NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

Pelampung turun. Dua penumpang termasuk Gita berada pada tepian kolam dalam.

Perempuan itu tampak tergeletak menghadap teriknya matahari. Meredupkan pandangan, Gita membuka mulutnya. Tidak percaya bahwa aliran air mengejutkan tubuhnya, membawa hingga berada di bawah.

"Dek. Heh bangun, Dek." Tepukan Kak Nita selalu menyenggol badan Gita yang tertidur tergeletak.

Gita diam. Hanya menatap kosong arah matahari membuatnya tidak tau harus merasakan apa lagi selain setelah mengetahui titik mengejutkan dari wahana perosotan besar itu.

Karena Kak Nita semakin panik Adiknya tidak bersuara, maka diputuskan untuk menciprat wajah menggunakan air kolam.

"Kak?! Apa-apaan sih?" Gita terbangun mengusap basahnya wajah.

Kak Nita tertawa pelan, "sudah sadar? Gimana? Segar airnya?"

Karena rasa kesal inilah menuntun Gita untuk menatap datar tingkah Kakaknya. Berdiri sendiri untuk merapikan baju, dia tidak ingin diganggu.

Bapak petugas yang kebetulan melewati kami dengan membawa pelampung-pelampung besar turut tertawa, menggeleng kepala, dan berakhir tersenyum.

"Tuh, dilihatin mas-mas petugas." Kak Nita berbisik sembari menunjuk mas-mas tadi.

Tidak ada suara, menyimak penyampaian pesan Kak Nita adalah kegiatan Gita selain malas berbicara dengannya.

Kembali kepada setelah sepasang Kakak Beradik selesai melewati perosotan besar mengambang, kini giliran mereka untuk mengambil lagi barang bawaan yang ditinggalkan di dalam loker persediaan.

Melewati banyaknya permainan selama mereka berjalan, Kak Gita berhenti kembali. Rasa penasaran diuji ketika salah satu permainan yang mengapung di atas air dilakukan oleh kedua pengguna. Membutuhkan kaki-kaki kuat, layaknya sepeda. Tetapi ini digunakan untuk permainan air.

"Kalau Kakak mau coba, silahkan. Gita tidak mau. Menonton saja, cukup."

"Ya ampun, lemahnya kamu, Dek." Kak Nita menggeleng. "Sekali saja ya? Kamu ada di sini kok tidak mau mencoba. Nanti menyesal."

Jelas saja Gita akan menolak. Sejak awal permainan perosotan air untuk mengombang-ambing tubuhnya secara mengejutkan, Gita merasakan sebuah trauma baru yang berhubungan dengan air. Wahana apa saja di sekitarnya.

"Kau saja Kak yang main. Tanya saja ke petugas untuk bermain sendiri apakah boleh atau tidak. Kalau tidak boleh, ajak pengunjung lain. Gita tunggu di sini."

Lalu tas bawaan Kak Nita diambil paksa olehnya. Diam menonton pengunjung, antusias dengan permainan yang mengapung.

"Temani Kakak, Dek. Malu dilihatin orang," bisik Kak Nita, mendekati bibirnya sampai suara rayuan itu melekat terdengar di kuping Gita.

Dengan napas yang dikeluarkan panjang, Gita hanya memangut menyetujui.

Batal baginya untuk meluangkan waktu sendiri agar beristirahat. Batal menyaksikan tingkah Kakaknya yang sebentar lagi akan melakukan permainan itu. Batal sudah.

Tas yang dibawa tadi telah dikembalikan.

Beberapa langkah menuju gerbang kecil permainan dengan cat kuning terkelupas sebentar lagi akan menuju dekat kepada Gita dan Nita.

Selalu menggigit bibir, Gita lakukan selama berdiri maju dan maju. Rasa khawatir membelenggu perasaan siang hari ini. Pembicaraan bersama Kakak harus berhenti. Tidak mau berbicara selain memikirkan mata per mata orang-orang yang melihatnya, seakan mengawasi setiap pergerakan dia.

Waktu bersilih bergerak cepat. Sadar karena jalan Gita semakin mendekati petugas yang berjongkok membuka, menutup, mempersilahkan pengunjung baru untuk menggunakan, semakin berdetak cepat jantungnya.

Menutup mata semakin menjadi cepat. Begitulah ketika Gita membuka sepasang mata, ternyata dia berada langsung di dekat petugas. Setelah mengecek bahwa benda mengapung telah kosong, giliran kami berdua yang akan menggunakan.

Terdapat dua benda terapung itu. Besar. Empat roda besar melebihi tubuh Gita. Modelnya seperti sepeda dengan dua kursi di dalam.

Satu petugas memegang sepeda besar, sementara kami masuk menyeimbangkan tubuh. Hanya saja Kak Nita berulang kali kesusahan menaikkan tubuhnya di sampingku. Terombang-ambing tubuhnya karena air kolam yang disengaja membuat gelombang besar. Ulah tangan-tangan lain.

"Kak? Pegang tanganku. Lompat sekarang." Uluran tangan menghadap Kak Nita ditunjukkan.

Akhir kegiatan itu Nita melompat kecil. Gita menangkap tubuhnya, duduk bersebelahan.

Menumpang sepeda besar, mengayuh pegal terasa sakit. Lebih menguras tenaga sebelum jam makan siang terjadi.

"Dek, gerakkan kakimu lebih kencang. Mereka menunggu kita."

Suruhan itu membuatnya menjadi kesal karena Gita turut melihat kegiatan Kakaknya hanya mengayuh lambat. Karena itulah anak ini menghentikan kayuhan kaki.

Keempat roda melambat. Tidak cepat. Semakin melemas berhenti.

Sepeda yang membawa dua pengguna hanya diam tergoncang gelombang air. Tepat berada tengah-tengah karena memang hanya satu benda ini yang tersedia.

"Dek, ayo, Dek." Tepukan tangan selalu dihentakkan menuju pundak Gita.

Kemudian Gita membuang tepukan tangan Kak Nita, dia mencoba ulang membantu Kakaknya dalam misi darurat.

Karena kecemasan orang-orang menonton kami, gelisah tidak nyaman membuatnya mengayuh lebih cepat menuju pinggir kolam di dekat petugas.

Satu petugas bertopi hitam menangkap benda besar kami. Dilanjutkan melompat turun, Gita merapikan baju. Seperti tidak pernah menggunakan wahana sepeda besar.

Permainan menggoncangkan pikiran dan hati mengakibatkan wajah Gita menjadi memerah. Ditemani matahari yang memanas menimbulkan rasa panas menyeluruh.

"Ya ampun wajahmu merah, Git." Kak Nita baru menyadari perihal warna merah pada tampang wajah Adiknya.

"Gita minta air, Kak." Gita melompat kecil. "Cepat, Kak." Mendesak untuk segera diberikan.

Gemetar tangan terjadi selama Kak Nita berusaha membuka tas di punggungnya. Menggeledah paksa barang temuan di dalam, diberikan cepat satu botol air dingin yang dibawa.

"Rapikan rambutmu, Dek," suruh Kak Nita melihat anak-anak rambut menyangkut, menempel dekat bibir Gita.

Mendengar suruhan, mengangguk menyetujui. Begitulah setelah dirinya merapikan rambut itu, air segera dituang. Basah seluruh wajah merahnya. Rasa sejuk dingin seketika menjadi ketenangan untuk meredakan panas. Meredakan emosi.

Kami menonjol. Menonjol bukan karena dua perempuan seperti pengunjung-pengunjung lain. Tetapi sebagai saudari yang bekerja sama di antara banyaknya orang di dalam bangunan yang sama. Saling memberikan sesuatu yang dibutuhkan.

Wahana permainan tampak tetap dimainkan. Aktif dilakukan selama mereka berdua diam mengumpulkan tenaga sebelum aktifitas liburan mereka hampir berakhir.

"Sudah enakan, Dek?" tanya Kak Nita mengawasi Adiknya yang berjongkok di dekat tanah berumput.

Mengangguk memberi isyarat, Gita lakukan.

"Sebaiknya kita berganti baju dulu. Basah kuyup seperti ini."

"Nanti saja, Kak. Kalau nanti Kakak meminta wahana air lagi, bisa sekalian basah."

"Sudah cukup main airnya. Sekarang ganti baju. Main yang di darat-darat saja. Lagipula nanti kalau masuk angin bagaimana? Besok kamu harus sekolah. Bisa repot."

"Iya." Gita berdiri setelah menjawab dengan nada berat ditunaikan. Menyimak penyampaian Kak Nita menjadi lega. Lega karena tidak lagi bermain wahana air.

Mereka lelah. Namun harus tetap bergerak melanjutkan perjalanan liburan ini. Menonton hiburan pengunjung bermain air, bermain wahana terbang selama mereka melewati permainan-pernainan baru mengakibatkan rasa lapar akhirnya muncul.

Gita menatap. Nyaman karena hanya menjalani rute yang telah diarahkan Kakaknya. Tidak perlu lelah berpikir sakit untuk memetakan jalur pada peta permainan.

Teriakan dan teriakan selalu bergema di dekat kami sepanjang jalan dilalui. Tertawa menyimak orang-orang bermain air, berseluncur tidak jauh dari kolam-kolam itu.

Karena Gita selalu memandang samping, dia harus tersentak berhenti karena Kak Nita tiba-tiba menghentikan langkah.

"Dek, kita makan dulu. Kamu lapar, kan?"

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!