Seorang putri Adipati menikahi putra mahkota melalui dekrit pernikahan, namun kebahagiaan yang diharapkan berubah menjadi luka dan pengkhianatan. Rahasia demi rahasia terungkap, membuatnya mempertanyakan siapa yang bisa dipercaya. Di tengah kekacauan, ia mengambil langkah berani dengan meminta dekrit perceraian untuk membebaskan diri dari takdir yang mengikatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10
Setelah permintaan maaf tulus dari Putra Mahkota Wang Yuwen, Cheng Xiao mendapati dirinya berjuang melawan badai emosi dalam hatinya. Sejujurnya, bara cinta untuk pria itu masih membara begitu kuat, jauh lebih besar daripada bara benci dan kekecewaan yang mencoba memadamkannya.
Dengan hati yang berat namun penuh harapan, Cheng Xiao memutuskan untuk kembali ke istana Putra Mahkota, menggandeng tangan Wang Yuwen. Adipati Cheng, berdiri di ambang pintu, menghela nafas panjang dan berat, menyaksikan putrinya kembali ke sisi suaminya. Wajahnya menggambarkan campuran antara kekhawatiran dan harapan.
"Ingatlah, putriku," ucap Adipati Cheng dengan suara serak, matanya menatap Cheng Xiao dengan penuh kasih, "ingatlah selalu, bahwa Ayah akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi."
Cheng Xiao mengangguk, air mata haru membasahi pipinya. Ia tahu, di balik ketegasan ayahnya, tersimpan lautan kasih sayang yang tak terhingga. "Aku mengerti, Ayah," jawabnya lirih, sembari menggenggam erat tangan Wang Yuwen.
Wang Yuwen, yang sedari tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara. "Adipati, aku berjanji akan menjaga Cheng Xiao dengan segenap jiwa dan ragaku. Aku tidak akan pernah lagi mengecewakannya," ucapnya dengan nada penuh penyesalan dan tekad.
Adipati Cheng menatap Wang Yuwen dengan tatapan menyelidik. Ada keraguan di matanya, namun ia berusaha untuk mempercayai kata-kata sang Putra Mahkota. "Baiklah," jawabnya singkat, "aku akan memegang janjimu."
Setelah berpamitan sekali lagi, Cheng Xiao dan Wang Yuwen berbalik dan berjalan menuju kereta kuda yang telah menunggu. Kereta itu membawa mereka kembali ke istana Putra Mahkota, meninggalkan Adipati Cheng yang berdiri mematung di depan kediamannya, dengan hati yang dipenuhi harapan dan kekhawatiran yang sama besarnya. Angin sore berhembus pelan, seolah membawa serta doa dan harapan seorang ayah untuk kebahagiaan putrinya.
Di dalam kereta kuda, suasana terasa canggung. Cheng Xiao dan Wang Yuwen duduk berdampingan, namun terpisahkan oleh jarak yang tak terlihat. Cheng Xiao menatap keluar jendela, menyaksikan pemandangan kota yang ramai berlalu lalang. Pikirannya berkecamuk, bertanya-tanya apakah ia telah membuat keputusan yang tepat.
Wang Yuwen, di sisi lain, terus mencuri pandang ke arah Cheng Xiao. Ia tahu, untuk mendapatkan kembali kepercayaan istrinya, ia harus berusaha lebih keras. "Xiao'er," panggilnya lembut, mencoba memecah keheningan.
Cheng Xiao menoleh, menatap Wang Yuwen dengan tatapan datar. "Ada apa?" jawabnya singkat.
Wang Yuwen menghela nafas. "Aku tahu, aku telah menyakitimu. Aku tahu, kata-kata maaf saja tidak cukup untuk menghapus semua kesalahan yang telah kuperbuat. Tapi, aku berjanji, aku akan berusaha menjadi suami yang lebih baik untukmu. Aku akan melakukan apapun untuk mendapatkan kembali cintamu," ucapnya dengan tulus.
Cheng Xiao terdiam sejenak, menimbang-nimbang kata-kata Wang Yuwen. Ia ingin percaya, namun luka di hatinya masih terlalu dalam. "Waktu yang akan menjawabnya," jawabnya akhirnya, "aku tidak ingin mendengar janji-janji kosong lagi."
Wang Yuwen mengangguk, mengerti. Ia tahu, ia harus membuktikan kata-katanya dengan tindakan nyata. Ia meraih tangan Cheng Xiao dan menggenggamnya erat. "Aku mengerti," jawabnya, "aku akan membuktikannya padamu."
Kereta kuda terus melaju, membawa mereka menuju istana Putra Mahkota, tempat di mana lembaran baru dalam hubungan mereka akan dimulai. Akankah mereka berhasil melewati badai dan menemukan kembali cinta yang pernah hilang? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Setibanya di istana Putra Mahkota, Cheng Xiao merasakan suasana yang berbeda. Istana yang dia harap penuh kehangatan dan cinta, kini terasa dingin dan asing. Para pelayan menyambut mereka dengan hormat, namun Cheng Xiao bisa merasakan tatapan ingin tahu dan bisik-bisik di antara mereka.
Wang Yuwen menggenggam tangan Cheng Xiao, mencoba memberikan kekuatan. "Jangan hiraukan mereka," bisiknya, "fokuslah padaku."
Cheng Xiao mengangguk, mencoba mengabaikan tatapan orang-orang di sekitarnya. Ia mengikuti Wang Yuwen memasuki kediaman mereka, sebuah bangunan mewah yang dipenuhi dengan perabotan mahal dan hiasan-hiasan indah. Namun, semua kemewahan itu terasa hampa tanpa kehadiran cinta dan kebahagiaan.
"Aku sudah menyiapkan kamar untukmu," ucap Wang Yuwen, "kamarmu yang dulu."
Cheng Xiao terdiam. Ia tidak tahu apakah ia siap untuk kembali ke kamar itu, tempat di mana ia pernah merasakan kepedihan yang mendalam. "Aku lelah," jawabnya, "aku ingin istirahat."
Wang Yuwen mengerti. Ia mengantar Cheng Xiao ke kamarnya dan membantunya berbaring di tempat tidur. "Istirahatlah," ucapnya, "aku akan menjagamu."
Cheng Xiao memejamkan matanya, mencoba untuk melupakan semua masalah yang ada. Ia merasa lelah secara fisik dan emosional. Ia berharap, dengan beristirahat, ia bisa mendapatkan kembali kekuatannya dan menghadapi semua tantangan yang ada di depan mata.
Saat Wang Yuwen hendak keluar dari kamar, Cheng Xiao tiba-tiba membuka matanya. "Yang Mulia," panggilnya lirih.
Wang Yuwen berbalik dan menatap Cheng Xiao dengan penuh perhatian. "Ada apa?" tanyanya.
Cheng Xiao terdiam sejenak, ragu untuk mengungkapkan apa yang ada di hatinya. "Bisakah kau... bisakah kau menemaniku tidur?" pintanya dengan suara pelan.
Cheng Xiao mengerti keheningan Wang Yuwen. Pria itu baru saja mulai membuka hatinya, dan ia tak bisa memaksanya. "Tidak apa-apa, aku bisa tidur sendiri," ucap Cheng Xiao, berusaha menyembunyikan kekecewaannya.
Wang Yuwen hanya membalas dengan senyum tipis sebelum beranjak pergi. Cheng Xiao tahu, pria itu akan kembali ke ruang baca, tempat ia lebih sering menghabiskan malam. Nyeri tiba-tiba mencengkeram dadanya, namun ia segera menepisnya. Ia meyakinkan diri bahwa suatu hari nanti, Yuwen akan berubah dan mencintainya.
Tiga bulan berlalu sejak pernikahan Cheng Xiao dan Putra Mahkota Wang Yuwen. Cheng Xiao merasakan sedikit, sangat sedikit, perubahan dalam sikap Wang Yuwen. Meski mereka belum pernah berbagi ranjang yang sama, Wang Yuwen sedikit lebih perhatian padanya.
Seperti saat ini. Angin musim gugur berhembus dingin di antara pilar-pilar istana, membuat dedaunan bergemerisik. "Gunakan jubahmu, di luar sangat dingin," ujar Wang Yuwen, memasangkan jubah tebal berwarna merah marun ke pundak Cheng Xiao. Sentuhan lembut itu membuat jantung Cheng Xiao berdebar.
Hari ini, mereka akan menyambut kepulangan Jenderal Muda Tang Jin Ju, pahlawan yang baru kembali dari medan perang dengan kemenangan gemilang. Bendera-bendera berkibar dengan gagah, dan para prajurit berbaris rapi, siap menyambut kedatangan sang jenderal. Cheng Xiao berharap, kehadiran mereka di sini akan menjadi pertunjukan yang meyakinkan bagi rakyat bahwa pernikahan mereka adalah simbol persatuan dan kekuatan kerajaan.
Cheng Xiao tersenyum kecil, merasa sedikit lebih hangat dengan perhatian itu, meskipun hatinya masih merindukan lebih. Mereka berjalan berdampingan menuju gerbang utama istana, tempat para pejabat dan bangsawan telah berkumpul. Langit sore berwarna jingga keemasan, memberikan sentuhan dramatis pada suasana penyambutan.
"Kau terlihat cantik hari ini," bisik Wang Yuwen, nyaris tak terdengar di tengah hiruk pikuk persiapan. Cheng Xiao menoleh, terkejut dengan pujian yang tiba-tiba itu. Pipinya merona, dan ia hanya bisa membalas dengan senyum malu-malu.
Tak lama kemudian, suara terompet terdengar dari kejauhan, menandakan kedatangan Jenderal Tang Jin Ju. Semua mata tertuju pada jalan masuk istana. Dari balik gerbang, tampaklah seorang pria muda gagah menunggang kuda putih. Jenderal Tang Jin Ju, dengan baju zirah yang berkilauan dan wajah tegas, memimpin pasukannya memasuki istana. Sorak sorai menggema, menyambut pahlawan yang telah membawa kemenangan bagi kerajaan.
Wang Yuwen melangkah maju, menyambut Jenderal Tang Jin Ju dengan hangat. "Selamat datang kembali, Jenderal Tang. Kerajaan berhutang budi padamu," ucapnya dengan suara lantang.
Jenderal Tang Jin Ju turun dari kudanya dan berlutut di hadapan Wang Yuwen. "Yang Mulia terlalu memuji. Kemenangan ini adalah berkat dukungan Yang Mulia dan seluruh rakyat," jawabnya dengan hormat.
Cheng Xiao memperhatikan interaksi itu dengan seksama. Ia tahu, Jenderal Tang Jin Ju adalah salah satu orang kepercayaan Wang Yuwen, seorang prajurit yang setia dan berani. Kehadirannya di sini akan membawa perubahan, entah itu baik atau buruk, dalam kehidupan pernikahan mereka. Ia hanya bisa berharap, perubahan itu akan membawa mereka lebih dekat, bukan malah menjauh.
semangat up nya 💪
semangat up lagi 💪💪💪
Semangat thor 💪