NovelToon NovelToon
Catatan Hanna

Catatan Hanna

Status: tamat
Genre:Teen / Tamat / Keluarga / Persahabatan / Kontras Takdir
Popularitas:10.6k
Nilai: 5
Nama Author: Rijal Nisa

Saat tidak ada teman yang dapat mendengar keluh kesahnya, Hanna menorehkan semua uneg-unegnya di buku hariannya. Tentang cinta, teman, dan keluarga, semua ada di sana.

Hidup Hanna yang begitu rumit, membuat dia kadang-kadang frustasi, namun dia tetap harus kuat menghadapi ombak kehidupan yang terus menghantam.

Ikuti kisah hidup Hanna di "Catatan Hanna."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bertengkar Lagi

"Kak, sebenarnya Hanna ke sini pengen minta bantuan sama Kakak."

"Bantuan apa?"

Aku masih sungkan untuk mengatakannya langsung, apalagi bang Imran masih tidak pergi juga. Aku tahu dia masih berada di balik pintu mendengar obrolan aku dan kakak.

"Kak, aku perlu uang untuk bawa ibu ke rumah sakit. Aku khawatir sama kondisinya ibu," ucapku pelan, aku tidak mau bang Imran mendengar jelas obrolan kami.

"Kamu udah coba hubungi bang Arman belum?" tanya kak Yuni, sorot matanya juga terlihat khawatir.

Aku sadar apa yang aku lakukan ini juga tidak benar, tak seharusnya ikut membebani kakak. Belum lagi kedua anaknya juga sedang sakit, tapi aku harus minta tolong sama siapa lagi kalau bukan kak Yuni, karena bang Arman sulit dihubungi.

"Udah, Kak."

"Dia ngomong apa?"

"Panggilan Hanna di matiin sama abang," jawabku terus terang.

"Memangnya kamu butuh berapa?"

"Berapa aja, Kak. Yang penting cukup buat bawa ibu ke rumah sakit," jawabku pasrah.

"Bentar ya, aku ambil dulu, tapi maaf kakak enggak bisa temenin kamu. Soalnya Lola dan Elisa juga sedang sakit," ujar kak Yuni. Aku cuma mengangguk, dan kakak langsung masuk ke dalam untuk mengambil uangnya.

Sambil menunggu kak Yuni, aku duduk santai di atas kursi yang dekat dengan pintu masuk. Pandanganku tertuju ke arah bunga mawar yang baru mekar, namun suara ribut bang Imran sontak mengalihkan perhatianku.

"Yun, kamu jangan nurutin terus kemauan Hanna, suruh dia temui bang Arman dulu. Bukannya langsung ngasih duit ini ke dia."

"Bang, ini untuk ibu loh. Ini bukan untuk kepentingan dia atau bang Arman."

"Sayang, kemarin kan bang Arman sempat minjam uang ke dia, suruh dulu Hanna datengin kediamannya bang Arman. Nah, kalau bang Arman enggak bayarin duit itu dengan alasan enggak punya uang, baru deh uang ini kamu kasih ke Hanna."

Aku bisa mendengar jelas perdebatan mereka, aku bangun dan berdiri lebih dekat dengan pintu.

"Bang, kamu itu egois. Hanna perlu uang ini untuk bisa bawa ibu berobat."

"Iya, Yun .... Aku paham soal itu. Aku bukan egois, cuma aku pengen kedua abang-abang kamu itu bisa lebih bertanggung jawab lagi sebagai anak laki-laki. Ini urusan mereka, kamu masih ingat dengan apa yang pernah dikatakan kak Riri dulu sama kamu?"

Aku menghela nafas panjang, kini timbul rasa menyesal. Seharusnya tadi aku dengerin omongan ibu yang melarang aku untuk meminta bantuan kak Yuni.

Benar seperti yang ibu bilang, kakak kalau mau ngambil keputusan dia harus lebih dulu mengatakan sama suaminya.

Aku sudah putus asa, lebih baik aku langsung pulang aja. Kini aku berbalik arah, berniat meninggalkan kediaman kak Yuni.

Aku berjalan cepat meninggalkan kediaman mereka, supaya kak Yuni tidak melihat kepergianku.

Aku merasa sendiri, di mana mereka saat aku butuhkan seperti saat ini? Aku memang bukan anak kecil lagi, tapi di saat seperti sekarang ini aku juga butuh mereka.

Aku harus pergi ke rumah bang Arman, dia tinggal di kampung sebelah, karena tidak ada kendaraan yang bisa aku naiki, jadinya aku terpaksa harus jalan kaki ke sana.

Aku sudah menghabiskan sekitar dua puluh menit lebih untuk sampai di rumah bang Arman.

Sekarang aku sudah tiba di tempat tujuanku, perasaan ini jadi tidak nyaman, hatiku diliputi kecemasan. Meskipun sudah yakin kalau bang Arman tidak mau membayarnya, namun aku tetap ingin mencoba.

Aku mulai mengetuk pintu rumah mereka dengan perasaan tak menentu

Beberapa menit kemudian pintu pun terbuka, aku melihat Aya berdiri di depanku dengan berkacak pinggang. Dia masih kecil, tapi perilakunya sama persis seperti orang dewasa, sudah jelas kalau sifatnya itu turun dari ibunya.

"Ngapain Tante ke sini?" tanya Aya, dia menatapku dengan ujung matanya.

Umur Aya sekarang hampir genap lima tahun, dan dia sudah mengerti banyak hal.

"Mau ketemu sama ayah kamu, ayah kamu ada enggak?"

Aku masih mencoba bersikap lembut sama anak kecil ini.

Bukan mau memuji diri sendiri, tapi kalau boleh jujur sih, aku ini memang sangat penyayang sama anak kecil. Namun untuk Aya entah kenapa dia selalu berhasil membuat tensiku naik, dan aku sering merasa jadi monster tiap kali dekat dengan dia.

Aya masuk lagi ke dalam, dia berlarian memanggil ayahnya. Aku menjauh dari ambang pintu, dan aku kembali duduk di depan teras.

"Ada apa, Hann?" tanya bang Arman. Dia kaget melihat kedatanganku, wajar saja. Pasti dia merasa aneh karena aku datang di waktu Magrib seperti ini.

"Bang, Hanna butuh uang. Ibu sakit, dan aku perlu membawa ibu ke rumah sakit."

Bang Arman maju lebih dekat denganku, dia menutup pintu rumahnya dengan rapat. Gelagatnya mencurigakan banget, bang Arman menarik tanganku supaya menjauh dari teras rumahnya, akhirnya kami pun bicara di halaman depan. Tempat yang sedikit jauh dari area rumahnya, setidaknya tempat kami ngobrol saat ini tidak akan didengar oleh Aya atau pun nenek sihir itu.

"Hann, kok malem-malem sih? Besok aja lah."

"Enggak bisa, Bang. Aku harus bawa ibu sekarang juga. Kalau kamu enggak mau bantu setidaknya berikan uang itu padaku."

"Abang lagi enggak punya uang," ucap bang Arman setengah berbisik.

"Enggak punya uang? Kamu kan kepala keluarga, Bang. Enggak mungkin kalau semua uangnya kamu kasih sama kak Riri."

Aku mulai emosi, gimana rasanya berada di posisi aku saat ini. Ingin sekali aku melampiaskan kemarahanku dengan menampar wajahnya berkali-kali.

Marah? Sudah pasti...

"Hann, uangnya udah abang pakek lagi buat beli tv baru," jawab bang Arman.

Aku melotot mendengar jawaban santainya, beli Tv? Mereka sudah punya satu, satu lagi buat apa? Ini keluarga benar-benar banyak gayanya ya.

"Bang, aku enggak mau tahu. Pokoknya uang itu harus ada malam ini juga!"

"Enggak ada, Hann!"

"Ya udah, biar aku bicara sendiri sama istri kamu, Bang." Aku berniat pergi menemui kak Riri.

Bang Arman langsung menahan dengan menarik lenganku.

"Kenapa? Abang takut?"

"Biar abang yang minta sama Riri."

"Minta sana! Hanna tunggu di sini, pastikan kalau uangnya ada," ucapku penuh penekanan.

Bang Arman pergi masuk ke dalam dan menemui istrinya yang super duper pelit itu.

Aku menunggu di luar, rasanya tidak enak juga kalau tidak mendengar obrolan mereka. Akhirnya aku putuskan untuk berjalan lebih dekat dengan pintu masuk, aku menempelkan telingaku di daun pintu. Kini mulai terdengar suara kak Riri yang berdebat dengan bang Arman.

"Ri, Hanna butuh uangnya malam ini juga."

"Kan uang itu udah kamu pakek lagi buat beli Tv, Bang."

Terdengar jawaban kak Riri yang begitu santai.

Aku bisa mendengar dengan jelas, namun lagi-lagi pikiran ini tidak fokus karena teringat ibu yang sendirian di rumah.

"Pakek uang kamu dulu, Ri."

"Mana bisa, ini uang aku bukan uang kamu."

"Tapi kan aku juga yang ngasih ke kamu, Ri. Ini buat ibu, Hanna mau bawa ibu ke rumah sakit," ucap bang Arman. Beberapa kali dia menghela nafas panjang mungkin mencoba tetap sabar dengan sifat sang istri.

"Bang, anak ibu itu bukan cuma kamu. Yuni, bang Andi. Mereka berdua kan juga anak ibu, ya mestinya mereka juga ikut bertanggung jawab dong sama ibu. Lagian rumah Yuni juga lebih dekat sama ibu, kenapa bukan dia aja yang ngurusin ibu, dan pergi bawa ibu ke rumah sakit? Kenapa harus minta tolong sama kamu?"

"Riri, kemarin itu aku minjem uang Hanna, dan sekarang dia datang untuk mengambil kembali uangnya. Wajar aja dong dia minta ke aku," ucap bang Arman mulai gusar.

"Yang ngutang kan kamu, bukan aku. Kenapa aku yang harus bayar?" tanya kak Riri. Perempuan itu benar-benar tak tahu diuntung jadi istri.

"Aku memang berhutang, tapi jangan lupa juga siapa yang menikmati uang itu semua?"

"Kok jadi ngungkit gini? Kamu enggak ikhlas nafkahi aku, kalau gitu ya kamu pergi aja sana, tinggal sama Hanna dan ibu!"

Kalau sudah begini, aku bisa menebak akhir dari perdebatan mereka. Ujung-ujungnya bang Arman bakal ngalah juga, aku tidak paham dengan jalan pikiran abangku sendiri, entah apa yang dilihat dari istri seperti kak Riri.

Semakin hari kak Riri juga semakin tidak bisa menjaga sikapnya, dia semakin menjadi-jadi.

"Aku bukan ngungkit, aku cuma mau ingetin kamu."

"Bang, besok kan udah panen lagi. Tunggu besok aja, ngapain juga ibu malam-malam ke rumah sakit, bikin repot tau enggak, kasih tahu tuh sama si Hanna. Suruh dia tunggu sampai besok," ucap kak Riri.

Aku tidak mendengar lagi perdebatan mereka, mungkinkah sudah selesai?

Ini enggak bisa dibiarin, aku enggak mau uangku melayang gitu aja. Kalau nunggu panen lagi yang ada bukan uangku yang dibayar, melainkan uang yang memang sudah jatahnya untuk ibu dan aku.

"Bang, aku enggak mau diginiin terus. Aku mau uang itu dikembalikan sekarang juga," protes ku menatap kak Riri dan bang Arman secara bergantian.

Mereka melongo melihat aku yang masuk tanpa salam. Mana peduli lagi sama hal begituan, saat ini yang ada di pikiranku cuma uang, uang, dan uang.

Aku sudah menunggu hampir dua jam, enggak lucu dong kalau akhirnya harus pulang dengan tangan kosong. Belum lagi aku ke sini juga jalan kaki, mereka malah enak-enakan enggak mau bayar hutangnya sama aku.

Aku menyingsingkan lengan bajuku, bersiap untuk kembali adu jotos sama si nenek sihir.

"Mau ngapain kamu, Hann?" tanya bang Arman, dia sudah mulai waspada saat melihat aku menarik lengan bajuku lebih ke atas lagi.

"Mau ngapain lagi menurutmu, Bang?"

"Kamu jangan kurang ajar ya, Hann?"

"Kurang ajar kamu bilang, Kak? Yang kurang ajar itu kamu, bukan aku. Kamu itu, ibu, istri, sekaligus menantu kurang ajar!" aku memekik dengan kencang.

Plak!

Sudah sebesar ini aku tidak pernah dipukul atau sejenisnya itu, dan baru kali ini aku ditampar sama bang Arman. Aku cuma pernah ditampar sama bang Andi, dan aku wajar saja karena bang Andi orang yang cepat emosi dan lebih mudah main tangan. Namun tidak dengan bang Arman, kalau kali ini dia menampar aku itu berarti aku sudah tidak berarti lagi sebagai adiknya.

"Cukup, Hann! Apa ibu pernah ngajarin bicara kamu sekasar itu sama orang yang lebih tua? Apa gini cara kamu bicara dengan iparmu sendiri?"

Mataku mulai berkaca-kaca, tapi aku tidak akan menangis di sini.

1
* bunda alin *
dan indah pada waktu nya 🥰
P 417 0
semoga kita semua selalu di berikan kesehatan ,kebhagiaan dan keberkahan/Pray//Pray/
P 417 0
hmmm.bner2 di tamatin/Sleep//Sleep/
P 417 0
perasaan yg mbulet/Drowsy/
* bunda alin *
tap tap tap ..
P 417 0
tamat/Sleep/
* bunda alin *
tegang bgt ,, 😱
P 417 0
/Drowsy//Drowsy/tuh kan akibatnya klo terlalu baik
P 417 0
/Proud//Proud//Proud/hmmm bner2 polos
P 417 0: ntah/Silent/
🥑⃟Riana~: apanya yg polos/Sweat/
total 2 replies
P 417 0
/Facepalm//Facepalm//Facepalm/rekomendasi yg bgus
P 417 0
ajaran yg baik bkl jdi baik hasilnya/Smile/
* bunda alin *
malang nya Hanna,,, selalu di hinggapi hal yg tdk terduga
ayo donk .. kapan Hanna bisa bahagia ... 💜
P 417 0
hmmmm .berarti ada dalng lain juga/Speechless/
🥑⃟Riana~: Anda/Shame/
P 417 0: sapa🙄
total 4 replies
P 417 0
oooo.ternyata bgas /Sleep//Sleep/
🥑⃟Riana~: hooh 🤧
total 1 replies
P 417 0
sapa sih sebnernya/Drowsy//Drowsy/
P 417 0
ooh tk kira abis gitu aja/Facepalm//Facepalm/
P 417 0
sepertinya obrolan di atas sedikit kurang mnurt aku/Silent/
🥑⃟Riana~: Harus ditambah lagi? kamu aja yg nambah kk/Sweat/
total 1 replies
* bunda alin *
tq sdh up ,, next thor
P 417 0
kita udah berapa tahun ya🤣🤣🤣🤣
P 417 0
/Facepalm//Facepalm//Facepalm/klo ngliat di reel mngkin lbh seru kali ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!