongin ini. Tapi cara dia mengelus telapak tangan gue bikin gue tenang banget. Padahal topiknya berat.
"Oke. Iya. Gue pernah ada di situasi yang... gue gak mau terulang lagi."
Tatapan dia jadi lembut. Rambutnya gelap dan agak berantakan, rahangnya tajam dengan sisa-sisa brewok tipis, dan mata dia menembus langsung ke hati gue.
"Orang yang bikin lo merasa kayak gitu, dia masih di kota ini?"
Gue gigit bibir bawah, terus senyum dikit. "Lo mau ngapain, Nauru? Hajar dia?"
"Iya. Gue gak keberatan. Bisa sekalian buat latihan juga."
Ya Tuhan ... cowok ini cakep banget.