Karena dipaksa untuk segera memiliki anak, Jovan sang CEO dari perusahaan ternama diam-diam menikah lagi. Dengan kejamnya, dia mengusir Seina selaku istri pertamanya yang dikira mandul. Namun nasib buruk pun menimpa Jovan yang mana istri keduanya mengalami kecelakaan hingga membuatnya keguguran bahkan rahimnya terpaksa harus diangkat demi menyelamatkan nyawa Ghina.
Lima tahun kemudian, Seina yang dikira mandul kembali dengan tiga anak kembar yang memiliki ketampanan mirip Jovan.
“Bunda, Oom itu milip Kakak Jelemy, apa Oom itu Ayah kita?” tanya Jelita, si bungsu.
“Bukan!” elak Seina.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dacal Batok Esh!
“PAPAPAAAA!!”
Gara berdiri melihat si kembar berlari ke arahnya.
“Papaaa Galaaa!” Jelita dan Jhansen memeluknya.
“Heh... kenapa kalian berdua bisa ada di sini?” Mata Gara membola.
“Jencen diajak pigi cini cama Jelita, Papa.” Jhansen menunjuk Jelita, rencana ini adalah otaknya.
“Jeliitaaa kamu tuh kenapa seberani ini, sayang....?” tanya Gara, tersenyum kesal.
Jelita duduk manis di sofa, “Jelita mau cama Bunda, Papa. Cini Papa, kita tuguin Bunda, hehe..”
Gara menarik napas, tak nyaman diperhatikan lima penjaga.
“Papa, itu botol bicakah diminum Jencen?” Jhansen menunjuk wiski.
“Ini cucukah, Papa?” Tunjuk Jelita haus.
Gara duduk, menarik mereka. “Bukan, kalian minum yang ini saja.” Gara memberinya air botol kecil. Mendadak Gara mendapat pesan dari Seina: “Gara, kakak ada di mobil, maaf ya kakak tidak bisa masuk lagi, kepala kakak pusing nih. Kakak tungguin kamu di sini saja.”
“Ya sudah, kakak istirahat di situ dulu,” balas Gara.
“Papa, mana Bundaaa?” tanya Jhansen.
Gara menjelaskan Ibu mereka di mobil. Mendengar itu, Jelita memohon dibawa ke sana.
“Hai, kamu, kemarilah!” panggil Gara ke penjaga untuk mengantar mereka ke Seina, tapi mendadak dua orang datang, membuat Gara kesal dan benci.
“Kakak itu kan Oom tadi yaa?” Jelita berbisik ke Jhansen yang mengangguk.
Tangan Gara terkepal, mengontrol perasaannya. Sudah lama tak melihat Asisten Lu dan Jovan, tapi sekarang mereka berhadapan.
Lima menit berlalu dalam diam, canggung. Hingga si kembar berkata:
“Oom... napa ada di cini uga? Om temenna Papa Gala yaa?” tanya Jelita.
“Hm, kalian kenal dia?” Gara terkejut.
“Iyaa Papa, balucan Oom ini bantulin kita caliin Papa. Oom nda pigi jaga wece agi?” Jhansen bertanya ke Jovan. Asisten Lu tertawa karena mereka menganggap Jovan penjaga toilet.
“Tuan Gara, sudah lama kita tidak bertemu dan kita sekarang malah bertemu di tempat ini. Bagaimana kabarmu dan....” Ucapan Asisten Lu terpotong.
“Tidak usah basa-basi, katakan saja apa alasan kalian ingin bertemu dengan saya?” tanya Gara sinis.
“Kamu tidak usah menatap kami seperti itu. Kami kemari memiliki niat baik padamu untuk mengajak bekerjasama,” kata Jovan ke Gara, tatapannya terus ke Jelita dan Jhansen.
“Ck, sudah saya duga. Dengan kesuksesan usaha yang saya kembangkan telah berhasil mengalahkan bisnis kecantikan kalian. Kalau dipikir-pikir memang keuntungannya luar biasa bekerjasama dengan Anda. Tetapi sayang sekali, saya tidak tertarik bekerjasama dengan makhluk halus yang pernah melukai saudara saya,” cecar Gara berdecak.
“Maluk halus na capa, Papa?” tanya Jelita.
“Sudahlah, kita pulang sekarang saja.” Gara berdiri, menggandeng Jelita dan Jhansen, tapi jalannya dihadang tiga penjaga.
“Minggir!” Titah Gara, tapi penjaga diam.
“Oom culuh dong meleka janan bedilli di citu. Papa Gala nda bica lewat,” perintah si bungsu pada Jovan.
Karena kedua anak itu dekat Jovan, Gara terpaksa menggendong mereka dan memilih pintu lain, tapi jalan keluar dihadang lagi oleh dua penjaga.
“Arghh... apa mau kalian? Apa jawaban saya belum jelas juga?!” Gara tak sabar, ingin menghajar lima penjaga. Si kembar pun bingung.
Asisten Lu juga bingung mengapa pengawalnya mencegah Gara. Ia melirik Jovan yang ingin mengatakan sesuatu.
“Gara, selain mengajakmu bekerjasama, ada sesuatu yang mau saya tanyakan padamu.” Pria berusia tiga puluh tahun itu perlahan mendekat.
“Apa yang mau kau tahu?” tanya Gara.
Apa dia ingin tanyakan tentang Kak Sei? pikirnya, tapi pertanyaan Jovan tak sesuai dugaannya.
“Dua anak itu, apakah anakmu atau...”
“Ck, apa telinga Anda bermasalah? Dari tadi mereka memanggil saya -Papa- bukankah itu sudah menjadi bukti bahwa saya, Ayah mereka,” kata Gara ketus.
“Tapina...”
“Sudah, kalian jangan bicara sama mereka. Sekarang kalian ikut Papa pulang.” Gara tak mengizinkan mereka bicara. Tanpa Gara lihat, tangan mungil Jelita sempat melambai ke Jovan, lalu gadis mungil itu memeluk Gara yang pergi.
“Mungkin benar, dua anak itu adalah anak Gara, Tuan Jovan.” Asisten Lu berkata di samping Jovan.
“Tapi, usianya terlalu muda untuk memiliki anak dan lagi wajah anak ini identik dengan wajah saya waktu kecil dulu, Asisten Lu.”
Jovan masih ragu.
“Mungkin saja saat istrinya mengandung mereka, dia mengidolakan Anda.” Asisten Lu tersenyum, mengingat gadis cupu bersama Gara dulu.
“Apa Anda ingin saya menyelidikinya?” Asisten Lu menawarkan diri. Sudah lama tak mendapat perintah menyelidiki orang, ia selalu mengikuti Jovan dalam bisnis. Perusahaan kecantikan yang dulu bersaing ketat dengan Gara kini kurang diminati. Sebagian kalangan atas atau selebriti lebih menyukai produk J-Beauty. Harganya terjangkau, hasil terbukti luar biasa dalam beberapa bulan.
“Tidak usah.” Tolak Jovan.
“Sungguh? Apa Anda tidak ingin tahu soal Nona...”
“Asisten Lu, berhenti memaksa saya!” Sentak Jovan lalu pergi kesal.
Asisten Lu tersenyum tipis, segera mengikutinya.
Gara membuka pintu mobilnya, melihat Seina sudah tidur saking lama menunggu.
“Papa, ental janan bilanin Bunda yaa,” bisik Jelita.
“Kalau Papa mau gimana dong?” ucap Gara sudah duduk, si kembar di jok tengah.
“Jananlah Papa, nanti Bunda malah.” Jhansen memohon.
“Biarin, biarin kalian dihukum sekalian!” kata Gara pura-pura membentak.
“Ekhee... tapina Jencen ndak calah. Itu cih Jelita aja dimalahin, Papa.” Sedih Jhansen.
“Napa Jelita aja yang calah? Kakak Jen cendili ugah ikutan cini!” protes Jelita, mencubit pipi Jhansen.
Melihat kelucuan mereka, Gara tersenyum, lalu menyuruh mereka duduk sopan sebelum Seina terbangun.
Bipp... Bipp...
“Ihh, Jencen jananlah pecet-pecet tombolna. Nanti Kakak Jelemy bica banun tidul.” Omel Jelita karena tombol klakson ditekan Jhansen. Gara, setelah membaringkan Seina, merasa gemas. Seorang bocah laki-laki lain keluar dari kamar si kembar dengan kekesalan.
“Kakak Jencen, kita macuklah cekalan,” pinta Jelita, menarik tangan Jhansen.
“Nantilah, kakak macih mau main.”
“Udahlah, kita macuk tidul cekalan. Bundaaa ental malah.” Rengek Jelita, dan seketika kedua anak itu terhenyak melihat pintu sebelah mereka terbuka sendiri.
“Papa Gala...?” panggil dua anak itu sedikit takut di luar tak ada siapa pun, apalagi mesin mobil mati.
Pintu perlahan tertarik sendiri hingga Jelita memeluk Jhansen.
“Ekhee... gala-gala kamu cih cetan obil Papa Gala jadi malah nih!” omel Jelita ke Jhansen.
Namun dugaan mereka salah, karena yang berdiri di depan mereka bukan hantu tapi Jeremy yang melihat mereka tanpa ekspresi. Ketakutan dan ketegangan Jhansen dan Jelita bertambah.
“Ciapa hantuna, haaa?!”
“Hehehe... butan capa capa, Kak,” ucap Jelita cengengesan, sedangkan Jhansen gelisah.
“Kalian beldua dali mana aja? Napa ada di mobilna Papa?” tanya Jeremy tajam.
“Jelita, Jhans, Jeremy, kalian bertiga kenapa masih di sini? Sana kalian masuk!” Suruh Gara datang sebelum mereka membuat keributan di tengah malam.
“ACIAP PAPA!” Jelita dan Jhansen bergegas masuk. Jeremy di samping Gara mendongak pada pria tampan itu.
“Papa... napa meleka balenan Papa sama Bunda?” tanya Jeremy. Gara tersenyum sambil mengusap kepala Jeremy.
“Biasa, adik-adikmu sangat nakal,” jawab Gara lalu mengajaknya masuk.
Walau Jhansen dan Jelita selamat dari Seina malam ini, besoknya mereka tetap dihukum Jeremy.
“Cucina yang belsih! Tuh tuh... macih ada piling kotol na! Lantai na juga diucap-ucap sampe belsi tuh.”
“Hikss... Kakak Jelemy jahat. Jelita cantik ginih diculuh cuci piling.”
“Capa culuh jadi anak nakal? Buluan cuciiin sampe belsih. Janan nangis telus kejalannya dacal!”
Jelita cemberut. Lalu Seina, Salwa dan Vara tiba-tiba masuk ke dapur. Tiga wanita cantik itu tercengang melihat si bungsu berdiri di kursi menghadap wastafel dan mencuci piring kotor semalam, lalu Jhansen sibuk mengepel lantai. Si sulung berdiri bak mandor menyuruh kedua adiknya bekerja. Gara masih tidur di kamarnya.
“Ya ampun, pagi-pagi sudah ribut? Apa yang terjadi di sini, sayang?” Ketiga wanita cantik itu bertanya.
“Tuhhh tuhhh malahin meleka Bunda, Onty. Meleka kemalin cudaahh nakal.”
“Ekhee... Kakak Jelemy nda cetia kawaaan! Dacal batok es!” Gerutu Jhansen dan Jelita memekik.
Semoga Seina/ Elsha bisa bersatu lagi dengan Jovan, agar anak-anak bisa bahagia bersama orang tua yang lengkap.
Kasian si kembar baru bertemu bapaknya dah mau metong...