Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Selama perjalanan pulang dengan Habibah yang menyetir mobil, Aisyah sibuk menelpon tukang dekor, catering, Mua dan yang lain-lain.
Aisyah juga tak lupa menghubungi Erik kalau nikahnya jadi hari kamis ini.
“Ma, apa Bang Halim gak usah dikasih tahu dulu tentang masalah ini?”
Aisyah mengernyit. “Eh, kenapa gitu? Yang mau nikah ‘kan dia. Ada-ada aja kamu, Bah! Seneng banget kamu gangguin Abang kamu.”
“Hahaha. Mama udah denger ‘kan, kalau Medina tadi udah putusin Bang Halim. Kita itu kasih kejutan sama Bang Halim gitu loh, Ma.”
“Ah iya juga, Bah. Tapi kalau Abangmu gak mau gimana?”
“Gampang, Ma! Kita seret aja Abang!”
Mulut Aisyah mencebik. “Iihh kamu ini, Bah! Ya udah nanti Mama siapin tali tambangnya untuk nyeret Halim!”
Tawa Habibah makin menjadi. Tiba-tiba alisnya mengernyit. “Ma, masalah cincin kawinnya gimana?”
Aisyah menepuk jidatnya. “Astaghfirullah! Ayo kita ke toko dulu cari cincin! Mama akan pilihkan cincin yang bagus untuk Halim dan Medina. Sekalian beli mas kawinnya.”
“Mudah-mudahan mereka suka ya, Ma.”
“Bilang aja kalau itu hadiah dari Mama. Beres!”
“Hahaha. Oke ‘deh, Ma!” Habibah mengacungkan jempol kirinya pada Mamanya.
Setelah itu, Ibu dan Anak itu segera meluncur menuju toko perhiasan. Ditambah sudah masuk waktu isya sebentar lagi, mereka harus secepatnya menyelesaikan urusan dan kembali ke rumah.
.....***.....
Apa lagi yang bisa dilakukan Halim yang sedang patah hati kecuali termenung.
Tadi niatnya ‘sih dia udah belajar menguatkan hati dan diri. Tapi kenapa hasil akhirnya selalu bikin air mata mengalir? Kenapa dia selalu mengingat Medina yang cantik? Kenapa harus begini ‘sih?
“Sampai kapanpun, Abang tetap mencintaimu, Dek. Haaaaah. Medina perempuan terakhir di hati Abang.”
Tok. Tok.
“Bang Halim!”
Suara Habibah si cerewet mulai terdengar. Membuat telinga Halim frustasi.
“Ya Allah, kenapa si Bibah senang kali gangguin Abangnya yang lagi patah hati ini?” ucapnya sambil memijit pangkal hidung.
“Halim. Ini Mama! Mama masuk, ya?”
Tadi si Habibah, sekarang malah Mamanya yang hendak mengganggu. Seandainya bisa dia bilang gak boleh sama Mamanya. Huuufft.
Dengan malas Halim bangun dari rebahannya dan berjalan untuk membuka pintu.
“Astaghfirullah!” pekik kedua wanita di depan Halim bersamaan.
Sedang Halim pasang wajah acuh. Mereka berdua juga kaget melihat penampilan Halim yang acak-acakan.
Aisyah nyelonong masuk, tangannya sibuk mengecek suhu badan Halim.
“Badanmu gak demam, Bang. Tapi kenapa wajahmu begini? Kenapa matamu sembab? Abis digigit tawon, ya?”
Halim mengedikkan bahu. Kemudian dia kembali rebahan ke ranjangnya. Mengambil guling dan memeluknya erat.
Habibah sudah tidak tahan lagi untuk melepaskan ketawanya. Tapi dia tahan-tahan demi menghargai perasaan Abangnya yang sedang galau.
Aisyah jadi sedih. Sedikit aja sih sedihnya. Dia mendekat dan duduk di tepi ranjang Halim.
“Lim. Kamu kenapa?”
“Ma, lebih bagus Mama gak usah sibuk-sibuk mempersiapkan semuanya.”
Aisyah mengernyit. Pura-pura tidak tahu apa yang terjadi. “Loh, kenapa?”
Halim menghela nafas. “Medina gak mau Halim nikahi. Jadi buang aja semua barang-barang yang udah Mama siapkan. Besok Halim panggil tukang kutip sampah.”
“Iisshh, enak aja! Barang-barang itu akan tetap dipakai sebagai hantaran!”
Halim berdecak sebal. “Ck! Ma, diputusin itu sakit. 2 kali Halim rasakan, Ma! Pokoknya Halim gak akan pernah mau nikah! Halim akan melajang seumur hidup! Titik!”
Aisyah dengan gemas memukul lengan Halim. “Huushh! Ngomong apa kamu barusan! Gak boleh gitu!”
“Pokoknya Halim gak mau tahu! Bilang juga sama Erik kalau Halim gak jadi nikah.”
Aisyah geleng-geleng kepala. “Halim, Mama udah ada calon yang pas untukmu, Lim.”
“Halim gak mau, Ma!”
Aisyah menggenggam tangan putra sulungnya itu. “Lim, Mama langsung suka sama dia dari pandangan pertama. Mungkin itu memang jodoh yang dipilihkan Allah untuk kamu, Nak. Kamu nikahi dia, ya? Demi Mama.”
“Kalau Halim gak suka gimana, Ma? Halim gak mau!”
Habibah yang mendengar jawaban Abangnya dari ambang pintu, sudah ingin menjitak kepala Abangnya itu. Ya elah, manjah amat ‘sih, Bang!
“Yakin sama Mama! Kamu pasti akan suka. Ya, Nak, ya? Demi Mama, nikah sama dia, ya?”
Halim tampak diam. Aisyah langsung senyum-senyum tanpa sepengetahuan Halim.
“Hari kamis ini kamu nikahnya.”
Halim membelalak. “Apa? Secepat itu? Gimana ‘sih, Ma? Halim aja belum tahu orangnya gimana! Apa dia punya mata atau gak! Apa lobang hidung dia 2 apa gak!”
Aisyah terkekeh dan memukul gemas lengan Halim. “Astaghfirullah, Haliiim! Pokoknya dia gadis pilihan Mama. Dia cocok jadi Istri kamu. Hari kamis nanti kamu nikahi dia. Sekarang kamu istirahat, ya? Ajukan cuti ke sekolah, karena kamu mau nikah.”
Aisyah bangkit dari duduknya dan berjalan keluar, di ikuti Habibah yang langsung menutup pintu kamar Halim.
Semenit kemudian Halim menghela nafas frustasi. Enak kali memang Mamanya kalau ngomong. Padahal yang ngejalanin semuanya dia! Haaaaah.
Kepala Halim jadi sakit. Dari pada memikirkan semua omongan Mamanya, lebih baik dia tidur. Tengah malam nanti dia akan melaksanakan sholat istikharah.
......***......
Hari rabu ini, entah kenapa di rumahnya jadi ramai orang. Ada yang membuat ini, ada yang membantu itu. Pokoknya Halim tidak mengerti dan bodo amat.
Dia hanya duduk di sofa sambil uring-uringan. Malam tadi dia menjalankan ibadah sepertiga malam plus sholat istikharah.
Doa yang dia minta juga aneh. Dia berdoa supaya besok hujan petir diiringi angin topan, dan semoga saja calonnya itu pingsan sebelum akad nikah. Jadi dia bisa kabur. Intinya semoga saja pernikahannya tidak terjadi.
“Lim! Sohib-sohibmu udah dihubungi?” Aisyah bertanya pada Halim. Dia juga khawatir melihat anaknya itu Cuma duduk diam bertopang dagu sambil termenung gak jelas.
Halim berdecak. “CK! Untuk apa ‘sih, Ma? Ya Allah. Udah dibilang Halim gak mau nikah.”
Aisyah geleng-geleng kepala. “Subhanallah. Kamu ini kenapa ‘sih, Nak? ‘Kan kamu yang bilang kalau Reno sama Bagas tinggalnya di dekat sini. Kamu hubungi mereka ya, Nak! Masa iya kamu nikah, mereka gak dikasih tahu?”
“Ck! Hmmmm.”
“Jangan lupa, Bang!”
“Hmmmm.” Halim mengambil bantal sofa dan meletakkannya di atas wajahnya.
Aisyah menahan tawa melihat tingkah Halim. ‘Kalau tahu kamu bakalan nikahi Medina, wuuuh! Kamu pasti senyum-senyum terus, Bang!’
Aisyah meninggalkan Halim. Dia masih banyak pekerjaan, dengan beberapa Pelayan yang dia panggil dari rumah mereka di kota. Karena waktunya begitu mepet, dan harus siap sebelum akad besok.
.....**.....
Hari kamis pagi, suasana ramai terjadi di rumah Medina.
Pagi-pagi sekali sehabis subuh, dia sudah di make over oleh Mua pesanan Aisyah-sang calon Mama mertua.
Baju gamis putih dan hijab syar’i warna senada sudah melekat di tubuhnya. Tak lupa veil putih gading dengan bordiran bunga, sedang dipakaikan oleh si Perias ke hijab Medina.
Untaian melati harum juga disematkan dengan cantik oleh si Perias.
Medina semakin cantik dengan polesan make-up flawless.
Nona yang memang dari tadi sudah menemani Medina di make-up, menatap takjub sahabatnya itu.
Nona memegang pundak Medina yang masih duduk di depan meja rias. “Masya Allah, sahabat gue! Cantik banget elu, Me.”
Medina tersenyum menatap pantulan wajahnya di cermin.
“Na, doain gue, ya? Gue gak nyangka kalau pernikahan ini bakal terjadi juga. Huhu.”
“Gue doain yang terbaik buat elu, Me. Insya Allah, Pak Halim udah digariskan jadi jodoh elu. Kalau gak jodoh, semua ini gak mungkin bakalan terjadi, Me.”
Medina menunduk sekilas, lalu tersenyum.
“Ya Allah, Na! Lu kalau ngomong kok mirip Ustadzah, ya? Terharu gue, Na!”
Nona mendengus. “Kampreeet!”
Medina cekikikan. “Huuuft. Iya, Na. Semoga Pak Halim adalah laki-laki yang bisa jadi imam yang baik buat gue. Bisa nuntun gue menuju kebaikan.”
“Amiin Ya Allah. Tapi, kalau bisa jangan hamidun dulu, ya? Soalnya ‘kan bentar lagi naik kelas XII,” celetuk Nona spontan.
Medina membelalak mendengar ucapan Nona yang terdengar agak menggelikan di telinganya. “Astaghfirullah, Na! Lu bahas apaan ‘sih?” wajah Medina langsung blush-on seketika.
Sedang Nona langsung ketawa heboh.
Tiba-tiba otak Medina jadi memikirkan hal lain yang tidak seharusnya dipikirkan.
‘Kenapa gue gak kepikiran, ya? Gimana caranya supaya? Astaghfirullah! Gue mikirin apa ‘sih?’
......***......
Assalamu'alaikum Pembaca aku.🤗
Selamat membaca, ya? Dan jangan lupa, habis baca langsung like, ya?
Akoh pada kalian. Sarang heo love muah muah 💐 ❤️ 🤟🏻