Wanita introvert itu akhirnya berani jatuh cinta, namun takut terlalu jauh dan memilih untuk berdiam, berdamai bahwa pada akhirnya semuanya bukan berakhir harus memiliki. cukup sekedar menganggumi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NRmala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesedihan Dinda
Sedangkan Laura terus berjalan ke arah rumahnya. Menikmati setiap sudut jalanan kota dengan penuh bahagia. Tidak sabar ia menanti tiba datangnya lusa. Menanti momen yang akhirnya datang kembali setelah sekian lama pergi.
Sepanjang jalan, ia bersenandung Nabi. Mengucapkan syukur berjuta kali atas nikmatNya Allah yang diberikan hari ini. Dua kali, ia diberikan kebahagiaan. Pertama, bertemu dengan orang asing yang selama ini ia rindukan keberadaannya. Kedua, diberikan kesempatan untuk menghabiskan waktu liburannya lagi bersama Mamanya.
Kaki yang terselimuti gamis panjang itu tiba-tiba membeku. Tidak lagi melangkah dengan penuh kebahagiaan dan rasa syukur. Matanya meringis sakit pmelihat sahabatnya yang tidak jauh dari dirinya sedang berteriak marah dengan penuh tangis. Pada akhirnya, Dinda mengetahui sendiri tentang rahasia Ibunya.
Laura mencoba menggerakkan kakinya mendekat ke arah Dinda. Menahan tangisnya sendiri melihat keluarga itu yang sudah ia anggap sebagai keluarganya sendiri bertengkar hebat di depannya. Mencoba menenangkan amarah dan tangis Dinda dengan mengusap bahunya.
“Ibu, aku dan Bapak kurang apa untuk Ibu? Aku bekerja saat ini untuk Ibu. Agar Ibu bisa menikmati apa yang Ibu mau. Walaupun, yang aku dan Bapak berikan tidak banyak. Tapi, kami sudah berusaha memberikan dengan tulus. Apa yang laki-laki ini tawarkan kepada Ibu? Apa yang sudah ia berikan kepada Ibu? Lihat Bapak, Bu! Demi kita, dengan keadaan kesehatannya yang sekarang, dia masih bekerja untuk memenuhi semuanya. Ibu jahat!” Dinda berlari pergi menjauh dari rumah itu dengan tangis yang tidak berhenti.
Laura kaget melihat Dinda yang tiba-tiba berlari. Ia mencoba mengejar Dinda. Walaupun kecepatannya tidak seperti Dinda.
“Dinda! Tunggu!” Teriak Laura masih berusaha mengejar.
Lagi-lagi, langkah kaki Laura berhenti. Dinda telah berdiri saling menatap dengan seorang pria yang tidak sengaja di tabrak oleh Dinda barusan. Tangan pria itu mulai bergerak menghapus air mata Dinda. Lalu, memeluk memberi kehangatan kepada Dinda.
Bendungan air di ujung mata yang sedari tadi Laura mencoba untuk tahan, akhirnya jatuh juga. Ketidakrelaan, kecemburuan, dan ego yang membendung menjadi satu di kepala Laura. Bahagia yang baru saja terbentuk di hati Laura, kini dibasmi pergi dengan retakkan yang tidak diinginkannya.
“Menangislah. Keluarkan semuanya. Sampai kamu merasa lelah untuk menangis lagi. Dan sampai saat itu, biarkan saja pelukkan ini.” Kata pria yang memeluk Dinda tadi.
Laura masih berdiri tidak jauh dari tempat Dinda dan pria itu. Jantungnya berdegub kencang bersamaan dengan deras dari air matanya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Matanya menolak pemandangan itu. Tapi, nuraninya masih ingin berdiri di situ memastikan keadaan sahabatnya akan baik-baik saja setelah ini.
“Kenapa aku, Arya? Apa yang telah aku lakukan sehingga dunia begitu jahat kepadaku? Aku kira, aku sudah cukup bahagia dengan kesederhanaan ini. Ternyata, aku kurang dari segala sisi.” Kata Dinda melepas pelukannya. Pria itu yang ternyata adalah Arya, kembali menghapus sisa air mata Dinda yang tumpah ruah saat di pelukannya tadi.
“Aku tidak tahu apa yang sedang kamu alami. Karena secara tidak sengaja, aku melihatmu dengan penuh air mata di sini. Tapi, yang haru kamu tahu, kamu sudah sangat sempurna, Dinda. Kamu bahkan lebih dari kata sempurna. Keceriaan yang kamu berikan kepada semua orang itu adalah kesempurnaan yang tidak pernah kamu sadari. Sedih atau luka yang hari ini kamu dapat, adalah bahagia yang akan tertunda di masa depan. Jadi, tolong tetaplah ceria seperti Dinda yang ku kenal selama ini.” Arya menatap mata Dinda seolah memberikan sebagian energinya kepada gadis itu.
Laura menghapus air matanya. Lalu berlari kecil mendekati Arya dan Dinda.
“Dinda!” Panggil Laura ketika berada tepat di sebelah Dinda.
Dinda menoleh ke arah Laura lirih. Air mata dinda kembali memaksa keluar ketika melihat Laura. Seakan berbicara bahwa ia sangat menantikan kehadiran Laura di saat kondisinya seperti ini.
Arya menyadari bahwa ia harus memberi ruang kepada ke duanya. Ia pun perlahan munduru beberapa langkah. Hingga membuat Laura ikut tersadar dari respon Arya, ia langsung memeluk Dinda erat. Membiarkan Dinda menumpahkan segala sakit di dalam pelukannya. Memberi sedikit tepukkan hangat untuk menenangkan. Walaupun saat ini, air matanya pun meluncur dari sudut matanya.
“Ibu ... Ibu, Laura.” Bisik Laura.
“Sudah, Dinda. Untuk saat ini, biarlah kamu tenangkan diri kamu. Kamu, mau ikut ke rumah aku? Tidur dan tenangkanlah dirimu di sana.”
Dinda melepaskan pelukan Laura. Menghapus sendiri air matanya. Dan mulai menangguk mengiyakan ajakan Laura barusan. Kemudian, menatap Arya dan tersenyum kecil.
“Terima kasih, Arya.” Ucap Dinda yang di balas Arya dengan senyuman.
“Terima kasih, Arya. Aku dan Dinda pulang duluan. Assalamu’alaikum,” kata Laura.
“Sama-sama, Laura. Tolong kabari aku seandainya kalian butuh bantuan.” Balas Arya tersenyum.
Laura dan Dinda mulai berjalan pulang. Arya menarik napas panjang.
Seandainya, aku bisa berbuat lebih untuk kamu Dinda. Batin Arya sembari terus melihat Laura dan Dinda. Menatap kedua punggung itu hingga tidak lagi terlihat oleh pandangannya.
**********
“Assalamu’alaikum ... Dinda, kamu duluan naik ke kamar aku ya. Aku ambilkan kamu minum dan makan malam dulu. Tadi di Cafe, kamu belum sempat makan.” Ujar Laura di depan pintu rumahnya.
Dinda hanya mengangguk dan berjalan menuju kamar Laura. Sedangkan Laura berjalan ke arah dapur. Ia melihat ke atas meja makan apa yang sedang tersedia. Kemudian, mengambil piring dan mengisinya dengan lauk pauk yang ia lihat keberadaannya di atas meja. Tidak lupa, Laura juga mengambil air minum. Lalu bergegas menuju kamarnya.
“Neng, kapan datang? Mau makan di kamar?” Tanya Mba Ayem ketika melihat Laura membawa nampan dan membuat langkah Laura berhenti saat mau menaiki anak tangga.
“Maaf, Mba. Aku datang dari tadi. Beri salam tapi tidak ada jawaban dari Mba. Aku mau antar makanan ke Dinda, Mba. Hari ini, Dinda mau nginap di sini.” Balas Laura.
“Loh! Terus Neng kok tidak ambil makan buat Neng juga?”
“Bentar aku turun lagi kok, Mba.” Laura pun meninggalkan Mba Ayem kebingungan.
Laura membuka pintu kamarnya. Ia melihat Dinda yang sedang duduk termenung di atas kursi belajar. Menatap kosong ke arah sang rembulan yang cahayanya tidak se-indah yang sedang di alaminya malam ini. Namun, memberi sedikit ketenangan dan energi kepada Dinda.
“Dinda, kamu sudah enakkan?” Tanya Laura mendekat dan menaruh nampan makanannya di atas meja belajar depan Dinda berada.
“Sebagian dari diriku sudah hancur, Ra.”
Laura mendekap Dinda lagi. Membelai dengan lembut rambut Dinda yang tidak lagi tertutup dengan hijab segitiganya.
“Kalau kamu masih mau menangis, menangislah Dinda," kata Laura pelan.
Bersambung ...
enggak perlu tanda koma(,), langsung aja tanpa tanda koma