Olivia Xera Hilson, gadis cantik dan berwibawa yang tumbuh dalam bayang-bayang kekuasaan, terpaksa menerima tawaran pernikahan dari Vincent Lucashe Verhaag seorang pria karismatik sekaligus pewaris tunggal keluarga bisnis paling berpengaruh di Amerika.
Namun di balik cincin dan janji suci itu, tersembunyi dua rahasia kelam yang sama-sama mereka lindungi.
Olivia bukan wanita biasa ia menyimpan identitas berbahaya yang dia simpan sendiri, sementara Vincent pun menutupi sisi gelap nya yang sangat berpengaruh di dunia bawah.
Ketika cinta dan tipu daya mulai saling bertabrakan, keduanya harus memutuskan. apakah pernikahan ini akan menjadi awal kebahagiaan, atau perang paling mematikan yang pernah mereka hadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Handayani Sr., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Vincent dan Roger akhirnya tiba di kamar dan mendapati Olivia serta Anya menunggu dengan wajah cemas.
“Aku rasa kalian harus segera pergi dari sini,” ucap Vincent tiba-tiba dengan nada tegas.
Olivia menatap suaminya tajam. “Ada apa?”
“Banyak musuh yang mengincar mereka. Aku tidak yakin tempat ini akan aman lebih lama,” jawab Vincent, dingin namun jelas.
Roger tampak gelisah. “Lalu apa yang harus kami lakukan?”
Vincent menghela napas, menatap mereka berdua. “Di dekat Maldives ada sebuah pulau kecil milikku. Di sana ada markas rahasia kami tempat paling aman untuk sementara waktu.”
Anya menunduk, air mata mulai jatuh. “Maafkan aku, suamiku. Karena aku… karena keluargaku, kita jadi seperti ini.”
Roger menggenggam tangan istrinya erat. “Tidak, sayang. Ini bukan salahmu. Kita akan baik-baik saja.”
Vincent menatap ponselnya. “Aku akan menyuruh anak buahku menyiapkan helikopter, tapi mungkin butuh waktu sekitar satu jam.”
Olivia bertanya lirih, “Apa mereka benar-benar sebanyak itu?”
Vincent mengangguk. “Ya. Dan aku rasa tak lama lagi mereka akan menembus pertahanan kapal ini.”
Olivia menatap bayi mungil di pelukannya, wajahnya sendu. Roger dan Anya saling berpandangan di mata mereka, ketakutan dan pasrah beradu.
“Jika memang harus berakhir, lebih baik kita berakhir bersama,” bisik Roger nyaris tak terdengar.
“Satu jam lagi helikopter siap. Kalian harus segera keluar dari kapal begitu mereka memberi sinyal,” ujar Vincent setelah membaca pesan masuk di ponselnya.
“Beberapa orang sudah berhasil kami lumpuhkan, tapi jumlah mereka terlalu banyak,” lanjutnya dingin.
Roger menggigit bibir, lalu menatap Vincent. “Vincent… bisakah kami menitipkan putri kami padamu? Aku tahu, dia akan lebih aman bersamamu.”
Anya langsung menangis. “Dia masih terlalu kecil… terlalu muda untuk menghadapi dunia ini.”
Vincent menatap Olivia, seolah meminta pendapatnya.
Olivia mengusap lembut kepala bayi itu. “Kalian akan baik-baik saja. Dan bayi ini, aku pastikan dia akan aman bersama kalian.”
Anya menggeleng dengan suara parau. “Tidak, Nyonya Olivia. Dia tidak akan aman jika ikut kami. Tolong… jagalah dia.”
Air mata jatuh di pipi Olivia. Situasi itu terlalu berat. Tapi tak ada pilihan lain.
“Kami akan menjaganya seperti anak kami sendiri,” ucap Vincent, suaranya tegas tapi mengandung janji. “Tapi berjanjilah, kalian berdua harus tetap hidup demi dia.”
Roger menatap mereka dengan mata memerah. “Terima kasih, Vincent. Aku berhutang budi pada kalian berdua.”
Olivia memandangi suaminya, sedikit tertegun pria yang dikenal dingin itu ternyata masih punya sisi manusiawi.
“Baiklah… ayo kita pergi, sayang,” ucap Roger lembut, menggandeng Anya yang masih memeluk bayinya erat.
Sebelum pergi, Anya mendekati Olivia dan berbisik, “Nyonya… tolong sayangi dia seperti anakmu sendiri.”
Olivia menatapnya dalam-dalam dan mengangguk pelan. “Aku janji.”
Anya menyerahkan bayi mungilnya ke pelukan Olivia, namun ia mengambil satu selimut kecil milik sang bayi. Itu akan mereka gunakan untuk mengelabui musuh agar seolah-olah bayi itu masih bersama mereka.
“Seva, sayang… mama dan papa pamit dulu, ya. Jadilah anak baik. Kami sangat mencintaimu,” bisik Anya sambil mencium kening anaknya. Roger memeluk mereka berdua sejenak, lalu melepaskan dengan berat hati.
“Kalian boleh mengganti namanya, agar dia tetap aman,” ucap Roger, menatap bayi itu untuk terakhir kali.
Vincent mengangguk. “Kami akan menjaganya. Pergilah dan bertahanlah untuk kembali.”
* * * *
Sementara itu, di tempat lain, Kapten Joseph menerima panggilan mendadak.
“Kapten, mereka ubah rencana. Tuan Roger dan Nyonya Anya akan melarikan diri dengan helikopter. Kita diminta mengawal mereka ke atap!” ujar salah satu anak buahnya.
“Baik, kumpulkan semua orang. Kita bergerak sekarang,” balas Kapten Joseph cepat.
Namun para musuh mulai curiga melihat helikopter yang tengah disiapkan di atap.
“Kenapa ada helikopter lepas landas? Siapa yang naik?” tanya salah satu pria berwajah bengis, sambil mengangkat teropong.
“Aku belum melihat siapa pun… tapi kamar tempat mereka menginap kosong,” jawab rekannya. “Kau awasi atap, aku akan periksa ke bawah.”
* * * *
Anya dan Roger bergegas menaiki tangga darurat, ditemani Kapten Joseph dan dua anak buahnya. Langkah mereka cepat, napas terengah.
“Hati-hati,” peringatan Kapten Joseph terdengar lirih.
Begitu mereka hampir mencapai helikopter, suara berat menggema dari kegelapan.
“Mau ke mana kalian?” seru seorang pria, muncul bersama beberapa anak buah bersenjata.
Wajah Anya menegang. “Aku tidak akan kembali padanya! Katakan pada Tuan Steve aku lebih memilih mati!”
Kapten Joseph menunduk sedikit, berbisik cepat, “Begitu kami mulai menyerang, kalian lari sekencang mungkin ke helikopter. Begitu kalian naik, pilot akan langsung terbang. Itu helikopter anti-peluru gunakan kesempatan itu.”
Roger menggenggam tangan istrinya kuat-kuat. “Kita lakukan ini bersama.”
Dalam hitungan detik, suara tembakan pertama meledak.
Dor! Dor! Dor!
Kapten Joseph dan timnya menahan serangan, memberi waktu bagi Roger dan Anya untuk berlari.
Mereka berdua berlari menembus hujan peluru menuju helikopter namun dari sisi lain, salah satu musuh mengangkat senjatanya, tersenyum kejam.
“Tidak akan kubiarkan kalian lolos,” katanya dingin lalu menarik pelatuk.
Dor! Dor!
Suara tembakan itu menggema di antara deru baling-baling helikopter dan malam yang mencekam.