NovelToon NovelToon
Malam Pertama Untuk Istriku

Malam Pertama Untuk Istriku

Status: tamat
Genre:Tamat / CEO / Penyesalan Suami / Menikah dengan Musuhku / Trauma masa lalu
Popularitas:19.1k
Nilai: 5
Nama Author: Mamicel Cio

Reyhan menikahi Miranda, wanita yang dulu menghancurkan hidupnya, entah secara langsung atau tidak. Reyhan menikahinya bukan karena cinta, tetapi karena ingin membalas dendam dengan cara yang paling menyakitkan.

Kini, Miranda telah menjadi istrinya, terikat dalam pernikahan yang tidak pernah ia inginkan.

Malam pertama mereka seharusnya menjadi awal dari penderitaan Mira, awal dari pembalasan yang selama ini ia rencanakan.

Mira tidak pernah mengira pernikahannya akan berubah menjadi neraka. Reyhan bukan hanya suami yang dingin, dia adalah pria yang penuh kebencian, seseorang yang ingin menghancurkannya perlahan. Tapi di balik kata-kata tajam dan tatapan penuh amarah, ada sesuatu dalam diri Reyhan yang Mira tidak mengerti.

Semakin mereka terjebak dalam pernikahan ini, semakin besar rahasia yang terungkap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mira, aku harus apa?

Ruangan itu gelap. Hanya ada cahaya redup dari lampu meja yang hampir kehabisan daya. Aroma alkohol memenuhi udara, bercampur dengan asap rokok yang masih mengepul di asbak di atas meja.

Reyhan terduduk di sofa dengan kepala tertunduk, rambutnya berantakan, wajahnya kusut dengan mata merah yang sembab. Tangan kanannya masih menggenggam erat gelas whiskey yang isinya sudah hampir habis. 

Di lantai, beberapa botol kosong berserakan, bukti bahwa ia tidak berhenti menenggak alkohol sejak tiga hari terakhir.

Sudah tiga hari ia tidak ke kantor.

Sudah tiga hari ia hanya mengurung diri di rumah, menolak bertemu siapa pun, termasuk Bimo.

Matanya terpaku pada satu sudut ruangan. Sketsa wajahnya yang dulu sempat ia buang kini bersandar di dinding. Lembar-lembar kertas itu kini tampak lusuh, ada beberapa yang terlipat, bahkan robek di bagian pinggirnya.

Dia menyentuh sketsa itu lagi, jemarinya menelusuri garis-garis wajahnya sendiri di atas kertas. Lalu, tanpa sadar, ia tertawa.

Tawa yang menyakitkan.

"Seharusnya aku senang, kan? Bukankah ini yang aku inginkan sejak awal?" suaranya terdengar parau, hampir seperti gumaman yang tidak jelas. 

Tangannya meremas lembaran sketsa itu, sebelum ia membukanya lagi dan menatapnya dengan nanar.

"Tapi kenapa… aku malah merasa hampa?"

Tiba-tiba, suara ketukan pintu menginterupsi kesunyian. Reyhan tidak menghiraukannya. Dia hanya menenggak sisa whiskey di gelasnya.

Tapi ketukan itu semakin keras.

Dan beberapa detik kemudian, pintu terbuka.

Bimo berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh kekhawatiran. Matanya langsung menangkap kondisi ruangan, gelap, pengap, dan Reyhan yang tampak berantakan.

"Reyhan… Apa yang kamu lakukan pada dirimu sendiri?" Bimo menutup pintu di belakangnya, lalu berjalan mendekat. 

Reyhan terkekeh. "Aku hanya menikmati kebebasanku," katanya sinis.

Bimo menghela napas berat. Ia menatap botol-botol kosong di lantai, lalu menatap Reyhan yang terlihat lebih hancur dari sebelumnya.

"Apa ini namanya kebebasan, hah?" bentaknya. "Mengurung diri, menenggak alkohol seharian, tidak peduli pada dunia luar? Apa ini hidup yang kau inginkan?"

Reyhan tidak menjawab.

"Bangun, Rey," lanjut Bimo, nada suaranya lebih tenang tapi penuh tekanan. "Miranda sudah ti—"

"Jangan sebut namanya!" Reyhan tiba-tiba berteriak, melemparkan gelas ke dinding hingga pecah berantakan. Matanya menatap tajam ke arah Bimo, napasnya tersengal.

Bimo menegang, tapi ia tidak mundur.

"Kenapa? Kamu masih berharap dia akan kembali?" tanya Bimo tajam.

Reyhan mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras.

"Kamu tahu, Rey?" Bimo melanjutkan, mendekati pria itu. "Bahkan jika kamu mengurung diri selama bertahun-tahun, Mira tidak akan bangun lagi. Tidak akan ada keajaiban yang membawanya kembali."

Reyhan menunduk. Dadanya terasa seperti dihantam sesuatu yang sangat berat.

"Kamu bisa menghancurkan semua bisnis keluarganya, kamu bisa menekan mereka sekuat tenaga," kata Bimo lagi, kali ini dengan suara yang lebih pelan, "tapi itu tidak akan membawa Mira kembali."

Keheningan menyelimuti ruangan.

Lalu, perlahan, bahu Reyhan bergetar. Untuk pertama kalinya, ia merasa kalah.

Ia tidak pernah merasa kalah dalam hidupnya. Bahkan ketika Arini meninggal, ia masih bisa berdiri tegak dengan amarah dan dendam yang membutakannya.

Tapi kali ini…

Semua terasa berbeda.

Dendam itu kini terasa tidak berarti.

Lalu, tanpa peringatan, Reyhan tertawa kecil. Tapi bukan tawa kebahagiaan, melainkan tawa yang penuh kepedihan.

"Aku benar-benar bodoh, ya?" suaranya hampir berbisik.

Bimo tidak menjawab.

"Aku pikir… jika aku cukup menekannya, dia akan keluar dari persembunyiannya," lanjut Reyhan, menatap kosong ke arah sketsa yang masih ada di tangannya. "Aku pikir aku bisa membuatnya kembali dengan caraku sendiri."

"Tapi kenyataannya?"

"Mira tidak pernah bersembunyi."

"Dia memang sudah pergi."

Dan kini, Reyhan harus hidup dengan kenyataan itu.

Bimo berdiri di tengah ruangan dengan tangan mengepal, menatap Reyhan yang masih duduk di sofa dengan tatapan kosong. 

Aroma alkohol masih memenuhi udara, dan botol-botol kosong berserakan di lantai. Lelaki yang dulu begitu dingin, berwibawa, dan tak terkalahkan kini terlihat seperti manusia yang kehilangan segalanya.

"Bukankah sudah cukup, Rey?" suara Bimo terdengar serak, penuh tekanan.

Reyhan tidak merespons. Matanya tetap terpaku pada sketsa wajahnya yang dibuat oleh Mira, satu-satunya bukti bahwa wanita itu pernah mencintainya dengan sepenuh hati.

"Bagaimana dengan Pratama Group?" Bimo melanjutkan, suara ketegasannya bergetar oleh emosi. "Perusahaan itu satu-satunya peninggalan keluargamu. Ribuan orang bergantung pada Pratama Group untuk hidup mereka! Apa kamu akan membiarkan semuanya hancur hanya karena Mira?"

Reyhan tertawa kecil, suara yang lebih mirip dengan kepedihan daripada kebahagiaan. 

"Pratama Group? Apa peduliku?" gumamnya pelan.

Bimo terdiam.

"Apa kamu tahu, Bim?" Reyhan menoleh, mata hitamnya yang dulu begitu tajam kini tampak kosong. "Semua yang aku lakukan selama ini adalah untuk membalas dendam. Aku hidup hanya untuk menghancurkan keluarga Sindu. Tapi setelah Mira mati… aku tidak tahu lagi untuk apa aku hidup."

Bimo menahan napas.

"Jadi, kamu ingin menghancurkan Pratama Group juga?" tanya Bimo, suaranya sedikit bergetar.

"Biarkan semuanya runtuh." Reyhan menyandarkan kepalanya ke belakang, menatap langit-langit dengan senyum pahit yang tak sampai ke matanya.

Bimo melangkah maju dengan kemarahan yang tak bisa ia bendung lagi.

"Jadi itu solusimu?" suaranya naik, penuh emosi. "Kamu sudah menghancurkan keluarga Mira, dan itu masih belum cukup?! Kamu ingin menghancurkan Pratama Group, perusahaan yang dibangun oleh orang tuamu, begitu?! Apa kamu pikir ini yang diinginkan ibumu, ayahmu?!"

Reyhan masih diam.

Bimo menggeram frustrasi. "Aku tidak percaya kamu sampai sejauh ini, Rey…"

Keheningan memenuhi ruangan.

Hanya suara napas berat Reyhan yang terdengar. Ia menutup matanya sejenak, seakan sedang berusaha mengusir rasa sakit yang menyesakkan dadanya.

"Kamu pikir aku peduli dengan Pratama Group? Aku tidak butuh itu, Bimo. Aku tidak butuh apa-apa lagi. Aku hanya ingin Mira kembali…" gumamnya, suaranya lirih.

Bimo mengepalkan tangannya.

"Mira sudah mati, Rey. Dan kamu masih hidup, masih bisa melanjutkan semuanya," katanya, kali ini lebih pelan. 

Kata-kata itu menohok Reyhan lebih dari yang Bimo kira.

Reyhan mengangkat kepalanya perlahan, menatap sahabatnya dengan mata yang mulai memerah lagi.

"Untuk apa? Untuk apa aku hidup kalau semuanya sudah tidak ada artinya lagi?" tanya Reyhan dengan suara yang nyaris berbisik. 

Bimo terdiam.

Ia melihat Reyhan yang duduk di hadapannya, seorang lelaki yang telah lama ia kenal, tapi kini tampak seperti bayangan dari dirinya yang dulu.

Reyhan Pratama yang dulu begitu kuat dan tak tergoyahkan, kini hanyalah pria yang kehilangan arah.

Bimo menarik napas panjang, mencoba menahan amarah dan rasa frustrasinya.

"Kalau begitu, biarkan Pratama Group hancur, biarkan ribuan orang kehilangan pekerjaan mereka. Biarkan semua usaha keluargamu selama ini sia-sia." kata Bimo tegas, meski suaranya bergetar. 

Reyhan menatapnya, tapi tidak berkata apa-apa.

"Tapi ingat satu hal, Rey," lanjut Bimo dengan tatapan tajam. "Kalau kamu benar-benar membiarkan semua ini hancur, kamu tidak hanya kehilangan Mira. Kamu juga kehilangan semua yang tersisa darinya."

Reyhan mengernyit. "Apa maksudmu?"

Bimo menghela napas.

"Mira mungkin sudah tiada, tapi kamu tahu apa yang masih ada? Impian Mira. Harapannya. Semua usaha yang dia lakukan untuk membuatmu bahagia, untuk mendapatkan maafmu…" Suara Bimo terdengar tegas, matanya menatap Reyhan tajam, menembus tembok pertahanan yang selama ini ia bangun. 

Reyhan membeku. Kata-katanya seperti belati yang menusuk jauh ke dalam relung hati yang selama ini ia tolak untuk diakui. 

Bimo tidak berhenti. Dengan nada yang lebih rendah namun penuh tekanan, dia melanjutkan, "Dan sekarang, kamu ingin membiarkan semuanya sia-sia?!"

Dada Reyhan terasa sesak. Rasanya seperti sesuatu yang berat mencengkeram tanpa ampun. 

'Benarkah… aku sedang membiarkan semuanya lenyap begitu saja?' Bayangan Mira tiba-tiba memenuhi pikiran. Wajahnya, senyumnya, semua momen ketika dia mencoba menyentuh hati ini yang dingin. 

Reyhan memikirkan caranya mencintai aku tanpa syarat, bagaimana dia bertahan meski aku terus menjauhinya, terus melukai perasaannya. Dan pada akhirnya… aku? Aku malah mengusirnya dari hidupku. Aku menghancurkan keluargaku sendiri. Aku menelantarkan wanita itu sampai dia kehilangan harapan untuk hidup. Semua itu karena egoku. Karena kesalahan-kesalahan yang tidak pernah ingin aku akui. 

Dan sekarang? 

Reyhan berdiri di ambang jurang kehancuran yang mungkin lebih parah dari sebelumnya. Jika ia memilih untuk menghancurkan semua kenangan dan harapan yang ditinggalkan Mira… apa yang akan tersisa darinya? Apa ia benar-benar sanggup menjalani hidup tanpa sedikitpun jejak masa lalu?

Ketakutan mulai merambat, menggulung kesombongan. Untuk pertama kalinya, Reyhan merasa lemah. Takut akan kehampaan. Takut pada diri sendiri. Takut akan pilihan yang bahkan belum kuambil.

Bimo menatapnya, berharap kata-katanya bisa mengguncang pria itu.

Dan akhirnya… Reyhan menunduk, kedua tangannya menggenggam rambutnya.

Dadanya terasa sesak. Kepalanya terasa berat.

Dia tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan.

"Mira… Apa yang harus aku lakukan?"

Untuk pertama kalinya… Reyhan tidak tahu bagaimana cara keluar dari kehancuran yang ia ciptakan sendiri.

Bersambung... 

1
Serani Waruwu
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!