Yun Sia, gadis yatim piatu di kota modern, hidup mandiri sebagai juru masak sekaligus penyanyi di sebuah kafe. Hidupnya keras, tapi ia selalu ceria, ceplas-ceplos, dan sedikit barbar. Namun suatu malam, kehidupannya berakhir konyol: ia terpeleset oleh kulit pisang di belakang dapur.
Alih-alih menuju akhirat, ia justru terbangun di dunia fantasi kuno—di tubuh seorang gadis muda yang bernama Yun Sia juga. Gadis itu adalah putri kedua Kekaisaran Long yang dibuang sejak bayi dan dianggap telah meninggal. Identitas agung itu tidak ia ketahui; ia hanya merasa dirinya rakyat biasa yang hidup sebatang kara.
Dalam perjalanan mencari makan, Yun Sia tanpa sengaja menolong seorang pemuda yang ternyata adalah Kaisar Muda dari Kekaisaran Wang, terkenal dingin, tak berperasaan, dan membenci sentuhan. Namun sikap barbar, jujur, dan polos Yun Sia justru membuat sang Kaisar jatuh cinta dan bertekad mengejar gadis yang bahkan tidak tahu siapa dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Pagi itu, Yun Sia terbangun dengan perasaan aneh. Bukan karena ada firasat buruk, tapi karena… kamar penginapan itu terlalu sepi.
Biasanya, begitu ia buka mata, wajah tampan A-yang sudah ada di sana—entah sedang memandangi dirinya, pura-pura membaca buku padahal ngintip, atau sibuk menyembunyikan pipinya yang memerah saat Yun Sia menyapanya dengan ceria, “Pagi, Ayang!”
Hari ini tidak ada semua itu.
Yang ada hanya sunyi mencekam, seperti sebelum badai.
Dan itu membuat Yun Sia curiga.
“Jangan-jangan dia… mandi? Atau kabur?” gumamnya mencibir. “Mana mungkin kabur, dia kayak anak anjing kalau ditinggal sebentar saja langsung nyari aku.”
Ia bangkit, merapikan rambut, lalu keluar kamar.
Tidak ada A-yang di depan pintu.
Tidak ada Liyan.
Tidak ada Mochen.
“Eh? Pada ke mana?”
Yun Sia menuruni tangga dengan langkah ringan. Pemilik penginapan menyapa, tapi belum sempat ia jawab, sesuatu membuatnya berhenti.
Ada ruangan kecil di samping lobi yang pintunya sedikit terbuka.
Dari dalam terdengar suara Mochen yang dalam dan tegas.
“Baginda Kaisar, menurut laporan terbaru, pengkhianat itu telah menyusup hingga ke wilayah barat kota.”
Yun Sia nyaris melangkah pergi.
Lalu… ia berhenti.
“… BAGI—apa tadi??”
Ia mendekat seperti kucing kepo.
Liyan menyahut cepat, “Kami harus memindahkan Anda kembali ke istana secepat mungkin. Ibu Suri dan Kaisar Tua sudah sangat khawatir.”
Yun Sia ternganga.
“Apa? ISTANA? KAISAR?? Siapa? Siapa??”
A-yang lalu terdengar sangat tenang. Terlalu tenang.
“Tidak. Aku tidak akan pulang.”
“INI SUARA AYANG!???”
Yun Sia langsung menempelkan telinganya ke celah pintu.
Mochen berdiri tegang. “Yang Mulia, keselamatan Anda—”
“Tidak. Aku akan tetap di sini sampai masalah selesai.”
Liyan menunduk. “Tapi Baginda… bagaimana kalau gadis itu—”
Yun Sia mengangkat wajah.
“… gadis apa? Aku???”
Sebelum ia sempat memproses, A-yang menambahkan dengan nada menghentak:
“Yun Sia tidak boleh terluka.”
Yun Sia:
“… … … HAH???”
Ia panik.
Ia deg-degan.
Ia ingin kabur tapi lututnya lemas.
Dengan refleks paling bodoh sepanjang sejarah manusia, Yun Sia langsung—
—mendorong pintu itu sekeras-kerasnya.
BRAAAK!!
Ketiga pria di dalam ruangan itu serempak menoleh.
Mochen: membeku.
Liyan: wajahnya hitam seketika.
A-yang: mata melebar seperti ketahuan mencuri gula.
Yun Sia menunjuk A-yang dengan jari bergetar.
“K-KAISAR!?? AYANG KAISAR!!?? Y-YA AMPUN AKU MANGGIL KAMU AYANG SELAMA INI!??”
A-yang yang biasanya dingin mendadak merah padam sampai kuping. “J-jangan teriak begitu….”
Yun Sia tambah kencang.
“KAISAR?? AYANG?? KAISAR AYANG??! Astaga aku sudah tamat!”
Mochen memijat pelipis. “Yang Mulia… Anda menyembunyikan identitas Anda terlalu buruk.”
Liyan desis frustrasi. “Sudah saya bilang mulutnya cerocos, pasti cepat ketahuan!”
A-yang menghela napas panjang, lalu berdiri mendekati Yun Sia dengan langkah perlahan seperti mendekati kelinci liar yang bisa kabur kapan saja.
“Yun Sia… aku bisa jelaskan.”
“JANGAN JELASKAN!! NANTI AKU MAKIN PUSING!!”
“Tapi—”
“KAISAR AYANG!???”
A-yang menutup wajah dengan tangan.
Untuk pertama kalinya, Kaisar tertangguh dan paling ditakuti se-Wang itu… menyerah pada teriakan gadis kecil cerewet.
Setelah lima menit suasana kacau, akhirnya A-yang menarik napas dan berkata serius, “Baik. Aku jelaskan semuanya.”
Yun Sia menatapnya, masih gemetar.
A-yang memegang kedua pundaknya.
Suaranya lembut.
“Aku… memang Kaisar Wang.”
Yun Sia mulutnya menganga lebar seperti hendak menelan capung.
A-yang melanjutkan,
“Aku merahasiakannya bukan untuk menipu. Aku hanya… tidak ingin menakutimu.”
“Takut?” Yun Sia mengerjap. “Kamu itu lebih nakutin dari beruang… tapi aku tetap gak takut kok?”
Ayang tersenyum mendengar ucapan Yun sia
Sedangkan Mochen & Liyan bergumam bersamaan, " Baginda… baginda tersenyum…?"
A-yang menarik napas lagi, tampak gugup. “Dan… sejak hari kau menolongku… aku sudah memutuskan satu hal.”
Yun Sia menelan ludah.
A-yang mendekat sedikit.
Suaranya rendah, dalam, dan membuat Yun Sia salah napas.
“Aku ingin membawa kau ke istana.”
Jantung Yun Sia hampir copot. “A-aku?? K-kenapa aku??”
A-yang menatapnya tanpa berkedip. “Karena aku ingin kau berada di sisiku.”
Mochen langsung menunduk.
Liyan menutup wajah karena malu.
Yun Sia tersipu tapi tetap cerewet. “B-bentar bentar… jadi kamu mau aku jadi apa? Mengupas bawang di dapur istana? Atau jadi… teman tidur?? Wah… gaji harus jelas ya!”
A-yang memerah sampai leher. “B-bukan! Aku ingin kau…” Ia berhenti, mengusap tengkuk dengan salah tingkah. “…menjadi wanitaku. Permaisuri ku”
Ruangan mendadak hening.
Mochen batuk-batuk pura-pura tidak dengar.
Liyan menatap langit-langit, pura-pura buta.
Yun Sia terbelalak. “WANITAMU!? PERMAISURIMU!? AKU!? Yang benar saja!?”
A-yang mengangguk mantap. “Aku belum punya istri. Tidak ada selir. Tidak pernah menyentuh wanita manapun. Semua calon pilihan Ibu Suri kutolak. Mereka semua… bukan kamu.”
Yun Sia memegang jantungnya kuat-kuat, "Aduh, ini terlalu manis, terlalu jujur, terlalu… A-yang."
Yun Sia akhirnya menghela napas panjang. “… jadi selama ini kamu ikut aku karena suka?”
A-yang memalingkan wajah sambil memerah.
Mochen dan Liyan sama-sama berpikir, " Baginda, Anda tidak bisa lebih jelas dari itu!"
Yun Sia menghela napas lebih panjang lagi.“Baik. Tapi aku ikut ke istana dengan satu syarat.”
“Ya?”
“Kamu tetap kupanggil AYANG.”
A-yang langsung salah napas. “Y-ya Tuhan…”
Mochen hampir tertawa.
Liyan menunduk dengan bahu gemetar.
Yun Sia menyeringai. “Kaisar atau bukan… kamu tetap Ayangku.”
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya seorang Kaisar muda yang dingin, tegas, dan tak tersentuh… tersenyum seperti pria jatuh cinta.
Bersambung
