Keira Maheswari tak pernah menyangka hidupnya akan berubah begitu drastis. Menjadi yatim piatu di usia belia akibat kecelakaan tragis membuatnya harus berjuang sendiri.
Atas rekomendasi sang kakak, ia pun menerima pekerjaan di sebuah perusahaan besar.
Namun, di hari pertamanya bekerja, Keira langsung berhadapan dengan pengalaman buruk dari atasannya sendiri.
Revan Ardian adalah pria matang yang perfeksionis, disiplin, dan terkenal galak di kantor. Selain dikenal sebagai seorang pekerja keras, ia juga punya sisi lain yang tak kalah mencolok dari reputasinya sebagai playboy ulung.
Keira berusaha bertahan menghadapi kerasnya dunia kerja di bawah tekanan bosnya yang dingin dan menuntut.
Namun, tanpa disadari, hubungan mereka mulai membawa perubahan. Apakah Keira mampu menghadapi Revan? Atau justru ia akan terjebak dalam pesona pria yang sulit ditebak itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Teddy_08, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Berita Buruk (Cerita Bramantyo)
Bramantyo Baskara, menginjak pedal gas mobil hingga melesat dengan kecepatan tinggi menuju kediaman Alan Pratama.
Ia merasa kesal setelah mendapat kabar bahwa wanita yang ia idam-idamkan telah dinikahkan secara paksa dengan saingan bisnisnya.
Setelah semalam sepakat untuk bertemu dengan Alan, ia begitu menggebu-gebu ingin meluangkan waktu untuk mencari tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan pujaan hatinya.
Profil Keira Maheswari sudah ia kantongi. Bahwa wanita itu memang anak yang manja. Tapi terlepas dari semua itu ia memiliki kepribadian yang baik. Dan bagi Bram, perempuan itu tidaklah cocok berjodoh dengan seorang pria brengsek seperti Revan.
Kedatangan Bram ingin menyelidiki tentang bisnis yang di jalankan Revan, sebab meski dirinya gagal menjalankan kerja sama, tetapi ayahnya menanam banyak modal usaha di perusahaannya.
Jalanan menuju daerah Badung - Bali masih lengang. Belum begitu banyak kendaraan yang memadati ruas jalan. Bram melihat layar GPS yang kira-kira menunjukkan setengah jam lagi ia tiba di tempat tinggal Alan.
PING
Alan
"Nanti langsung masuk aja ya, gue masih berenang di halaman belakang rumah."
Sebuah pesan singkat muncul di layar ponsel Bramantyo.
Mencari Tahu (Cerita Bramantyo)
12.30 — Rumah Alan Pratama
"Bro, gue udah di depan area rumah. Lo di mana?" tanya Bramantyo pada Alan lewat sambungan telepon.
"Gue ada di taman bagian belakang rumah, minta tolong maid anterin. Cepetan ke sini aja."
Lalu tampak seorang pria bertubuh sedang, tampan keluar dari kolam renang dan bergegas mengenakan kimononya. Sementara di sebelahnya, ada seorang maid yang segaja menunggu sambil menghidangkan beberapa sajian makanan.
"Apa kabar Dit, ini siapa Lo. Kok aku belum tahu kalau udah nikah duluan?" tanya Bram, kebingungan melihat wanita muda, dengan begitu setia menunggu Alan yang baru saja usai berenang.
"Baik, Bram. Bukan istri gue, hanya seorang maid yang berusia muda …."
Bramantyo melihat maid tersebut buru-buru meninggalkan keduanya yang tampak serius mengobrol penting.
Alan terlihat mengangguk memberikan pertanda agar maid tersebut pergi meninggalkan dirinya dan juga Bramantyo. Pertanda ada hal penting yang ingin dia sampaikan.
"Duduk, Bram," ajaknya.
"Lo gak perlu ganti baju dulu atau gimana? Soalnya gue bakal nanya panjang nih." Bram menepuk bahu sahabatnya.
"Ngomong aja di sini. Gak apa-apa kok meski panjang gue tungguin," jawab Alan pasrah.
"Sesuai janji, seharusnya Lo nikahin Keira ama gue. Terus kenapa bisa sama si Revan?" tanya Bram kesal.
Ia menahan emosinya yang membuncah sejak tadi. Kini dengan kesempatan sahabatnya yang dianggap menipunya, rasanya ia ingin menerkam saja.
"Sabar dong, adik saya juga belum tentu betah. Keira itu anak manja. Pasti tahu kelakuan Revan dia berubah pikiran!"
"Berubah pikiran gimana? bukannya mereka udah ijab kabul?" tanya Bram mencecar. Raut wajahnya merah padam seperti kepiting rebus.
Ia kesal Alan tak tepat janji. Padahal Bramantyo sudah memberikan apapun yang dia minta. Saat ini ia merasa dirugikan secara finansial. Dan kerugiannya itu bukan dalam jumlah yang sedikit. Bisa dibilang nilainya mencapai ratusan juta.
Meski Bramantyo adalah seorang pria kaya raya. Ia tidak ingin menjadi permainan orang seperti Alan. Meskipun mereka berdua berteman dekat.
Bramantyo adalah sahabat lama Alan sejak keduanya duduk di bangku SMP. Saat itu juga, Alan sudah sering pamer kecantikan adiknya lewat foto yang ia miliki.
Jadi kasarnya, Bramantyo sudah lama memiliki rasa pada Keira. Meski sebelumnya tidak pernah bertemu sekalipun.
"Jadi ternyata orang tua gue itu udah punya perjanjian lama sama orang tuanya si Revan. Nah gue baru tahu kalau papa gue mempertaruhkan bisnisnya. Dalam masa sulit, yang bantu nanam modal Pak Raihan. Atau orang tua Revan. Jadi bukan salah gue lah," kilahnya panjang lebar.
Bramantyo semakin emosi mengetahui Alan merasa tidak bersalah dan memberikan jawaban sekenanya saja.
Ia bangkit, menarik kimono berbentuk handuk yang dikenakan Alan. Dan.
Boom!
Bramantyo mengayunkan kepalan tangannya. Ia hilang kendali begitu saja. Emosinya meluap-luap. Dibenaknya hanya ada wajah Keira. Pria jatuh cinta melupakan akal dan selalu mendahulukan egonya. Hal itulah yang dirasakan olehnya saat ini.
"Aduh … sakit, apa-apaan ini bro. Kita kan bisa ngomong baik-baik tanpa kekerasan," kesal Alan.
"Untungnya gue sabar, gak bringasan seperti Lo kecuali mendesak," imbuhnya mengomel sambil memegangi pipinya yang meninggalkan bekas lebam.
"Meski sabar Lo bilang? Hey, Keira udah jadi milik pria hidung belang yang suka mainin perempuan di luar sana! Paham! Kecuali abangnya emang gak punya hati!" pekik Bram dengan nadanya yang makin meninggi
Alan mendekat, mencoba menenangkan diri Bram dengan cara menekan bahunya agar pria itu mau duduk. Tapi dengan segera tangan Alan ditepisnya.
Alan menghela napas panjang dan begitu dalam. Ia merasa serba salah sekarang. Di satu sisi ia merasa banyak memiliki hutang pada Bramantyo, sedangkan di sisi lainnya ia kesal telah mengetahui kesepakatan kedua orangtuanya dengan keluarga Revan tanpa ia ketahui.
"Jadi, pak Raihan mengancam. Kalau gue gak ke Bandung dan menyetujui pernikahan itu, mereka akan menarik semua modal yang mereka tanam termasuk minta ganti ruginya. Beliau nunjukin perjanjian yang bokap gue tanda tangani di atas materai," terang Alan dengan wajah lesu.
"Terus, aku mesti diem aja dan nerima Keira dalam pelukan Revan?" Emosinya semakin tak tertahankan mendengar alasan yang diberikan Alan.
Seolah Bramantyo tidak memiliki cela sedikitpun untuk memiliki Keira. Harapannya sirna, keinginannya musnah. Membuatnya hilang akal dan gusar.
"Mereka masih menikah secara siri. Belum di sahkan secara hukum. Dan sepenglihatan gue, Keira masih berpura-pura sebagai asisten pribadi Revan setiap harinya. Dan merahasiakan pada semua orang sejauh ini," terang Alan. Lagi.
Bramantyo seperti mendapat angin segar mendengar hal itu, "Oke, gue akan cari cara sendiri."
"Eh tunggu dulu, Keira adik gue satu-satunya. Baru saja kesalahan besar telah gue buat dengan menikahkannya dengan pria brengsek seperti Revan! Kalau sampai Lo berani macam-macam sama dia, meski gue banyak hutang sama kamu, akan tanggung sendiri akibatnya," ucap Alan memberikan ancaman balik.
Kini ia tidak sedikitpun menunjukkan wajah bersahabat. Ia sepertinya begitu kesal dengan keadaan yang menimpa Keira.
"Aku cuma tidak rela Keira menikah dengan pria yang suka main wanita! Lebih baik dengan aku, meski aku ini perjaka tua setidaknya aku setia," tukasnya. Memberikan efek tenang pada Alan.
Sontak Alan mendongak menatap wajah pria tampan keturunan pribumi di hadapannya itu. Meski ia pria lokal, tapi ketampanannya masih mampu menandingi seorang Revan Halim.
"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Alan dengan raut wajah penasaran.
"Aku akan membuktikan pada Keira bahwa ia bukan pria yang pantas untuk dijadikan pendamping," selorohnya dengan tatapan tajam.
"Bisa atur jadwal untuk bertemu Keira?" tanya Bram dengan nada berhati-hati.
"Untuk apa? Dia kesal padamu," ujar Alan dengan sorot mata yang tak kalah tajamnya.
"Aku hanya ingin melihatnya baik-baik saja. Baiklah, aku harus mencari tahu sendiri tentang mereka berdua, itu juga kalau kamu tidak punya rasa malu," cerocos Bramantyo.
"Oke, aku bantu untuk menghubungi Keira," sahut Alan.
Ia masih memasang wajah kesal kemudian mencari-cari ponselnya yang ternyata terselip diantara pakaian kotor dan juga handuknya yang basah.
Dengan wajah serius, Alan mencari nama adiknya di benda pipih itu dan segera melakukan panggilan telepon meski masih di depan Bramantyo.
— To Be Continued