Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
“Kau pikir aku bisa membiarkan dia berada di sekitarmu begitu saja?” Riana mendekatkan wajahnya, suaranya berubah menjadi bisikan tajam yang penuh ancaman. “Aku tidak pernah berbagi, Yuki.”
Jemarinya yang tadi mencengkeram dagu Yuki kini turun ke tengkuk, menahannya agar tidak bisa menghindar. “Jadi jangan pernah, sekalipun, berpikir untuk mendekatinya lagi.”
Pangeran Riana bukan hanya memperingatkan. Dia sedang membuat keputusan yang tidak bisa diganggu gugat.
Pangeran Riana menunduk, wajahnya semakin dekat hingga Yuki bisa merasakan napasnya yang panas menyapu kulitnya. Lalu tanpa peringatan, dia menekan giginya ke dada Yuki, tepat di bawah tulang selangkanya.
Yuki terpekik pelan, tubuhnya refleks menegang karena sensasi perih yang ditinggalkan gigitan itu. Namun, Pangeran Riana tidak melepaskannya begitu saja. Bibirnya tetap berada di sana, seakan menandai wilayahnya, meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus.
“Aku tidak akan membiarkanmu mendekati pria mana pun, termasuk Lekky.” Suaranya rendah, dingin, tapi mengandung ketegasan yang tak terbantahkan. “Dia tidak pernah menganggapmu sebagai saudara, Yuki. Dia menginginkanmu, sama seperti aku menginginkanmu.”
Yuki berusaha mengatur napasnya, tetapi matanya bertemu dengan tatapan tajam Pangeran Riana yang tak memberi ruang untuk perlawanan. Ada sesuatu yang berbahaya dalam caranya mengucapkan kata-kata itu—sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Pangeran Riana tidak berhenti. Setelah meninggalkan jejak giginya di bawah tulang selangka Yuki, bibirnya bergerak perlahan, menyusuri kulit lembutnya. Ciumannya turun ke dagu, lalu bergeser ke pipi, seakan ingin mengukir keberadaannya di setiap jengkal wajah Yuki.
Sesekali, dia menekan bibirnya lebih lama di satu titik di leher Yuki, menghisapnya hingga kulitnya memerah, meninggalkan tanda yang tidak akan hilang dalam waktu dekat. Kissmark itu bukan sekadar jejak, melainkan klaim—peringatan bagi siapa pun yang berani mendekati Yuki.
Yuki mengerjapkan mata, tubuhnya masih menegang, tidak bisa mengabaikan caranya menandai dirinya begitu terang-terangan. Namun, Pangeran Riana hanya tersenyum miring, tangannya masih mencengkeramnya erat, memastikan bahwa Yuki tetap berada dalam genggamannya.
“Kau hanya milikku, Yuki,” bisiknya di dekat telinganya, suaranya dalam dan berbahaya. “Jangan pernah berpikir untuk lari dariku.”
Pangeran Riana bangkit, menatap Yuki dengan mata gelap yang dipenuhi api kemarahan. Nafasnya masih berat, dan otot-ototnya menegang, seperti singa yang siap menerkam mangsanya. Dia berdiri di antara kedua kaki Yuki yang terbuka, tubuhnya hanya tersisa celana setelah dia melepaskan jubah dan kemejanya begitu saja ke lantai.
Yuki menatapnya tanpa berkedip. Dia memang tidak mengingat Pangeran Riana, tapi alam bawah sadarnya masih mengenal pria ini lebih dari siapa pun. Dia tahu dengan baik bahwa saat ini Pangeran Riana sedang terbakar cemburu—amarahnya begitu pekat, seperti badai yang siap menghancurkan apa pun yang menghalangi jalannya. Dan jika api itu tidak dipadamkan, Yuki tahu ke mana Pangeran Riana akan pergi. Dia akan kembali ke hutan. Akan memburu pria yang menjadi sumber kemarahannya. Akan memburu Lekky.
Dan Yuki tidak bisa membiarkan itu terjadi.
Jadi ketika Pangeran Riana kembali mendekat, tangannya menangkup wajahnya dengan kasar, bibirnya menekan bibir Yuki dengan penuh klaim, Yuki tidak menolak. Dia tidak memberontak. Sebaliknya, tangannya terangkat, melingkar di leher Pangeran Riana, menariknya lebih dalam ke dalam pelukannya.
Dia tahu, ini bukan hanya tentang hasrat atau kepemilikan. Ini tentang mencegah Pangeran Riana pergi. Mencegahnya memburu Lekky dalam gelapnya hutan dengan niat membunuh.
Yuki menahan Pangeran Riana sekuat yang dia bisa, seolah dengan caranya ini, dia bisa menenangkan badai yang berkecamuk di dalam dada pria itu.
Seolah dengan cara ini, dia bisa menahannya.
Seolah dengan caranya ini, dia bisa meredakan api yang membakar Pangeran Riana dari dalam.
Seolah dengan berada di sisinya, dia bisa menghentikan pria itu untuk pergi—untuk membunuh Lekky.
Yuki membalas setiap sentuhan Pangeran Riana, seolah mencoba menenangkan badai yang berkecamuk di dalam dirinya. Nafas pria itu masih berat, amarahnya belum sepenuhnya reda.
Tangannya bergerak naik, menelusuri punggung pria itu, mencengkeramnya erat agar tetap berada di sisinya. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun, namun dalam diamnya, Yuki berbicara dengan caranya sendiri—meminta Pangeran Riana untuk tetap bersamanya, untuk tidak membiarkan amarahnya menuntunnya ke jurang yang lebih dalam.
Pangeran Riana masih terbakar cemburu. Genggamannya pada Yuki menguat, seakan ingin memastikan bahwa wanita ini adalah miliknya, bahwa tidak ada orang lain yang bisa mendekatinya, apalagi mengambilnya darinya.
Yuki hanya menutup matanya, menerima segalanya—kemarahan Pangeran Riana, obsesinya, juga kasih sayangnya yang begitu rumit dan mencekik.
Yuki membalas setiap ciuman Pangeran Riana. Membuka mulutnya lebar saat lidah Pria itu memasuki mulutnya. Satu tangan Pangeran Riana sudah berada di dadanya. Meremas Yuki dengan kuat. Yuki hanya bisa pasrah, Membiarkan Pria itu menguasai, mengklaim tubuhnya seperti yang diinginkan.
Pakaian mereka kusut karena gerakan terburu-buru Pangeran Riana yang mencoba menegaskan kepemilikannya. Namun Yuki tidak memikirkan apa pun lagi.
Ketika ciuman mereka semakin dalam dan menuntut, Yuki hanya membiarkan dirinya larut di dalamnya, membiarkan pikirannya terombang-ambing tanpa jawaban yang pasti.
“Mmm….hmmp”
Yuki menggeliat dibawah tubuh Pangeran Riana. Saat Dia berhasil melepaskan ciumannya. Nafasnya sudah tersenggal-senggal.
Pangeran Riana naik ke atas tubuh Yuki. Kedua kakinya berada di atas dada Yuki. Tanpa malu dia menurunkan pengait celananya dan mengeluarkan daging panas yang telah mengeras. Bagian sensitifnya telah siap.
“Aku ingin menandaimu dulu dengan bauku. Sekarang hisaplah Yuki” pinta Pangeran Riana sambil mencengkram tengkuk Yuki dan menyodorkan pada Yuki. Yuki menurut dengan patuh. Membuka mulutnya dan memasukkan ujung dari batangnya. Nafas Yuki tercekat karena besarnya membuat Yuki tidak bisa memasukkan udara dengan benar. Dia mengikuti tarikan Pangeran Riana untuk menggerakan kepalanya, memberi kehangatan dengan mulutnya dan rangsangan dengan ujung lidahnya.
Pangeran Riana melenguh senang.
Yuki memaju mundurkan tanganngannya. Menggesek batang itu dengan bantuan air liurnya.
“Ya…disana” bisik Pangeran Riana ditengah desahannya.
Cukup lama Yuki melakukannya sampai mulutnya terasa pegal. Ketika Dia merasakan benda itu semakin membesar dan panas.
Saat Pangeran Riana menggerakan kepala Yuki dengan cepat. Yuki tersedak saat cairan panas ditumpahkan ke mulutnya.
“Telan semua” kata Pangeran Riana menolak melepaskan mulut Yuki. Setelah merasa cairannya sudah keluar. Pangeran Riana melepaskan daging itu dari mulut Yuki.
“Perlihatkan”
Yuki membuka mulutnya dan menunjukan cairan yang ada di lidahnya. Kemudian Dia menelannya.
Pangeran Riana tersenyum. Dia menyambar air di dekatnya dan memberikan Yuki minum. Yuki menerimanya dengan senang. Setelah Yuki selesai minum. Dia langsung merebahkan Yuki kembali ke atas tempat tidur. Mengangkat kedua kaki Yuki dan menyunsupkan wajahnya di pangkal paha Yuki.
“Hmmpp…Pangeran” desah Yuki. Dia menggelengkan kepalanya ke kanan dan kiri. Merasakan sensasi lidah pangeran riana yang menelusuri bagian pribadi Yuki. Satu tangan Pangeran Riana meremas dada Yuki bergantian. Sementara satu tangan yang lain digunakan untuk membantu lidahnya mengkorek Yuki.
Tubuh Yuki melengkung hebat. Merasakan sensasi di tubuhnya. Ketika cairannya membanjiri tubuhnya. Pangeran Riana justru sudah sangat siap untuk meminumnya tanpa tersisa.
Kenikmatan itu masih terasa.
Nafas Yuki tersenggal cukup hebat. Dia membiarkan ketika Pangeran Riana mulai memposisikan tubuh Mereka. Dengan kasar Pangeran Riana merobek seluruh baju yang masih menempel di yubuh Yuki. “Menganggu” katanya tak sabar.
Yuki merasakan tatapan Riana yang intens, tajam, dan menguasai. Ada sesuatu yang liar dalam sorot matanya—sesuatu yang membuat Yuki merinding sekaligus terjerat.
Tatapan itu begitu dalam, seakan menelanjangi setiap inci keberadaannya, seakan menegaskan bahwa di mata Riana, hanya ada dia.
Cara pria itu menatapnya membuat Yuki merasa seolah dialah satu-satunya wanita di dunia. Bukan sekadar cantik, bukan sekadar berharga—tapi sesuatu yang lebih dari itu.
Sesuatu yang Riana inginkan. Sesuatu yang Riana klaim sebagai miliknya.
“Ugh…” Yuki langsung memeluk Pangeran Riana saat Pria itu mulai memasukkinya. Kedua kakinya terampit di pinggul pria itu. “Pelan-pelan” pinta Yuki lagi memohon.
Pangeran Riana menggerakan pantatnya maju mundur. Yuki mulai mendesah.
“Ah…Ya”
“Kau suka ?” Tanya Pangeran Riana di telinga Yuki.
“Lebih dalam…ughh..Ya disana”
“Disini..”
Yuki memalingkan wajahnya. Bibirnya berada di pipi Pangeran Riana. Pangeran Riana terus memasukan seluruh tubuhnya. Kepala Yuki seperti melayang.
“Ahh…ahh..Jangan berhenti”
“Permintaanmu semakin tidak tahu malu Yuki. Kau meminta pelan-pelan, meminta kebih dalam sekarang Kau meminta jangan berhenti”
Derit ranjang terdengar berirama dengan hentakan tubuh yang saling menyatu.
Pangeran Riana menggerakan tubuhnya dengan sangat cepat. Membuat seluruh tubuh Yuki bergetar hebat. Dia mengalami pelepasannya yang kedua. Kedua kakinya ditarik semakin ke atas. Menggantung di kedua bahu Pangeran Riana. Pangeran Riana kembali menekan Yuki berulang kali lebih dalam dan lebih cepat.
Hingga…
“Aaahhh” keduanya berteriak bersamaan saat pelepasan kedua Pangeran Riana terjadi.