Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.
Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.
Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?
PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 : Rasa yang Tumbuh Kembali
Aroma kopi hitam dan roti panggang menyebar lembut di udara. Pagi terasa berbeda. Lebih hangat. Lebih hidup. Leonard duduk di meja makan kecil mereka yang menghadap jendela, mengenakan kaus kusut dan tatapan setengah bingung. Sementara Samantha menuangkan kopi ke dalam dua cangkir putih yang mengkilap, mug yang dulu mereka beli bersama di toko kecil dekat danau.
Samantha duduk di hadapan Leonard, menyodorkan roti dengan selai stroberi buatan sendiri. Ia tersenyum ketika Leonard menggigitnya perlahan, lalu memejamkan mata sejenak. "Kamu masih ingat cara bikin selainya," gumam Leonard, suaranya teredam oleh rasa yang menghampiri ingatan.
"Aku gak pernah lupa," jawab Samantha pelan. "Cuma... sempat kehilangan rasa ingin melakukannya."
Leonard tak membalas, hanya menatap perempuan itu lama, ada banyak yang ingin ia tanyakan, tapi belum waktunya.
Setelah beberapa saat, Samantha menyandarkan dagunya di punggung tangannya. "Leon..."
"Hm?"
"Aku punya sesuatu."
Ia bangkit, berjalan ke laci kamarnya dan kembali membawa sebuah amplop kecil berwarna cokelat tua. Diletakkannya benda itu di atas meja, tepat di hadapan Leonard.
"Apa ini?" tanya Leonard, alisnya bertaut.
"Buka saja."
Dengan perlahan, Leonard menarik keluar sebuah kartu debit dari dalamnya. Matanya membesar ketika melihat nama Samantha tercetak di sana, dan angka di secarik catatan kecil yang ikut terselip, jumlah yang tidak sedikit.
"Samantha..." suaranya tertahan. "Apa ini semua dari kamu?"
Samantha mengangguk. "Selama ini aku menyimpan semua gaji dan bonusku. Aku tahu, kamu yang selalu menanggung semuanya, rumah, kendaraan, makan, semua. Tapi aku tetap bekerja. Dan... aku tidak menghabiskannya. Kartu itu... isinya cukup untuk menutupi sebagian kerugianmu di perusahaan."
Leonard menggeleng cepat, mendorong kartu itu kembali. "Aku gak bisa terima ini. Aku laki-laki, Sam. Ini bukan...”
"Tunggu." Samantha menggenggam tangan Leonard yang hendak menolak. Lembut tapi kukuh. Matanya berkilat karena emosi yang nyaris meluap.
"Ini bukan karena kamu lemah, Leonard. Bukan karena aku kasihan, atau ingin mengambil alih. Aku melakukan ini... karena aku ingin menjadi bagian dari hidupmu. Di saat kamu tertawa dan berjaya, juga di saat kamu jatuh. Kalau kamu bangkrut sekalipun, aku akan tetap di sini. Karena aku bukan hanya istrimu di atas kertas."
Leonard diam. Terlalu banyak yang bergetar dalam dadanya. Ego lelaki yang semula berdiri tegak mulai melembut. Mata mereka bertaut dalam hening yang menghangatkan.
Samantha tersenyum kecil. "Ambillah, Leon. Kali ini... izinkan aku menolongmu."
Pelan, Leonard mengangguk. Ia meraih kartu itu kembali, kali ini dengan tangan yang gemetar sedikit. Bukan karena malu, tapi karena merasa dicintai dengan cara yang benar.
"Terima kasih, Sam..."
"Jangan bilang apa-apa," gumam Samantha sambil menyentuh pipinya. "Cukup temani aku sarapan."
Dan pagi itu, di antara dua cangkir kopi dan sisa selai stroberi yang melekat di sudut bibir, mereka membangun ulang sebuah rumah kecil bernama cinta, bukan dari kemewahan atau kehebatan, tapi dari rasa saling memiliki yang perlahan kembali tumbuh.
...****************...
Hari itu, gedung kantor pusat Graves Media Group dipenuhi hiruk pikuk yang tak pernah benar-benar berhenti. Seperti mesin besar yang terus berputar, lantai demi lantai dipenuhi langkah cepat, panggilan telepon, dan ketukan jemari di atas keyboard yang tiada henti.
Samantha duduk di belakang meja besar berlapis kayu mahoni di ruangannya yang luas. Dinding kaca memantulkan cahaya matahari pagi, menyilaukan sejenak, namun tak mampu mengalihkan perhatiannya dari tumpukan dokumen di hadapannya. Rambutnya diikat rapi ke belakang, blazer abu-abu muda membalut tubuh rampingnya dengan elegan, dan wajahnya tampak lebih tegas dari biasanya.
Ia baru saja menyelesaikan pertemuan dengan dua editor senior mengenai jadwal rilis buku terbaru dari penulis best-seller mereka. Sebentar lagi, ia harus kembali mengikuti rapat dengan tim pemasaran untuk membahas kampanye digital internasional yang tengah dirancang. Dan setelah itu, makan siang bersama salah satu investor luar negeri yang tertarik dengan model distribusi mereka.
Dering!
Telepon kantor bergetar pelan.
"Miss Samantha, Mr. Rutherford dari divisi keuangan menunggu Anda di ruang rapat dua," ujar sekretarisnya dari seberang.
"Baik. Beri tahu dia aku segera ke sana."
Ia berdiri, mengambil tablet dari meja, lalu berjalan keluar. Setiap langkahnya cepat namun terkontrol, dengan aura kepemimpinan yang membuat para staf muda memandanginya dengan kekaguman dan sedikit gentar.
Namun hanya Samantha yang tahu, di balik semua itu ada lelah yang tidak tampak. Ada denyut gugup di pelipisnya setiap kali namanya disebut dalam pertemuan bisnis besar. Bukan karena ia tidak mampu, tapi karena ia tahu, setiap langkahnya kini bukan sekadar tentang pekerjaan. Tapi juga bagian dari sebuah permainan besar, sebuah misi pribadi yang ia jaga dalam-dalam.
Di antara diskusi serius, tawa sopan dalam jamuan makan, dan presentasi yang memukau, Samantha menyelipkan waktu untuk mencermati data, mencuri pandang pada arsip rahasia yang tersimpan dalam sistem perusahaan. Ia menyimpan semua temuan kecil dalam benaknya, semua celah, semua nama, semua bukti samar yang suatu hari bisa menjadi senjata.
Dan setiap kali langkahnya membawanya berpapasan dengan Nathaniel di lorong atau ruang rapat, pria itu akan menatapnya dengan senyum yang penuh kepemilikan. Kadang menyentuh ringan punggungnya, kadang membisikkan hal-hal yang hanya mereka tahu. Tapi Samantha tak lagi bergidik atau canggung. Ia membalas senyum itu dengan tenang, sikap perempuan yang tahu betul apa yang sedang ia lakukan.
Sore menjelang, Samantha akhirnya kembali ke ruangannya. Ia membuka email terakhir hari itu, mengecek ulang presentasi untuk keesokan harinya. Di sudut mejanya, foto kecil pernikahannya dengan Leonard tetap berdiri. Ia menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil.
"Aku akan segera selesai dengan ini, Leon!" bisiknya dalam hati.
Di luar ruangan, kota terus berdetak. Tapi Samantha kini tak lagi hanya bagian dari detak itu, a sedang menulis ulang nadanya.
...****************...
Namanya Clara Devlin, seorang wanita berambisi yang pernah bersinar di awal kariernya bersama Samantha. Mereka memulai di tahun yang sama, sama-sama muda, cerdas, dan penuh potensi. Tapi seiring waktu, langkah Samantha melesat jauh, melampaui ekspektasi siapa pun—termasuk Clara sendiri.
Di kantor, tak seorang pun bisa memungkiri pesona Samantha. Kecantikannya yang tenang, kecerdasannya yang terasah, dan kini… kedekatannya dengan sang pemilik perusahaan, Nathaniel Graves.
Clara melihat semua itu dengan mata yang tak lagi sekadar menilai, melainkan menghakimi. Baginya, Samantha tak lebih dari seorang wanita yang pandai bersandiwara. Perempuan yang memikat pria berkuasa demi jalan pintas menuju puncak.
Pertemuan-pertemuan singkat mereka di lorong berubah menjadi bisikan pribadi. Tugas-tugas penting yang dulu selalu ditugaskan ke Clara, kini dilempar begitu saja ke Samantha. Bahkan perjalanan bisnis ke New York pun, yang selama ini diidamkan Clara, jatuh ke tangan wanita itu tanpa perdebatan.
Maka lahirlah bisik-bisik. Dengan kepiawaian lidahnya yang halus, Clara menebarkan narasi.
"Samantha itu pintar merayu, ya… sampai-sampai Mr. Graves sendiri yang selalu menemaninya meeting."
"Dengar-dengar, bukan karena prestasi, loh. Tapi karena kedekatan pribadi…"
"Yah, siapa sih yang bisa menolak wajah cantik dan tubuh seperti itu?"
Komentar-komentar itu tersebar di ruang makan siang, di balik pintu toilet wanita, di antara barisan meja kerja. Awalnya samar, lalu menjadi rumor, dan akhirnya... dipercaya.
Samantha mulai merasakan perubahan atmosfer. Beberapa kolega yang biasa tersenyum kini hanya mengangguk datar. Suara tawa yang biasa menyambutnya menjadi senyap saat ia lewat. Bahkan, laporan yang dikirim padanya mulai dipenuhi kesalahan kecil, seolah disengaja. Ia tahu, ada sesuatu yang tak terlihat sedang bergerak melawannya.
Tapi Samantha tetap tenang. Ia tahu darimana asalnya. Dan dalam hatinya, ia mencatat nama Clara Devlin dengan tinta merah.
"Kalau kau pikir rumor bisa menghancurkan aku, Clara… kau belum tahu permainan apa yang sedang aku jalankan."