NovelToon NovelToon
2 Suami

2 Suami

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cerai / Beda Usia / Angst
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Meymei

Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kabar Gembira

Inaya menjalani kebiasaannya dengan sedikit berbeda sejak kehamilannya. Untuk sarapan, dirinya membuat roti bakar dengan isian variasi sesuai moodnya. Terkadang selai, terkadang telur dan sayur, terkadang hanya dengan mengoleskan mentega dan madu.

Adik-adik Weko masih seperti biasa, mereka akan sarapan dengan menu yang dibuat Inaya apapun itu. Mereka tidak pernah protes dengan masakan Inaya.

“Mbak Inaya, kenapa?” tanya Ita saat memergoki Inaya sedang muntah di kamar mandi.

“Tidak apa-apa.”

“Kalau tidak apa-apa kenapa muntah?”

“Mungkin masuk angin, Dek.”

“Mbak yakin? Apa tidak sebaiknya periksa?”

“Nanti, ya? Mbak harus berangkat kerja.”

“Aku antar, Mbak! Kebetulan aku libur.”

“Boleh.”

“Makan siang mau di jemput tidak?”

“Tidak. Pulang kerja saja jemputnya. Nanti siang ada acara makan-makan kantor.”

“Oke!”

Ita mengantarkan Inaya sampai di koperasi. Setelah berpamitan, Inaya masuk ke dalam dan mengisi absen.

Inaya yang menutupi kehamilannya, berusaha tidak memperlihatkan morning sicknessnya dengan meminum teh hangat yang ia bawa saat merasa mual.

“Kamu mau pesan apa?” tanya Amelia.

“Aku pesan sop daging dan es buah.”

“Mau ini, tidak?” Amelia menunjuk eskrim Sunday di buku menu.

“Tidak.” Amelia mengangguk.

Makan siang hari ini di sponsori oleh mantan atasan Inaya yang kini sudah menjadi PNS, Fatah. Ia mentraktir semua orang karena telah mengucapkan janji. Sebelumnya ia bekerja di koperasi sambil menyelesaikan kuliahnya. Setelah lulus, ia mendaftar PNS dan lolos.

“Selamat ya, Mas!” seru Amelia yang memberikan kado.

Fatah menerima kado dari Amelia sambil tersenyum, tetapi pandangannya sedang memperhatikan Inaya yang sibuk memilah buah.

“Kamu tidak suka buah naga?” tanya Fatah yang mendekat.

“Bukan tidak suka, Mas. Aku sedang tidak mau makan.” Jawab Inaya.

“Sayang kalau dibuang. Sini masukkan ke mangkukku!” Fatah menyodorkan mangkuk es buahnya.

Inaya yang tidak peduli dengan tatapan di sekitarnya, memasukkan buah naga, cincau dan kolang-kaling ke mangkuk Fatah. Pemilik mangkuk hanya tersenyum melihat Inaya yang fokus memilah, sementara yang lain melihat sikap Fatah tidak wajar.

“Terima kasih, Mas.” Kata yang Inaya yang kemudian menikmati es buahnya.

Fatah mengangguk sambil tersenyum dan ikut menikmati es buah. Semua orang kembali ke makanan mereka masing-masing. Saat bubar, Inaya menyerahkan kadonya untuk Fatah dan pamit lebih dulu bersama Amelia.

“Kamu tahu kalau Inaya sudah menikah, kan?” tanya Anto.

“Tahu.” Jawab Fatah.

“Kenapa kamu masih menyukainya?”

“Apa tidak boleh?”

“Itu hak kamu. Tapi lebih baik kubur saja rasa sukamu. Masih banyak Perempuan lain yang bisa kamu sukai daripada Inaya yang sudah bersuami.”

“Tenang saja. Aku tahu batasanku.”

Setelah acara makan-makan itu, beberapa rekan kerja Inaya masih membicarakan masalah Fatah yang masih menyukai Inaya. Bahkan mereka menyayangkan Fatah yang tidak jujur sejak dulu, hingga Inaya menikah lebih dulu. Tetapi perbincangan mereka tidak bertahan lama karena Amelia menegur mereka dengan mengatakan hal tersebut bukanlah urusan mereka.

Inaya yang tahu dirinya sedang menjadi topik perbincangan hanya diam. Ia memilih membiarkan mereka dengan asumsinya daripada menjelaskan, yang mana akan menguras energinya.

1 minggu kemudian.

Inaya yang Lelah setelah seharian bekerja, tidak berselera makan malam, ia hanya meminum susu ibu hamil saja dan merebahkan tubuhnya di tempat tidur setelah melaksanakan sholat isya’.

“Ini sudah 18 hari Ayah melaut. Kemarin katanya akan pulang lebih cepat. Apa kepulangannya sesuai jadwal?” gumam Inaya sambil mengelus perutnya dan tak lama ia terlelap begitu saja.

Di sisi lain.

“Pembayarannya bagaimana?” tanya kapten kapal, Hamka.

“Seperti biasa saja!” jawab Weko.

“Oke. Ini setengahnya.”

“Terima kasih.”

“Kita akan kembali dalam 2 minggu.”

“Oke!”

Weko yang baru saja selesai memindahkan semua hasil tangkapan bersama teman-temannya segera mandi di toilet umum. Ia tidak ingin istrinya melihatnya basah kuyup dan amis.

Setelah selesai mandi, barulah ia membonceng Giga untuk pulang. Jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul 3 pagi, Weko masuk dari rumah kedua orang tuanya yang jarang di kunci. Ia membuka pintu penghubung dengan perlahan karena takut membangunkan Inaya.

Setelah masuk, Weko mengganti pakaiannya dengan pakaian bersih dan tidur di samping sang istri.

Inaya bangun saat mendengar suara alarm ponselnya berdering. Ia terkejut karena saat ini ada yang memeluknya dari belakang. Tetapi setelah memperhatikan tangan kekar yang ada di perutnya, ia tahu itu adalah suaminya.

“Kenapa tidak membangunkanku, Mas?” tanya Inaya yang menghadap ke arah Weko.

“Aku takut mengganggu tidurmu.” Jawab Weko dengan mata masih tertutup.

“Lanjutkan tidurnya! Aku mau buat sarapan.”

“Bukankah hari ini kamu libur?”

“Iya.”

“Kita sarapan di luar saja. Temani aku tidur sekarang.”

“Sholat dulu, bagaimana?”

“Oke!”

Keduanya mengambil wudhu dan melaksanakan sholat berjamaah. Setelah selesai sholat, Weko memeluk Inaya tanpa ada keinginan untuk melepaskannya. Ia sedang menyalurkan kerinduannya dengan sang istri selama 17 hari tidak bertemu.

“Kabar apa yang mau kamu sampaikan?” tanya Weko seraya melepaskan pelukannya.

“Ini.” Inaya mengarahkan tangan Weko ke perutnya yang sudah mulai berisi.

Weko mencoba menebak apa yang dimaksud Inaya. Seketika senyumnya mengembang kala mengingat Sintya yang pertama kali hamil sering mengelus perutnya.

“Benarkah?” segera Weko membungkukkan tubuh dan mengecup perut Inaya.

“Sudah bisa menendang?” tanyanya antusias.

“Belum, Mas. Baru dua bulan.”

“Dua bulan? Kenapa sama dengan umur pernikahan kita?”

“Iya. Karena tanggal kehamilan dihitung dari hari pertama haid terakhirku, Mas.”

“Kenapa bisa pas sekali?”

“Alhamdulillah kita lekas diberikan keturunan, Mas.”

“Alhamdulillah..”

“Ayo periksa! Aku mau melihatnya.”

“Aku baru saja memeriksakannya, Mas. Sebulan lagi waktu kontrolnya.”

“Tidak! Aku mau melihatnya nanti!”

“Baiklah..” Inaya tersenyum.

Weko memeluk Inaya dan mendaratkan kecupan di kening sang istri. Tiba-tiba keinginannya datang begitu saja, sehingga keduanya berakhir dalam pendakian pagi itu dan baru terbangun saat pukul 9 pagi.

Weko dengan semangat memandikan istrinya dan membuatkannya susu ibu hamil. Setelah itu ia pergi membeli sarapan untuk mereka, nasi gandul sesuai dengan keinginan Inaya.

Di perjalanan pulang, Weko menyempatkan membeli jus buah naga kesukaan Inaya dan kue pukis. Tidak lupa ia juga membelikannya untuk adik-adiknya.

“Kenapa wajahmu semangat sekali?” tanya Harto.

“Inaya hamil, Pak! Aku harus lebih bersemangat bekerja untuk anakku!” Harto dan Mida tersedak bersamaan.

“Kenapa?”

“Tidak apa-apa. Selamat atas kabar gembira ini.” Weko mengangguk dan pergi ke rumahnya sendiri.

“Jadi, mual muntah Mbak Inaya kemarin itu karena hamil?” tanya Ita dengan polos.

“Kenapa kamu baru mengatakannya?” tanya Mida.

“Mbak Inaya hanya mengatakan dirinya masuk angin. Aku tidak tahu kalau ternyata hamil.”

“Mungkin Inaya menunggu kedatangan Weko baru mengatakannya, Bu.” Kata Harto menenangkan.

“Mereka baru saja menikah dan sudah hamil. Bagaimana bisa?” tanya Mida meragukan kehamilan Inaya.

“Bukannya bagus kalau mereka mendapatkan keturunan, Bu?”

“Iya, tapi ini baru 2 bulan mereka menikah, Pak.”

“Jangan su’udzon, Bu! Inaya tidak seperti itu.” Mida hanya diam tidak menjawab.

Sementara itu, Inaya yang melihat belanjaan suaminya hanya mengambil nasi gandul dan teh panas. Ia tidak menyentuh jus buah naga dan pukis.

“Mas yang minum jusnya.”

“Kenapa? Bukankah itu kesukaanmu?”

“Aku sedang tidak ingin minum atau makan buah naga.”

“Lalu, kamu mau apa?”

“Ini saja sudah cukup, Mas.” Weko mengangguk dan mulai makan bersama.

Pukis itu akhirnya ia berikan kepada adik-adiknya karena Inaya tidak mau dan dirinya juga bukan penggemar makanan manis.

Setelah ashar, keduanya berangkat ke klinik tempat Inaya periksa kemarin. Mereka mengambil antrean dan menunggu giliran. Saat tiba pada giliran mereka, Weko yang antusias segera memberondong dokter dengan pertanyaan seputar kehamilan.

Dokter memintanya untuk tenang dan menjawab pertanyaannya satu-persatu sambil memeriksa kandungan Inaya.

“Kalau terakhir kali sebesar kacang hijau, sekarang ini janin sudah seukuran kacang merah. Kondisi semuanya baik, tolong dilanjutkan vitaminnya dan susu ibu hamilnya untuk nutrisi janin. Makan dan minum juga dipertahankan, supaya janin mendapatkan asupan yang cukup. Jenis kelamin baru bisa dilihat di minggu ke-20.” Jelas dokter.

“Untuk Ayah, saya berpesan untuk mengurangi aktivitas fisik selama kehamilan awal ini. Jika tidak tahan, ayah bisa menggunakan pelindung saat melakukannya dengan catatan melakukannya dengan pelan dan lembut.” Imbuh dokter yang segera membuat Inaya tersipu, sedangkan Weko menganggukkan kepalanya masih dengan antusiasme tinggi.

Ia bahkan masih memandangi hasil USG saat keduanya sampai di rumah. Baginya memiliki keturunan adalah kabar gembira yang tidak pernah ia bayangkan. Ia yang sebelumnya jauh dari Allah dan tidak taat atas perintahnya, berpikir akan diberikan kesulitan dalam keturunan.

Tetapi Allah justru memberikannya keturunan langsung tunai. Ia sangat Bahagia sampai ia akan menuruti semua kemauan Inaya. Sungguh nikmat menikah dan berkah Allah sangat nyata ia rasakan.

.

.

.

.

.

Maaf semuanya, hanya bisa up 1 bab. Tapi ini 1 bab spesial dengan 1309 kata. hehe

1
kalea rizuky
lanjutnya man
Meymei: Siap kakak 😁
total 1 replies
indy
jadi ikutan pengin lobster
indy
semangat kakak
Meymei: Semangat 🙏🏻
total 1 replies
indy
masih yang manis manis
indy
serasa di jawa
indy
adat Jawanya gak terlalu beda kok, terutama untuk rakyat biasa. ada piring terbang juga
Meymei: Beda dikit ya kak 😁
total 1 replies
Susanti
bagus lanjut
indy
semangat kaka
Meymei: Terima kasih, kakak 🥰
total 1 replies
indy
keren, sekarang edisi budaya jawa ya
Meymei: Cmiiw ya kak 😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!