Widuri memilih kabur dari rumah, pergi jauh dari keluarga kakeknya yang tiba tiba menjodohkannya dengan sesosok pria yang bahkan tidak dia kenal.
Akibat perbuatannya itu sang kakek murka, tidak hanya menarik uang sakunya yang fantastis, sang kakek juga memblokir kartu kredit, mobil bahkan kartu kartu sakti penunjang hidup dan modal foya foya yang selama ini Widuri nikmati.
Akankah Widuri menyerah ataukah bersikeras pada pendiriannya yang justru membuatnya semakin terjerumus masalah??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kaa_Zee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.24
Laksmi mendekatinya dengan marah, ia langsung mendorong bahu Widuri yang baru saja bangkit hingga tubuh Widuri kembali terjerembab.
"Katakan apa maksud ucapanmu!"
Kepala Widuri mendongak ke arahnya dengan sorot mata kesal, namun ia tidak ingin mengatakan kartu AS nya sekarang karena waktunya tidak tepat. Dia kembali bangkit, berdiri didepan Laksmi.
"Bibi boleh usir aku, boleh juga menyakiti aku, tapi ingat satu hari nanti semua keburukan Bibi akan berbalik pada diri Bibi sendiri!"
"Cih, sok bijak!"
"Terserah Bibi, aku juga tidak sudi tinggal di sini bersama Bibi yang tidak punya hati!"
Tangan Laksmi mengangkat ke udara dan siap melayang ke arah keponakan kandungnya untuk mendaratkan sebuah tamparan, terlihat Widuri pun tidak gentar apalagi takut. Bukankah sejak dulu sikap Laksmi memang seperti itu.
Sekonyong-konyong Daniel datang dan menangkap tangan sang Ibu. Dia melirik sebentar ke arah Widuri.
"Apa yang Ibu lakukan pada Widuri? Jangan membuat keadaan semakin rumit, Bu!" ujarnya membela.
Laksmi mendengus kasar sementara Widuri hanya diam saja.
"Tahu apa kau ini, Ibu tidak akan melakukan hal ini jika dia tidak ada di sini. Bukankah lebih baik kalau dia pergi sebelum kakekmu itu pulang. Kita sudah bicarakan ini, Daniel,"
Widuri tersenyum kecut, benar dugaannya jika semua ini rencana Laksmi tanpa sepengetahuan Kakeknya.
"Sudahlah bu, kasihan Widi!"
"Kau membelanya, dasar kurang ajar! Aku melakukannya demi kau!" Laksmi memukul bahu putra kebanggaannya.
"Sudahlah, kalian tidak perlu bertengkar hanya karena aku, kau juga tidak perlu membelaku Daniel. Aku memang tidak berniat untuk kembali pulang ke rumah ini. Silahkan nikmati saja untuk kalian."
Widuri memilih berbalik arah dan segera mencegat taksi yang baru saja lewat didepannya. Sementara Laksmi tersenyum melihat kepergian Widuri.
"Bu, jangan pernah mengusik Widuri. Walau bagaimana pun dia itu keluarga kita!" cicit Daniel dengan tatapan yang tidak teralihkan.
Laksmi kembali mendengus dan memukul bahu putranya untuk kedua kali, "Dia mengatakan aku akan menyesal suatu hari nanti jika tahu keadaan yang sebenarnya! Dia sedang menyumpahi ibumu ini, Daniel."
Deg!
Daniel tertegun mendengarnya, dia pun mengalihkan pandangan pada ibunya.
"Kau tahu itu. Dia sedang menyumpahi ku!" ucap Laksmi mengulangi.
Daniel memutuskan pergi, dia masuk kedalam rumah dan meninggalkan Ibunya, "Aku tidak tahu!"
Sementara Widuri kini menangis tergugu, menutup wajahnya dengan menggunakan kedua tangan mungilnya. Entah kenapa keadaan semakin rumit dan merasa nasibnya begitu buruk.
"Maaf ...," Supir menyodorkan sebungkus tissu ke arahnya, sepertinya dia memperhatikan penumpang dibelakang yang tengah menangis tanpa bertanya apa-apa.
"Terima kasih, Pak!" kata Widuri yang mengambil tissu dan langsung menggunakannya.
Supir hanya mengangguk, "Saya akan menyetel lagu agar anda bisa lebih baik?" kata supir taksi beberapa saat kemudian, mungkin dia sudah sering mendapati penumpang yang sama persis seperti Widuri.
Widuri yang terus menghapus air matanya mengangguk kecil, dia lantas menyandarkan kepalanya disandaran kursi jok.
"Apa bapa bisa mengantarku sampai ke kota B?!" lirihnya.
"Tentu saja, aku akan mematikan argo kalau begitu," jawab supir dengan langsung mematikan argo, seolah faham saat seseorang memiliki masalah dan berniat pergi jauh.
"Tidak perlu pak, anda juga harus pulang dengan membawa uang untuk keluarga anda,"
Supir taksi yang sudah tidak terlihat muda itu tersenyum dengan hangat. "Tidak apa Nona, anda mengingatkanku pada putriku. Dia mungkin seusia anda kalau masih ada, tapi sayang tuhan lebih sayang dia dibandingkan saya."
Widuri terenyuh, menatap wajah yang tiba-tiba sendu dibalik spion yang berada di bagian atas depan kaca. Sebagai seorang ayah, dia cukup hangat dan terlihat sangat menyayangi putrinya yang sudah meninggal, miris sekali ternyata nasib supir tidak lah berbeda dengan dirinya, dia juga kehilangan orang tua sejak kecil. Sementara ada orang tua yang juga kehilangan anaknya.
Widuri menghela nafas panjang, bersikap tegar setelah mendengar nasib orang lain yang sama namun juga menerima dengan lapang, menjalani sisa hidup dengan lebih baik.
Perjalanan menuju kota B cukup melelahkan, dia tidak punya tujuan lain selain menemui Marcel dan meminta bantuannya. Hanya dia yang bisa membantunya saat ini.
Sementara Marcel yang baru saja tiba di apartemen langsung menuju ke kamar mandi, dia mengguyur tubuhnya dibawah pancuran shower agar merasa lebih baik dan lebih segar.
Namun fikirannya masih tertuju pada ucapan Widuri, lagi-lagi gadis itu mengganggu fikirannya.
"Sial, dia bahkan melamarku dua kali! Dia fikir aku tidak punya harga diri!" gumamnya pada diri sendiri.
Marcel mematikan shower, acara mandi nya menjadi tidak karuan sebab fikirannya kacau. Apa yang akan terjadi pada Widuri saat ini.
"Apa dia juga akan melakukan hal yang sama pada orang lain! Jangan-jangan dia mencari pria lain yang bisa dia nikahi!" ucapnya lagi pada pantulan dirinya di kaca wastafel.
Marcel membasuh wajahnya kembali, fikirannya justru semakin kacau mengingat hal itu bisa saja terjadi.
"Tidak. Apa yang kau fikirkan Marcel. Bodoh, kenapa tidak kau terima saja lamarannya kalau kau sekacau ini sekarang!" rutuknya.
Setelah beberapa saat, Marcel keluar dari kamar mandi dan mengambil pakaian lalu mengenakannya. Setelah selesai ia keluar dari kamar.
Pandangannya terarah pada sofa di ruang tamu. Sofa tempat di mana Widuri selama ini tidur dan melakukan hal lainnya, dapur juga tak luput dari pandangannya, tempat yang sering membuatnya marah hanya karena Widuri memasak di tempat itu dan bau semerbak kemana-mana.
Marcel menggelengkan kepala, ia meraih gelas dan menuangkan air lalu menenggaknya dengan sekali tegukan agar bisa menetralkan fikirannya, setelah itu ia mengambil pad miliknya dan berusaha keras fokus pada pekerjaan yang sempat tertunda.
Pria itu duduk di sofa dengan pad di tangannya, memeriksa laporan demi laporan yang dikirimkan Ferdy. Entah ada dimana asistennya itu sekarang.
Hingga waktu terus berputar semakin malam, Marcel masih larut dalam banyaknya pekerjaan yang dia tunda hanya karena menyusul Widuri untuk memastikan sesuatu, bodoh memang tapi tak dapat dipungkiri dihantui rasa penasaran yang tidak terbendung lagi.
Suara password pintu terdengar dari luar dan seketika terbuka lebar. Marcel mengambil tongkat golf dan mengacungkannya diwaktu yang tepat dan tepat sasaran.
"Aaaarrgghhhh!!"
"Kau!"
Betapa kagetnya Widuri saat tongkat golf hampir menghantam kepala, bisa-bisa ia mati karena kepalanya pecah. Begitu juga dengan Marcel yang terhenyak mendapati sosok yang mengganggu fikirannya kini berada didepan mata.
"Sedang apa kau di sini?"
"Kau ingin membunuh ku ya! Jahat banget," Widuri mendorong tongkat golf ditangan Marcel. "Kenapa aku selalu diperlakukan jahat oleh orang-orang. Apa ini karma orang tuaku dimasa lalu!"
"Kenapa kau bisa di sini?" Marcel kembali bertanya, pandangannya semakin tajam namun hatinya merasa sedikit lega melihat Widuri datang dan fikiran buruk yang sebelumnya hadir di fikiran buyar seketika.
"Jawab aku Widuri!?"
"Aku tidak punya tempat tujuan, Keluargaku sendiri tidak ingin aku berada disana. Aku di usir dan hanya kau yang bisa membantuku!" jawab Widuri tanpa basa-basi lebih dulu. "Hanya kau yang bisa membantu saat ini," katanya lagi, kali ini suaranya terdengar lirih.
Marcel mengusap wajahnya kasar, bukan Widuri yang harusnya melamar. Tapi jika dia mengatakan mau membantu, dengan jelas perasaannya akan terungkap.
"Sudah aku katakan aku tidak mau! Apa kau tidak mengerti juga?"
cus lah update k. yg banyak