Putri Kirana
Terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan menjadi tulang punggung keluarga, membuatnya menjadi sosok gadis yang mandiri dan dewasa. Tak ada waktu untuk cinta. Ia harus fokus membantu ibu. Ada tiga adiknya yang masih sekolah dan butuh perhatiannya.
"Put, aku gak bisa menunggumu tanpa kepastian." Satu persatu pria yang menyukainya menyerah karena Puput tidak jua membuka hati. Hingga hadirnya sosok pria yang perlahan merubah hari dan suasana hati. Kesal, benci, sebal, dan entah rasa apa lagi yang hinggap.
Rama Adyatama
Ia gamang untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan mengingat sikap tunangannya yang manja dan childish. Sangat jauh dari kriteria calon istri yang didambakannya. Menjadi mantap untuk mengakhiri hubungan usai bertemu gadis cuek yang membuat hati dan pikirannya terpaut. Dan ia akan berjuang untuk menyentuh hati gadis itu.
Kala Cinta Menggoda
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Menyingkap Masa Lalu
Jakarta
Dari rencana awal berada di Ciamis selama empat hari, melar menjadi enam hari. Itupun terasa masih kurang. Terlanjur betah tinggal di kota kelahiran sang Ibu mengingat ada mojang Ciamis yang nyantol di hati. Dengan berat meninggalkan kota dengan ciri khas galendo itu. Kembali ke ibukota karena tugas pekerjaan serta urusan pribadi yang ingin segera diselesaikan.
Rama membuka baju yang basah karena keringat. Baru tiba di rumah. Dan meminta sopirnya Papi Krisna mengantarkan Damar pulang ke apartemen, membawa mobilnya.
Rumah sunyi. Karena sesuai informasi Bi Lilis, Mami dan Papi sedang pergi berdua jalan-jalan akhir pekan. Rama merebahkan diri di kasurnya yang empuk, telentang sambil bertelanjang dada. Kamar yang ditinggalkan hampir seminggu itu tetap bersih, terawat dan rapih.
Sambil beristirahat, dibukanya benda pipih yang tergeletak di samping badannya. Senyumnya mengembang menatap galeri foto. Berhasil mengambil beberapa foto candid saat Puput tengah menyetir. Mulai wajah serius sampai wajah memberengut karena disuruh menyetir sampai memasuki wilayah Tasik.
"Ih atuh kapan nyampe rumahnya?!"
Rama terkekeh mengingat protes Puput dengan bibir mengerucut. Sama sekali gadis itu tidak sungkan protes meski yang memerintah adalah sang boss. Tapi malah membuat Rama terhibur dan bahagia dengan sikap apa adanya itu.
"Bentar. Kamu belum halus saat over gigi. Terasa jedudannya. Harus pakai perasaan ya!"
Rama masih menatap lekat foto Puput yang pipinya merona merah alami. Alasan yang dibuatnya dipercaya begitu saja oleh gadis berkulit putih itu. Padahal modus agar bisa berlama-lama berduaan. Karena esok (hari ini) realita akan berbeda dengan hari kemarin.
"Put....Put. Polos banget sih kamu." Telunjuk Rama mengusap-ngusap layar dengan foto yang di zoom. Membayangkan seolah membelai langsung pipi yang pastinya halus lembut itu.
Keasyikannya terusik dengan tampilan layar yang berubah menjadi panggilan masuk. Zara calling.
Rama mendecak. Suasana hatinya seketika berubah 180 derajat. Ia pun bangun dari tidurannya. Kalau tidak dijawab pasti ponselnya akan terus berulang berdering.
"Sayang....udah sampe Jakarta belum?!" Suara riang Zara menyerobot lebih dulu.
"Ini baru sampe. Aku mau mandi dulu ya!" Rama beralasan agar segera bisa menyudahi sambungan telepon. Malas sekali mendengar suara manja mendayu dibuat-buat itu. Bukan tipe wanita yang disukainya.
"Aku kangen banget....aku ke rumahmu ya sekarang!"
"Eh, jangan-jangan! Aku mau tidur dulu, Zara. Mau istrirahat, cape."
"Oohh ya sudahlah...padahal aku kangen. Met rehat, sayang. Mmuacchh."
Rama sama sekali enggan menyahut lagi. Menyimpan begitu saja ponselnya di atas kasur. Memilih ke kamar mandi untuk mengguyur kepala dan tubuhnya dengan air dingin.
Tidur hanya alasan yang dibuatnya saja. Ia sama sekali tidak berniat tidur sore. Hari sabtu kemarin waktunya dihabiskan bersama Puput hanya di mobil. Jam tiga sore baru tiba di rumah Puput. Berlanjut quality time bersama Enin sampai malam sambil berbincang santai. Sengaja dilakukan sambil memijat-mijat kaki nenek kesayangannya itu sebelum pulang ke Jakarta. Untuk itu, beberapa pekerjaan terbengkalai dan digantikan sore ini ditemani segelas es lemon selasih buatan Bibi.
"Kok gak bilang kalau sudah sampe rumah. Kan Mami gak akan leha-leha main di luar." Mami Ratna terkaget mendapati Rama tengah makan malam sendirian. Ia baru pulang ke rumah selepas isya bersama Papi Krisna.
"Gak papa, Mam. Aku bukan anak kecil yang bakal nangis karena di rumah sendirian." Rama meneguk air putih penutup acara makannya. "Mami dari mana? Sudah makan?! sambungnya sambil bertanya pula kemana papinya yang tidak kelihatan.
"Mami sudah makan di resto seafood. Papi ngajak jalan-jalan ke Pulau Seribu dari pagi. Cape tapi seru." Rama memperhatikan wajah sang Ibu yang cerah ceria. Cermin suasana hati yang bahagia. Ia bangga sekaligus suka iri dengan keharmonisan yang ditampilkan orangtuanya itu. Sama sekali belum pernah sekalipun melihat pertengkaran terjadi. Dan ia berharap kelak kehidupan rumah tangganya pun mesra dan harmonis seperti mereka.
"Papi lagi di teras. Barusan nerima telepon dulu." Sambungan ucapan Mami Ratna membuyarkan lamunan Rama yang masih menatap wajah sang ibu. Yang ditatap tengah menunduk mengupas satu buah jeruk.
Rama sengaja menghampiri Papi Krisna di luar. Mumpung Mami beranjak pergi ke kamar. Ia sudah tidak sabar ingin membahas soal Zara. Karena yang paling memaksakan pertunangan adalah Papi, bukan Mami. Namun ternyata malah berpapasan dengan Papi Krisna di ambang pintu utama. Raut wajahnya meski nampak ssmringah namun ada gurat lelah. Membuat Rama bimbang untuk mengutarakan niatnya. Yang ada kini berdiri saling berhadapan serta saling memandang dalam kebisuan.
"Kamu ingin bicara sama Papi, Nak?!"
Rama mengangguk. Tak berselang lama beralih menggelengkan kepala. Rasanya malam ini situasi belum pas.
Membuat Papi Krisna tersenyum simpul sambil menepuk bahu kanan anak lelakinya itu.
"Papi juga sama pengen bicara penting sama kamu. Tapi sekarang Papi lelah. Besok siang jam istirahat kita ngobrol di luar kantor. Hanya kita berdua. Mami jangan dikasih tahu. Oke?!" Papi Krisna meminta persetujuan.
"Oke, Pi." Rama memberi jalan kepada sang ayah untuk lewat. Sementara ia sendiri tetap keluar. Duduk di kursi teras dan mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya.
"Mohon maaf Bapak-Bapak, saya suka batuk kalau menghirup asap rokok. Bagaimana kalau pindah tempat duduk di dalam?!"
Sebatang rokok yang sudah terselip di jari, tergantung di udara, belum sampai di bibir. Korek api yang sudah dipantik, dimatikannya lagi. Terngiang ucapan Puput saat mau memulai meeting kemarin. Membuatnya hanya memutar-mutar rokok yang dipegangnya.
Apa berarti Puput tidak suka cowok perokok?
...***...
Ciamis
Libur sehari pas hari minggu saja, serasa cepat berlalu. Sudah hari senin lagi. Itu artinya mulai masuk kerja lagi.
Huft.
Puput menghirup udara segar dan menghembuskan nafas panjang perlahan. Jam enam pagi sebelum mandi, menyempatkan diri melakukan peregangan otot-otot sekaligus pemanasan agar badan terasa segar dan semangat memulai aktivitas.
Kemarin minggu pertama ia tak lagi melatih anak-anak silat di Padepokan. Bahkan Aris sang pemilik Padepokan sangat menyayangkan akan keputusannya hengkang dari jajaran pelatih. Namun keputusannya sudah bulat, niatnya sudah kuat. Puput ingin fokus memajukan usaha kuliner ibunya. Kemarin saja ia harus mengantarkan pesanan nasi box ke rumah Pak Hendra yang berada di perbatasan Ciamis-Tasik. Dilanjut dengan berbelanja ke pasar induk sesuai daftar di secarik kertas tulisan ibunya.
Sampai di tempat kerja, seperti biasanya setiap senin diawali briefing oleh Pak Hendra sekitar 10 menit lamanya.
"Via, nanti ishoma aku mau curhat." Puput melongok ke kubikel Via setelah semua karyawan duduk manis di kursinya masing-masing.
"Soal apa? Sekarang aja curhatnya. Kamu bikin aku penasaran ah." Via mendongak. Menilik wajah Puput yang ceria bisa dipastikan tema curhat bukan soal kegalauan.
"Ck, sekaramg waktunya kerja. Jangan sampe kita makan gaji buta!" Puput mengingatkan.
"Clue nya aja dulu, Siput......plis!" Rengek Via memaksa.
"Hmm, oke. Ini soal dream become true." sahut Puput diiringi senyum lebar. Bersamaan dengan telepon di mejanya berdering.
"Put, ke ruangan saya sekarang ya!" Tegas suara Pak Hendra di sebrang sana.
"Siap, Pak." Puput segera beranjak menuju ruangan manajer dengan langkah semangat. Lain halny Via yang mendecak karena malah makin penasaran. Bukan clue yang diberikan Puput tapi teka-teki.
Di dalam ruangan, Pak Hendra menyambut Puput dengan wajah semringah.
"Tadi saya mampir dulu ke rumahnya Bu Hera, neneknya Pak Rama. Ngambil berkas yang dititipkan Pak Rama sebelum pulang ke Jakarta kemarin."
"Oh Pak Rama sudah kembali ke Jakarta?!" Puput ingin memastikan. Mendadak teringat kebersamaan sabtu kemarin, saat meeting dan menyetir mobil milik bossnya itu.
Pak Hendra mengangguk. "Iya. Malahan semalam beliau menelpon saya untuk ngambil berkas. Katanya juga, kerjasama dengan Pak David bisa deal karena bantuan kamu. Pak Rama memuji kamu, Put." ujarnya sambil mengangkat berkas berisi draft kerjasama yang harus disalinnya itu.
Puput menggeleng. "Ah salah itu, Pak. Justru Pak Rama yang pandai melobi. Saya aja sampai kagum. Kalau saya cuma berbicara diakhir untuk lebih meyakinkan klien." ia mengelak disebut berperan penting.
"Waduh, jadinya malah saling muji. COCOK!" Pak Hendra tersenyum simpul penuh arti. Namun ditanggapi Puput dengan senyum biasa saja.
"Put, menurut kamu Pak Rama itu gimana?!" Pak Hendra memecah kebisuan setelah ia meminta Puput untuk print ulang lembar laporan keuangan yang tidak sengaja terkena noda kopi.
"Hmm, gimana ya. Yang pasti Pak Rama itu boss yang baik, sikapnya menyenangkan. Eh....satu lagi. TAMPAN." Puput tanpa canggung terkikik di depan sang manajer. Ia berdiri, bersiap akan keluar ruangan sambil mendekap di dada berkas yang harus direvisi.
"Dan satu lagi, masih single lho, Put." Pak Hendra menambahkan.
"Wuahh, pasti jadi idola ciwi-ciwi dong." Dan Puput pun permisi keluar.
Hendra hanya geleng-geleng kepala. "Haduh ini anak benar-benar gak peka dipancing." Keluhnya yang tadinya berharap Puput akan meminta bantuannya untuk dicomblangin. Tapi gadis itu biasa saja.
...***...
Jakarta
Papi Krisna menepati janji. Jam istirahat siang, ia dan Rama menuju sebuah restoran untuk makan siang sekaligus berbincang hal serius. Ada mushola yang nyaman untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim.
"Siapa dulu yang mau bicara?!" Papi Krisna meminta pendapat Rama. Selesai makan menu utama, berganti dua gelas kopi hitam yang dipesan.
"Aku dulu, Pi."
Papi Krisna mengangguk setuju.
"Papi kenapa begitu ngotot ingin menjodohkan aku sama Zara? Padahal papanya Zara bukan investor di perusahaan, hanya teman biasa kan? Ataukah Papi punya hutang budi sama Om Rio?!"
"Dan aku pulang ke Jakarta untuk mutusin pertunangan ini. Aku gak bahagia, Pi. Aku punya hak hidup bahagia dengan pilihan sendiri bukan dijodohkan!"
"Maafkan aku, Pi. Kalau untuk satu hal ini aku memilih menjadi anak pembangkang!" Pungkas Rama dengan tegas dan lugas. Plong sudah dadanya setelah segala unek-unek selama ini dikeluarkan.
Papi Krisna tersenyum samar. "Sebelum Papi jawab, kamu harus simak dulu cerita Papi!"
Krisna menghela nafas berat dan sejenak menundukkan kepala menekuri meja.
"Rama, kamu masih ingat hobi Papi dulu apa?!"
"Papi hobi naik gunung dan camping." Rama menjawab yakin.
Papi Krisna mengangguk membenarkan.
"Dengarkan dan jangan memotong!" Lugas Papi Krisna.
"Dulu sekitar 7,5 tahun yang lalu, Papi dan komunitas melakukan pendakian di Gunung Gede Sukabumi. Jumlahnya 6 orang, salah satu diantaranya adalah Rio, Papanya Zara."
Rama menyimak awal cerita papinya itu.
"Puas mendaki sampai puncak, tiba-tiba Rio mengusulkan mendirikan tenda di lokasi camping ground karena cuaca mendung sepertinya akan turun hujan petir yang berbahaya mendirikan tenda di atas."
"Singkat cerita, Papi dan Rio menjadi partner satu tenda. Dan empat teman lainnya malah berubah pikiran. Tidak jadi ikut camping. Memutuskan menginap di rumah kerabat yang berada di kampung lain."
"Malam harinya Papi ikut acara api ungun bergabung dengan peserta camping ground lainnya. Hanya Papi dan Rio yang tua, lainnya masih muda-muda."
Krisna menghembuskan nafas berat lagi.
"Papi minum wedang jahe buat menghangatkan badan. Sampai tiba-tiba Papi merasa ngantuk berat. Ngantuk yang tidak bisa ditahan. Papi tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Sadar-sadar Papi terbangun karena silau sinar matahari. Ternyata Papi sudah ada di dalam tenda. Dan kagetnya, ada wanita yang tidur sambil memeluk dada Papi yang polos tanpa baju. Namanya Kartika---"