Hail Abizar, laki-laki mapan berusia 31 tahun. Belum menikah dan belum punya pacar. Tapi tiba-tiba saja ada anak yang memanggilnya Papa?
"Papa... papa...!" rengek gadis itu sambil mendongak dengan senyum lebar.
Binar penuh rindu dan bahagia menyeruak dari sorot mata kecilnya. Pria itu menatap ke bawah, terpaku.
Siapa gadis ini? pikirnya panik.
Kenapa dia memanggilku, Papa? Aku bahkan belum menikah... kenapa ada anak kecil manggil aku papa?! apa jangan- jangan dia anak dari wanita itu ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eve .....?
Seperti keinginan Evelyn, Hail benar-benar tidak datang mengunjunginya. Sudah hampir satu minggu Hail tidak ke sana, dia harus bertahan meski rasa rindunya pada Cala dan Evelyn sudah tumpah-tumpah.
Asap putih mengulung tipis ke permukaan udara, dari bara yang menyala di ujung rokok yang dijepit jemari Hail. Malam yang dingin, sedingin pria matang yang sedang dilanda rindu kasmaran.
Tatapannya kosong kearah langit gelap, yang seolah ikut bermuram durja. Hembusan angin yang menerpa, membuat dedaunan meliuk dengan gerakan tak menentu. Di halaman belakang bengkel, Hail duduk sediri. Ditemani sekaleng kopi dingin, dan rokok yang tinggal dua batang. Malam minggu ini sepi, empat bujang lapuk tidak datang, mereka ikut lomba mancing katanya.
Sebenarnya Hail ingin ikut, tapi rasa rindu membuatnya malas berbaur dengan manusia lain. Dia hanya ingin sendiri, merana, menikmati rindu yang bertepuk sebelah tangan.
"Wahai pemilik mata sipit, tidak kah kau merindu pangeran tampanmu ini. Hati ini hampir-hampir tidak bisa menahan rasa ingin bertemu, sudah tumpah ruah rasa cinta yang minta dicurahkan," sebait kata puitis Hail gumamkan dalam hatinya. Malu kalau beneran diucapin, hehehe.
Meski Hail masih tahu kegiatan Cala lewat suara, tapi tetap saja dia ingin ke sana. Menghabiskan waktu dengan gadis kecil yang sudah merenggut perhatiannya. Pria itu diam melamun, sampai tidak sadar jika Cakra berjalan kearahnya.
"Tumben sendiri Om? Yang lain mana?" Cakra duduk di kursi ban bekas sebelah Hail.
"Ikut lomba mancing," jawab Hail singkat, tanpa menoleh. Pria matang itu masih betah menatap langit gelap yang pekat.
"Om nggak ikut?" Cakra mengambil kopi kaleng milik Hail, lalu meminumnya.
"Nggak minat."
"Hem ... tapi bagusnya Om ikut, lumayan buat ngalihin pikiran galau om Hail," sindir Cakra dengan senyum tengil.
Hail menoleh lalu menoyor kepala keponakan kesayangannya dari samping.
"Tapi benerkan, Om lagi galau .... rindu berat tuh." Cakra menaik turunkan alisnya.
"Bocil tau apa. Tumben Aka nggak ngapel?" tanya Hail mengalihkan topik pembicaraan mereka.
Pemuda berambut ungu itu mencebikkan bibir, menghela napas dan menyandarkan punggungnya dengan kasar.
"Lagi mau nemenin Kak Willona," jawab Cakra dengan tangan terulur hendak mengambil bungkus rokok di meja, tapi dengan cepat Hail memindahkan benda itu.
Cakta berdecak, melipat tangan dengan bibir yang sudah manyun lima puluh centi. Sudah lama Cakra ingin ikut sedut-sedut tapi Hail belum memberi izin, padahal Cakra kan dah gede. Sudah sembilan belas tahun lebih satu minggu. Melihat Balita sembilan liternya merajuk, Hail pun mengeluarkan permen coklat dari sakunya.
"Aka ini aja." Hail menarik tangan Cakra lalu menaruh lima bungkus permen coklat di telapak tangan keponakannya.
"Aka udah gede Om, masa dikasih permen," ketusnya sambil membuka bungkus permen yang Hail berikan, lalu memakannya.
"Oh udah gede ya, tapi mana orang gede tidur sambil meluk botol beruang, minum susu coklat sambil minta diusap?" ledek Hail.
"Ada, cari aja." Cakra menaikan dagu membela diri.
'"Iyakah, kayaknya cuma Aka deh. Belum lagi kalau tuh banta apek nggak ketemu, bisa begadang selaman kamu. Kalau Luna tau Aka tidurnya pake bantal zaman prasejarah, yang nggak di cuci sejak penjajahan belanda gimana ya?" Hail mengusap-usap dagunya, matanya melirik tengil pada Cakra yang terlihat panik.
"Om nggak asik!" Cakra bangkit, berjalan masuk dengan tergesa.
Bisa dipastikan anak itu akan melapor pada Luna. Hail hanya bisa tertawa melihat kepanikan Cakra. Pria berkaos navy itu menghela nafas sejenak. Sesaat bisa terhibur dengan menggoda Cakra, tapi sebenarnya ada sesuatu yang menganggu Hail selain rasa rindu. Dia masih memikirkan bagaimana kehidupan Evelyn bisa berubah.
"Apa dia diusir setelah ketahuan hamil? Atau ... ah pusing gue mikirnya." Hail menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung harus mencari tahu dari mana, sedangkan teman-teman kuliahnya dulu juga tidak tahu bagaimana kehidupan Evelyn.
Evelyn memang ramah dan ceria, tapi dia tertutup tentang keluarganya. Hail sendiri sudah melihat Evelyn sejah hari pertama wanita itu datang dan menempati kamar di sebelahnya. Hail tersenyum tipis mengingat, wajah canggung Evelyn saat tanpa sengaja mereka bertabrakan di lorong apartemen, pertemuan yang Hail sengajakan.
Manis, kata pertama yang Hail pikirkan saat melihat wajah Evelyn kala itu.Tanpa sadar senyum Hail semakin melebar, saat penggalan memori di Melbourne berputar di otaknya. Ponsel Hail menjerit, membunyikan nada dering khusus yang sengaja ia setting untuk putri kecilnya.
Dengan cepat Hail menggeser logo hijau di layar.
"Halo Put-"
"Papa ...! Mama panas, Papa! Mama ga mau banun!" teriak Cala panik.
"Cala tenang ya, Papa ke sana sekarang." Hail segera bangkit dari kursinya, membuang putung rokoknya begitu saja.
Langkah lebar Hail tergesa, membawanya naik ke lantai dua bengkelnya. Dengan kasar dia mengetuk pintu kamar Cakra.
"Ada apa Om?" tanya Cakra setelah membuka pintu, Hail berdiri dengan guratan cemas yang tidak bisa disembunyikan.
"Om pergi dulu ada urusan, mungkin bakalan nginep," ujar Hail, ia lalu melangkah ke kamarnya tapi Cakra menahan.
"Aka ikut ya Om," pinta Cakra.
Hail menggeleng.
"Om titip bengkel aja ya Ka, biar nanti Bima ke nginep di sini. Susu coklat Aka juga udah om siapin di kulkas, Om pergi ya."
Tanpa menunggu jawaban Cakra, Hail pergi ke kamarnya. Mengambil jaket dan kunci motor. Setengah berlari Hail menuruni tangga, secepat yang ia bisa Hail menuju garasi. Setelah meyalakan motor sport warna hitamnya, Hail membuka pintu harmonika. Motor hitam dengan pengendaranya pun melesat keluar dari bengkel dengan kecepatan tinggi.
Rasa gelisah dan cemas meremas hati Hail. Putri kecilnya itu pasti ketakutan, dan Evelyn? Apa yang terjadi dengan wanitanya itu? Sepanjang perjalanan yang terasa lambat meski spedo meter motonya sudah menunjukan angka 90km/jam Hail terus berdoa, semoga wanita manisnya baik-baik saja. Semoga keadaannya tidak terlalu buruk, semoga dia tidak terlambat.
Ditengah panik yang menenggelamkannya Hail berusaha waras, sekilas pandangannya mengarah pada display apotik. Seketika Hail membelokkan motornya, tanpa melepas helm ia turun dari motor dan segera masuk.
"Termometer, plester penurun panas dewasa, minyak kayu putih, obat penurun panas, berikan masing-masing 1 pack. Cepat," tutur Hail pada pegawai apotik dengan segera, bahkan sebelum pegawai itu sempat bertanya.
"Baik, tolong tunggu sebentar." Pegawai itu segera menyiapakan pesanan konsumennya.
Hail mengangguk, menahan diri untuk bersabar. Meski telunjuknya terus mengetuk kaca etalase.
"Apa ada snack khusus balita?"
"Ada, Mas. Mau rasa apa?" tanya kasir yang sedang menghitung belanjaan Hail.
"Rasa apa saya, berikan saya sepuluh bungkus, dan susu S-27 untuk umur 3 tahun."
"Baik."
"Totalnya Enam ratus tujuh puluh tiga, belanjaannya kali taruh kardus ya Mas biar nggak jebol," ujar kasir sambil meletakan kardus berisi belanjaan Hail di atas etalase.
"Ya, terima kasih. Saya pake Qris." Hail menyodokan layar ponselnya yang sudah menampilkan bercode.
Kasir itu mengangguk, lalu men-scan barcode di ponsel Hail.
"Terima kasih sudah belanja," tutur Kasir itu dengan ramah, tapi Hail tidak menjawabnya.
Laki-laki bertubuh tegak itu pergi begitu saja sambil membawa kardusnya.
"Mau jualan kali ya, beli minyak kayu putih sebanyak itu?" tanya pegawai yang tadi menyiapkan belanjaan Hail.
"Mungkin," sahut si kasir.
Sementara yang dibicarakan sudah menghilang, menjauh dari apotik itu. Dengan hitungan menit Hail sudah sampai di depan rumah Evelyn. Jantung Hail berhenti berdetak, kardus yang nangkring di diatas tangki bensin motornya nyaris jatuh, saat melihat rumah yang gelap gulita, seolah tak berpenghuni.
"Eve...?"
kamu pasti bisa membuktikan kalau papa nya evelyn gak bersalah. dia hanya di fitnah seseorang.
aduduh untung bgt ya ada ob lewat bawa mie goreng jadi hail gak lama² deh di luar nya
eh kebetulan yg disengaja nih, ada OB bawa makanan. jadi alasan hail tepat
sudah saatnya hail berjuang untuk mencari kebenaran untuk ayahnya Eve
saking senengnya byr mie goreng aja sampe 200k 🤭 pdhl di kasih 50k aja msh kembalian nya kali 🤣🤣🤣