Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.
Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.
Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Arlena terlelap dalam tidur yang berat, namun matanya bergerak cepat dan bibirnya bergumam pelan, seolah terjebak dalam mimpi yang menakutkan.
Suaranya gemetar dan penuh kecemasan, “Tuan Aldric… Tolong aku… Jangan biarkan mereka… jangan biarkan mereka menyakitiku lagi…”
Ia mengigau, wajahnya berubah penuh ketakutan, keringat dingin membasahi dahinya.
Tangan kecilnya meremas selimut dengan kuat, seolah berusaha meraih sesuatu yang bisa melindunginya.
Di dalam mimpinya, bayangan gelap dan suara-suara kasar masih membayang, membuatnya terjebak dalam kengerian yang sulit dilepaskan.
Aldric yang duduk di samping tempat tidurnya segera menyadari kondisi Arlena.
Ia meraih tangannya dengan lembut, menepuk punggungnya pelan, berusaha menenangkan gadis itu yang tengah berjuang melawan bayang-bayang masa lalu.
“Arlena… aku di sini. Kamu aman sekarang,” ucap Aldric dengan suara penuh kasih sayang, mencoba menyusupkan keberanian dan ketenangan ke dalam hati Arlena.
Meski hanya dalam mimpi, panggilan Arlena yang lirih itu menusuk hati Aldric, membuatnya semakin yakin bahwa ia harus melindungi
Arlena dengan segenap kekuatan yang ia miliki. Malam itu, di ruang rumah sakit yang sunyi, Aldric tetap setia menjaga, memastikan Arlena tahu bahwa ia tidak lagi sendiri.
Aldric duduk di kursi dekat tempat tidur Arlena, matanya tak lepas dari wajah lembutnya yang kini tampak tenang meski baru saja melalui malam penuh mimpi buruk.
Ia tak menghiraukan rasa lelah yang menggerogoti tubuhnya, karena baginya, menjaga Arlena adalah hal terpenting saat ini.
Setiap kali Arlena menggerakkan tubuhnya atau mengigau pelan, Aldric segera mengulurkan tangannya, menenangkan dan memastikan dia tahu bahwa dia aman.
Ia sesekali membisikkan kata-kata lembut, seolah ingin menghapus bayang-bayang kelam yang menghantui gadis itu.
Malam itu terasa panjang dan sunyi, hanya suara napas dan detak jantung mereka yang mengisi ruangan.
Aldric menatap Arlena dengan penuh perhatian, berjanji dalam hati bahwa tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti atau membuatnya merasa takut lagi.
Selama semalaman, tanpa tidur, Aldric menjadi pelindung dan tempat berlindung bagi Arlena, memastikan dia mendapatkan ketenangan yang selama ini sulit ia dapatkan.
Malam itu, kehadiran Aldric menjadi cahaya kecil yang menerangi kegelapan dalam hidup Arlena.
Keesokan paginya, cahaya matahari lembut menyusup melalui tirai rumah sakit.
Arlena perlahan membuka matanya, namun pandangan yang pertama kali ditangkapnya adalah langit-langit putih dan bau antiseptik yang asing.
Tubuhnya terasa lemah, luka di wajah dan pergelangan tangannya masih nyeri.
Tiba-tiba, ingatan tentang penyiksaan, teriakan, dan wajah Juragan Aldo menyerbu pikirannya. Dengan panik, Arlena berteriak keras, matanya terbuka lebar dipenuhi ketakutan.
"Aaaa!! Jangan sentuh aku!! Tolong!!"
Aldric yang tertidur setengah duduk di sampingnya langsung terbangun dan menggenggam tangannya.
"Arlena! Ini aku, Aldric! Kamu aman sekarang! Tidak ada yang akan menyakitimu lagi," ucapnya lembut, namun penuh ketegasan.
Namun Arlena terus memberontak, tenggelam dalam ketakutan. Melihat kondisinya semakin memburuk, Aldric segera menekan tombol darurat.
"Dokter! Tolong cepat ke kamar ini!" serunya panik.
Tak lama kemudian, dokter dan perawat masuk, mencoba menenangkan Arlena.
Aldric tetap di sampingnya, menggenggam tangan gadis itu erat, berharap kehangatannya bisa menenangkan badai dalam hati Arlena.
"Tenang, kamu tidak sendiri. Aku di sini, Arlena... Aku di sini," bisiknya lirih, matanya berkaca-kaca.
Dokter segera menghampiri tempat tidur Arlena dengan raut wajah serius namun penuh empati.
Perawat di sebelahnya telah menyiapkan suntikan yang berisi obat penenang ringan.
"Dia mengalami trauma berat," ujar dokter sambil memeriksa tekanan darah Arlena yang terus meningkat karena kepanikan.
"Kita harus menenangkannya dulu, agar kondisinya stabil."
Aldric mengangguk, meski hatinya terasa berat. Ia menatap Arlena yang masih meronta dalam ketakutan, memanggil namanya berulang kali.
Perawat menyuntikkan obat penenang ke lengan Arlena.
Perlahan, tubuh Arlena mulai mereda dari getarannya, napasnya menjadi lebih tenang.
Matanya masih terbuka, namun mulai sayu, dan akhirnya terpejam dengan tenang.
Aldric duduk kembali di samping ranjang, menggenggam tangannya yang lemah.
"Aku janji, tidak akan ada satu pun dari mereka yang bisa menyakitimu lagi," gumam Aldric, suaranya penuh tekad dan luka yang tertahan.
Dokter menepuk bahu Aldric pelan.
"Biarkan dia istirahat. Tapi jangan biarkan dia sendiri ketika sadar. Orang dengan luka batin seperti ini, yang paling mereka butuhkan... adalah rasa aman."
Aldric mengangguk pelan. "Dia akan selalu punya itu… selama aku masih bernapas."
Raka melangkah cepat ke lorong rumah sakit, wajahnya penuh kekhawatiran.
Ia menemukan Aldric duduk di samping tempat tidur Arlena, yang masih tertidur di bawah pengaruh obat penenang.
"Aldric," panggil Raka lirih namun tegas.
Aldric berdiri dan berjalan keluar kamar dengan Raka. Begitu pintu tertutup, Raka menatapnya serius.
"Aku baru dari kantor polisi," katanya.
"Mereka... kabur."
Mata Aldric menyipit, rahangnya mengeras. "Kabur?"
"Ya," jawab Raka pelan. "Mereka berhasil lolos saat proses pemindahan sel. Sepertinya sudah ada yang membantu dari luar. Semua petugas sedang dikerahkan, tapi hingga sekarang jejak mereka belum ditemukan."
Aldric menghela napas dalam, menatap ke arah kamar tempat Arlena beristirahat.
"Aku tak akan biarkan mereka menyentuhnya lagi," katanya dingin.
"Naikkan level keamanan di rumah sakit. Gandakan pengawalan. Siapkan juga satu tim untuk berjaga 24 jam di rumahku. Kalau mereka nekat muncul… pastikan mereka tidak sempat menyentuh pintu pagar."
Raka mengangguk cepat. "Sudah aku siapkan. Tapi kita juga harus siaga. Mereka punya motif. Dan dendam mereka belum selesai."
Aldric menatap langit senja dari jendela koridor. Dalam hatinya, ia bersumpah kepada Arlena tidak akan pernah lagi merasakan ketakutan seperti itu. Tidak selama ia masih hidup.
Aldric melangkah pelan masuk ke dalam kamar rumah sakit.
Cahaya sore yang lembut menembus tirai tipis, menyinari wajah Arlena yang tertidur pulas di atas ranjang.
Luka di sudut bibirnya masih tampak samar, dan tangannya yang dibalut perban terletak lemah di samping tubuhnya.
Ia mendekat, menarik kursi ke sisi ranjang, lalu duduk perlahan. Matanya tak lepas menatap Arlena wajah yang dulu selalu ceria itu kini tampak pucat dan letih. Hatinya terasa sesak.
Aldric menyandarkan tubuhnya, menyilangkan tangan di dada, lalu bergumam pelan, "Kau sudah cukup kuat sejauh ini, Arlena... Tapi sekarang, kau tidak sendiri lagi."
Ia meraih tangan Arlena perlahan, menggenggamnya dengan hangat.
"Istirahatlah. Aku akan tetap di sini. Aku janji… tak ada lagi yang akan menyakitimu."
Suasana ruangan hening. Hanya suara mesin monitor dan napas teratur Arlena yang terdengar.
Tapi bagi Aldric, diam itu cukup. Untuk sekarang, yang penting Arlena aman… dan bersamanya.
Aldric tersenyum tipis, menatap wajah Arlena yang masih terlelap. Ia membelai lembut rambut gadis itu yang berantakan, lalu berkata pelan, nyaris seperti bisikan,
"Lekas sembuh, ya... Aku rindu soto ayam buatan kamu. Rasanya selalu bisa menghangatkan hari-hari terberatku."
Ia menarik napas dalam, mencoba menahan emosi yang perlahan mengalir.
"Kalau kamu bangun, kita masak bareng. Tapi untuk sekarang… cukup buka matamu. Itu saja sudah cukup bagiku."
Hening. Tapi genggaman kecil dari tangan Arlena membuat hati Aldric berdebar seolah gadis itu mendengarnya… dari alam bawah sadar.