NovelToon NovelToon
Ibu Pengganti Anak Sponsor Ku

Ibu Pengganti Anak Sponsor Ku

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / CEO / Ibu Pengganti / Pengasuh / Chicklit
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Alensvy

"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."

Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”

Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”

Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”

“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”

Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

...****************...

"Sienna," suara Arsen tiba-tiba terdengar lebih dekat.

Aku mengangkat kepala, dan benar saja—dia sudah berdiri di depanku, menatapku dengan ekspresi yang sedikit berbeda dari biasanya.

"Kenapa?" tanyaku pelan, tetap fokus pada Nathan yang masih menyusu padaku meskipun nggak ada ASI di sana.

Arsen diam sejenak, lalu menghela napas panjang.

"Maaf," ucapnya, suaranya terdengar serius.

Aku mengerutkan kening.

"Maaf untuk apa?" tanyaku, bingung dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba.

Dia menatap Nathan yang masih lengket di dadaku, lalu kembali menatapku.

"Aku nggak seharusnya menyeretmu ke dalam hidupku dan Nathan," ucapnya pelan.

Aku terdiam. Ada sesuatu dalam nadanya yang membuat dadaku terasa aneh.

"Kenapa tiba-tiba ngomong begitu?" tanyaku akhirnya, mencoba menangkap maksud dari ucapannya.

Arsen kembali menatap Nathan yang sudah mulai mengantuk. "Aku lihat ekspresimu tadi waktu ketemu pria itu. Kau ketakutan, gemetar… aku nggak suka lihat kau kayak gitu," gumamnya, lalu menatapku lagi. "Dan aku nggak mau kau mengalami hal seperti itu lagi karena aku."

Aku menggigit bibir bawah, lalu mengalihkan pandangan ke Nathan. Bayi ini… dia sudah jadi bagian dari hidupku dalam waktu singkat, dan sekarang Arsen malah ngomong seperti ini?

"Arsen," aku menghela napas pelan. "Aku tahu aku bukan siapa-siapa buat kalian, tapi bukan berarti aku mau keluar dari kehidupan kalian juga."

Arsen menatapku lama sebelum akhirnya mengusap kepala Nathan dengan lembut.

"Dia jadi tergantungan sama kau," gumamnya, suaranya terdengar seperti seseorang yang menyadari sesuatu yang baru saja terjadi.

Aku menunduk, menatap Nathan yang masih menempel di dadaku meski sudah setengah tertidur.

"Aku juga nggak tahu kenapa dia lebih nyaman sama aku," bisikku, mengusap pelan punggung mungilnya.

Arsen menghela napas lagi, lalu duduk di sampingku. Aku bisa merasakan kehadirannya begitu dekat, tapi aku tetap fokus pada Nathan.

"Kalau dia semakin lengket sama kau, aku harus gimana?" tanyanya tiba-tiba.

Aku menoleh, menatap matanya yang kelam. "Maksudmu?"

"Aku nggak bisa jauh dari Nathan. Dan kalau kau juga nggak bisa jauh dari dia… artinya kau juga nggak bisa jauh dari aku," ucapnya pelan.

Aku menahan napas sejenak. Kenapa kata-katanya malah terdengar seperti jebakan sekarang?

"Sienna," suara Arsen terdengar lebih dekat, dan aku bisa merasakan tatapannya yang nggak lepas dari wajahku.

Aku menoleh, mendapati ekspresi seriusnya. "Apa lagi?" tanyaku, setengah waspada.

Arsen mengalihkan pandangannya ke Nathan, lalu ke dadaku—yang masih jadi tempat bocah kecil ini bersandar.

"Milikmu kayaknya sedikit bengkak sekarang," ucapnya datar.

Aku langsung melotot. "Hah?"

"Karena terlalu sering diisap Nathan," lanjutnya, masih dengan nada santai seolah dia baru saja membahas cuaca.

Detik berikutnya, aku berdecak kesal dan melotot ke arahnya. "Nah kan! Berarti selama ini kau lihat punyaku?!" seruku, menunjuk dirinya dengan tajam.

Arsen yang tadi kelihatan santai mendadak terbatuk kecil dan mengalihkan pandangannya.

"Aku nggak lihat. Aku cuma… menyimpulkan," balasnya, suaranya sedikit kaku.

Aku menyipitkan mata, menatapnya penuh curiga. "Menyimpulkan dari mana?"

Dia mengangkat bahu. "Dari yang kau rasakan sendiri. Kau sering mengeluh nyeri, kan?"

Aku mendecak lagi, masih belum puas dengan jawabannya. "Tapi tetap saja, kalau kau bisa menyimpulkan berarti kau memperhatikan!"

Arsen menghela napas panjang, lalu menatapku datar. "Sienna, aku seorang pria. Aku punya mata. Dan aku nggak buta," balasnya santai.

Aku mendengus, berusaha keras menahan wajahku yang mulai panas. "Dasar Arsen menyebalkan," gumamku sambil kembali fokus ke Nathan.

Dari ekor mataku, aku bisa melihat Arsen menyunggingkan sedikit senyum miring. "Kau yang berpikiran aneh duluan," ucapnya pelan.

Aku melotot lagi. "Kau yang mulai!" seruku, masih kesal.

Arsen hanya berdeham kecil, lalu menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. "Terserah," gumamnya, terlihat santai seolah percakapan tadi nggak pernah terjadi.

Sementara aku? Aku masih sibuk berusaha menenangkan jantungku yang nggak tahu kenapa jadi berdetak lebih cepat dari biasanya.

...****************...

Aku nyaris berteriak saat Arsen tiba-tiba menarik Nathan dari dadaku. Tapi sebelum sempat protes, dia sudah memindahkan bocah itu ke tempat tidur bayi di sebelah ranjang king size kami.

Aku menatapnya curiga. "Kenapa buru-buru banget sih?"

Arsen menoleh sebentar ke arah Nathan yang sudah terlepas tanpa menangis, lalu menatapku lagi. Matanya sayu, tapi ada sesuatu di sana—sesuatu yang membuat jantungku berdebar tanpa alasan.

"Sekarang giliran aku."

Aku belum sempat memproses kata-katanya saat dia tiba-tiba mencondongkan tubuh, kedua tangannya bertumpu di kasur di kedua sisi tubuhku.

"A-Arsen, jangan deket-deket!" seruku panik, tapi dia sudah terlalu dekat.

Aku mencoba mundur, tapi sia-sia. Tatapan matanya mengunci pergerakanku, membuat napasku tercekat.

"Aku cuma mau lihat." suaranya dalam, hampir seperti bisikan.

Aku mendelik. "Lihat apanya?! Minggir sana!"

Alih-alih menjauh, dia justru menunduk, matanya menelusuri bagian yang tadi sempat ‘tersiksa’ karena isapan Nathan. Aku refleks menyilangkan tangan di dada.

"Jangan sok-sokan dokter! Pergi sana!"

Dia menyeringai tipis. "Bengkak banget."

"Makanya! Semua ini gara-gara kau yang asal narik Nathan tadi!" aku melotot, merasa sedikit geram sekaligus canggung.

Arsen menghela napas, lalu mengulurkan tangan sebelum aku sempat menghindar. Jemarinya menyentuh kulitku dengan lembut, membuatku menegang seketika.

"Tunggu! Apa yang kau laku—"

Aku tak bisa melanjutkan kalimatku saat dia mulai memijat dengan gerakan perlahan, seolah sedang mencoba mengurangi rasa nyeri di sana.

Aku tercekat. "A-Arsen... stop." bisikku, suara nyaris tak keluar.

Dia menatapku sekilas, lalu kembali fokus. "Tenang, aku cuma bantu."

"Nggak perlu! Aku bisa sendiri!"

"Oh ya?" Dia menaikkan satu alis, tapi tangannya tetap di tempatnya.

Arsen tiba-tiba mendekat, bikin aku refleks mundur, tapi gerakanku kalah cepat. Napasku masih belum stabil, dadaku naik-turun cepat setelah Nathan akhirnya lepas dari sana. Tapi sebelum sempat protes atau menarik diri, dia udah lebih dulu nunduk… terus bibirnya nempel di kulitku.

"Heh! Arsen—"

Aku tersentak. Badanku langsung kaku. Sensasi hangat dari mulutnya bikin aku kehilangan kata-kata. Aku bisa ngerasain gimana bibirnya nempel, lalu sedikit ngisap dengan ritme pelan.

Refleks, tanganku naik, nyari pegangan di bahunya—mau narik dia pergi. Tapi di saat yang sama, tubuhku juga menegang dengan cara yang… aneh. Sesuatu yang aku sendiri nggak ngerti.

"Diam aja. Aku cuma bantu biar nggak sakit," gumamnya pelan, suaranya serak banget.

Aku makin bingung sekarang. Aku tahu aku harus marah, harus dorong dia, harus bilang, “Hei, ini nggak bener!” Tapi… entah kenapa, caranya ngelakuin ini malah bikin aku tenang. Rasa nyeri yang tadi tajam banget mulai mereda, digantiin sensasi hangat yang menjalar pelan-pelan.

Udara di sekitar tiba-tiba jadi lebih panas. Napasku dan napas Arsen nyampur di antara kami.

"Arsen… ahh…" bisikku nyaris nggak kedengeran.

Dia nggak jawab, tapi masih di situ. Masih tenang. Masih fokus. Sesekali, dia neken sedikit lebih dalam, seolah pengin mastiin aku nggak sakit lagi.

Aku tanpa sadar melengkungkan tubuhku, tanganku yang tadi mau mendorong, sekarang justru mencengkeram kemejanya.

Aku harus stop ini. Harus. Tapi kenapa susah banget?

...****************...

Tanganku naik, pelan-pelan mendorong bahunya. Bukan keras, cuma sekadar ngasih tanda. Arsen langsung berhenti. Dia mengangkat wajahnya, dan mata kami bertemu. Nafas kami sama-sama terengah-engah.

Jantungku berdegup kencang.

Tatapannya masih gelap, masih dipenuhi sesuatu yang nggak bisa aku artikan. Nafasnya masih berat, bibirnya sedikit basah, dan... oh Tuhan, aku harus berhenti mikirin itu.

Tapi sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, aku sadar akan sesuatu. Milikku sudah basah dan.. Semakin bengkak. Lalu—

Aku bisa merasakannya.

Benda itu.

Aku menelan ludah.

Sesuatu yang keras menyentuh tubuhku dari bawah sana, bahkan meski kain pakaian masih jadi penghalang di antara kami. Panasnya terasa, denyutannya hampir bisa aku rasakan.

Aku langsung membeku.

Arsen juga.

Kami masih saling menatap, tapi kali ini suasananya berubah. Lebih mendebarkan, lebih berbahaya.

Sial.

Aku langsung mendorongnya lebih kuat, cukup buat dia terjatuh ke sampingku. Aku buru-buru bangkit, tapi tubuhku... oh tidak, kakiku rasanya nggak bisa menahan beban. Lelehan panas menjalar dari tubuh ke ujung jari kakiku. Lututku bergetar, dan aku harus pegangan ke pinggiran ranjang buat tetap berdiri.

"Kamu nggak apa-apa?" suara Arsen terdengar serak, dan itu makin memperburuk keadaan.

Aku menggigit bibir, menahan sesuatu yang nggak bisa aku jelaskan. Tanpa menjawab, aku buru-buru menjauh, mendorongnya sekali lagi untuk memastikan dia nggak makin mendekat.

Lalu, tanpa pikir panjang, aku kabur ke kamar mandi.

Begitu pintu tertutup, aku bersandar di sana, menarik napas dalam-dalam.

Astaga.

Apa yang barusan terjadi?!

.

.

.

Next 👉🏻

1
Semangat
lanjut thor
Alen's Vy: Iyaa ntar sore yakk
total 1 replies
Alen's Vy
Bagusss
Anonymous
Yang baca juga shock ko sienna, ga kamu doang/Facepalm//Awkward/
Semangat
jahat bgt. untung putus ya thor
Alen's Vy: Iya ih, untung aja.
total 1 replies
Semangat
modus duda ini pasti.
Semangat
luar biasa
Semangat
Hahahaa Thor😭😭
Alen's Vy: Sstt🤫🤣
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!