Gendhis harus merelakan pernikahan mereka berakhir karena menganggap Raka tidak pernah mencintainya. Wanita itu menggugat cerai Raka diam-diam dan pergi begitu saja. Raka yang ditinggalkan oleh Gendhis baru menyadari perasaannya ketika istrinya itu pergi. Dengan berbagai cara dia berusaha agar tidak ada perceraian.
"Cinta kita belum usai, Gendhis. Aku akan mencarimu, ke ujung dunia sekali pun," gumam Raka.
Akankah mereka bersatu kembali?
NB : Baca dengan lompat bab dan memberikan rating di bawah 5 saya block ya. Jangan baca karya saya kalau cuma mau rating kecil. Tulis novel sendiri!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 07
POV Raka
.
.
"Assalamualaikum, Raka. Ibu akhirnya menghubungimu. Soalnya nomor ponsel Gendhis tidak aktif. Kamu di kantor?"
Ibu bertanya mengira aku sudah pergi bekerja. Bingung dengan semua keadaan ini, tidak mungkin aku menyembunyikan kepergian Gendhis dari Ibu. Akan tetapi, bila Ibu sampai mengetahui bila Gendhis pergi meninggalkanku. Ibuku bisa sangat marah dan membenciku.
"Ya, Bu. Ada apa?" ucapku berusaha untuk tenang.
"Oh begitu. Bagaimana bila nanti malam kamu dan Gendhis menginap di rumah Ibu. Sudah lama kalian tidak menginap. Ibu sangat rindu pada Gendhis," balas Ibu.
Debaran hatiku mulai sangat terasa, tidak dapat aku membalas ucapan Ibu. Alasan apa yang dapat aku katakan padanya. Menantu kesayangannya memilih pergi meninggalkanku.
"Raka, kamu dengar ibu, Nak?" tanya Ibu dengan sedikit menuntut.
"Ya, Bu. Aku akan memberitahukan pada Gendhis," ucapku.
Akhirnya, aku hanya menjawab demikian. Kemudian setelah berbasa basi sebentar, aku menutup sambungan ponselku. Aku menghela napas melihat kembali kertas yang ada dalam tanganku.
Aku buka lemari yang berisi pakaian Gendhis. Ternyata sebagian besar isinya sudah hilang. Dia benar-benar meninggalkanku. Aku termenung mengingat memori sebelum dia pergi. Tidak ada yang salah dari semuanya.
Walau aku memaksanya untuk berhubungan badan. Aku tetap melakukannya dengan lembut. Aku menyentuh setiap tubuhnya dengan kasih sayang. Seharusnya, dia tidak menghilang begitu saja dariku.
Kemudian aku tersentak ketika mengingat penyatuan terakhir kami. Aku menyebutkan nama wanita lain ketika kami masih melakukannya.
"Aku mencintaimu, Silvia."
Darah seolah baik ke atas kepalaku, aku benar-benar bodoh. Bagaimana bisa aku menyebut nama wanita lain saat sedang bersama Gendhis?
Aku membenturkan kepala ke tembok menyadari kebodohanku. Aku tidak bisa memaafkan diri ini yang begitu bodoh mengucapkan nama Silvia ketika sedang bercinta dengan istriku sendiri. Namun, aku segera mengambil kunci mobil. Kemungkinan Gendhis masih berada di kota ini memang kecil. Akan tetapi, aku akan berusaha mencarinya.
Aku mencari ke seluruh tempat umum yang memungkinkan Gendhis berada. Stasiun, terminal, hingga bandara dia telusuri. Namun, tetap saja tidak memiliki hasil. Tidak sembarangan orang juga bisa mengetahui data penumpang, harus di mana aku mencari keberadaan wanita yang telah aku sakiti itu.
Aku kemudian menghubungi beberapa teman Gendhis. Semua teman Gendhis yang kuhubungi, tidak ada yang mengetahui keberadaannya. Namun, aku belum puas bila tidak bertemu langsung dengan sahabat Gendhis yang bernama Sheila.
"Aku yakin, dia pasti mengetahui sesuatu tentang keberadaan Gendhis," gumamku melakukan mobil ke toko tempat Gendhis bekerja.
Kini berada di toko roti tempat Gendhis dulu bekerja. Kenangan merebak ketika aku kembali mengingat sosok wanita yang telah pergi meninggalkanku. Dia selalu tersenyum menyambut kedatanganku.
Sebelum kami menikah, aku selalu menyempatkan diri menjemputnya. Namun, pemikiranku selalu tertuju pada Silvia. Di tempat ini, aku berharap bertemu dengan cinta pertamaku itu walau kenyataannya Silvia telah berada di tempat yang jauh bersama suaminya.
"Sheila, apa kamu punya waktu? Aku ingin bicara denganmu," ucapku ketika melihat keberadaan Sheila.
Sheila tampak heran melihat keberadaanku. "Ada apa, Raka? Tumben sekali kamu datang ke toko. Apa kabar dengan Gendhis?" tanya Sheila.
"Aku tahu, kamu pasti mengetahui keberadaan Gendhis, Sheila. Jangan menyembunyikannya. Dia pasti mengatakan sesuatu tentang kepergiannya," ucapku ketika bertemu dengan sahabat Gendhis.
"Apa maksudmu? Datang ke sini untuk mencari tahu keberadaan Gendhis? Aku sama sekali tidak mengetahui apa pun tentang kalian. Apa yang kamu lakukan pada sahabatku?" tuduh Sheila yang memang tidak mengetahui apa pun.
Menyadari kalau Sheila sepertinya tidak berbohong. Aku memilih untuk pergi dari hadapannya tanpa menjawab tuduhannya. Aku sudah cukup lelah dengan semua yang terjadi.
Kepergian Gendhis membuatku kehilangan arah. Namun, rupanya Sheila tidak berhenti di situ saja dan tidak membiarkanku pergi dengan mudah.
"Kubilang tunggu! Ke mana Gendhis? Apa yang kamu lakukan padanya? Apa dia pergi karena tidak tahan dengan dirimu?" cecar Sheila padaku yang sudah lemas karena kepergian Gendhis.
"Maafkan aku, Shei. Gendhis pergi dari rumah. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya hingga memilih untuk pergi. Aku..."
"Kamu masih tidak bisa melupakan Bu Silvia?" Sheila menatapku dengan tajam.
Aku terkejut dengan ucapannya, mungkinkah dia tahu kalau aku memiliki perasaan pada Silvia. Seluruh karyawan Silvia memang mengetahui kedekatanku. Tidak ada yang tidak tahu kalau kami dekat.
Sayangnya, Silvia memilih untuk kembali pada James yang telah melukainya begitu dalam. Aku pun tidak dapat berbuat apa pun karena aku tahu Silvia telah mencintainya. Namun, aku malah memutuskan untuk menikahi Gendhis karena desakan Ibu.
"Kamu tidak perlu tahu urusan rumah tanggaku!" tukasku.
"Dasar pria brengsek! Seharusnya, kamu tidak mendekati sahabatku itu, bila kamu tidak dapat mencintainya. Sekarang, ke mana dia berada. Dia tidak memiliki siapa pun. Tega sekali kamu menyakitinya, Raka!" ucap Sheila membuat hatiku semakin sakit.
"Aku akan mencarinya, Sheila. Aku akan mencari dan meminta maaf atas semua kelakuanku. Akan tetapi, aku tidak terima bila dia menginginkan perpisahan. Tidak ada yang dapat memisahkan kami begitu saja. Aku aku... Sudah..."
Tenggorokanku tercekat ketika ingin mengucapkan perkataan sakral yang seharusnya aku katakan ketika bersama Gendhis. Aku memang bodoh menyadari betapa berarti dirinya ketika dia telah pergi dari hidupku.
"Aku sudah mencintainya," gumamku dengan pelan.
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca. ❤️
Ambisinya bikin otaknya jd gk waras.. mending jd ja* lang aja sekalian..