Mentari merupakan seorang perempuan yang baik hati, lembut, dan penuh perhatian. Ia juga begitu mencintai sang suami yang telah mendampinginya selama 5 tahun ini. Biarpun kerap mendapatkan perlakuan kasar dan semena-mena dari mertua maupun iparnya , Mentari tetap bersikap baik dan tak pernah membalas setiap perlakuan buruk mereka.
Mertuanya juga menganggap dirinya tak lebih dari benalu yang hanya bisa menempel dan mengambil keuntungan dari anak lelakinya. Tapi Mentari tetap bersabar. Berharap kesabarannya berbuah manis dan keluarga sang suami perlahan menerimanya dengan tangan terbuka.
Hingga satu kejadian membuka matanya bahwa baik suami maupun mertuanya dan iparnya sama saja. Sang suami kedapatan selingkuh di belakangnya. Hanya karena pendidikannya tak tinggi dan belum juga dikaruniai seorang anak, mereka pun menusuknya dari belakang.
Tak terima perlakuan mereka, Mentari pun bertindak. Ia pun membungkam mulut mereka semua dan menunjukkan siapakah benalu sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH EMPAT
Di siang yang cukup terik itu, tampak Septi dan Rohani begitu bahagia sebab mereka baru saja menikmati hari mereka dengan pergi ke salon dilanjut berbelanja menggunakan uang sisa membayar tagihan listrik dan air yang diberikan Erna.
Dengan wajah berbinar cerah, mereka pun tiba di rumah setelah menghabiskan waktu hampir 5 jam di luaran sana. Namun, setibanya di rumah, dahi kedua wanita berbeda generasi itu mengerutkan dahinya bingung sebab melihat ada sebuah mobil Pajero sport berwarna hitam terparkir di halaman depan rumah mereka. Mereka pun bergegas turun untuk melihat mobil siapa itu sebab mereka tidak mengenali pemiliknya.
Setelah turun dari mobil, mereka pun bergegas menuju terasa rumah mereka. Ternyata di sana ada dua orang pria bertubuh besar dengan jaket hitam dan wajah garang sedang duduk sambil mengepulkan asap nikotin dari bibir merah.
"Maaf, kalian siapa ya?" tanya Rohani tanpa basa-basi saat melihat kedua orang berwajah garang itu. Keduanya menoleh kemudian segera menjatuhkan puntung rokok mereka dan menginjaknya membuat kedua wanita itu menelan ludah. Wajah garang itu makin terlihat garang dan mengerikan saja. Apalagi saat kedua laki-laki itu menatap tajam pada mereka, makin menciutlah nyali kedua wanita itu.
"Apa Anda pemilik rumah ini?" tanya salah seorang laki-laki dengan brewok memenuhi rahangnya. Karena takut, Septi sampai bersembunyi di balik tubuh Rohani.
"I-iya, ada perlu apa kalian sama saya?" tanya Rohani terbata dengan tubuh yang mendadak terasa panas dingin.
"Baguslah. Akhirnya kalian pulang. Kami pikir kalian sudah pindah dari sini. Kalau memang sudah pindah, artinya rumah ini akan segera disegel. Tapi ... "
"Apa? Disegel?" seru Rohani dan Septi berbarengan.
"Ekhem ... " salah seorang laki-laki dengan mata setajam elang dan bibir hitam pekat seperti seorang pencandu benda bernikotin berdeham membuat Rohani dan Septi segera menutup rapat bibir mereka.
"Tapi karena kalian kembali artinya kalian harus menyelesaikan pembayaran yang tertunggak selama 2 bulan ini," lanjut si laki-laki brewokan.
"Pembayaran yang tertunggak? Tunggu-tunggu, maksud kalian apa? Saya tidak mengerti?" tanya Rohani dengan dahi berkerut bingung.
"Ya, pembayaran tertunggak. Rumah ini sudah 2 bulan tidak membayar cicilannya jadi kami minta kalian segera membayar cicilan tertunggak selama 2 bulan ini, bagaimana? Apakah uangnya sudah siap?"
"Ci-cilan rumah?" beo Rohani dan Septi masih dengan wajah bingungnya membuat kedua lelaki garang itu menatap heran.
Lantas si laki-laki brewokan menunjukkan surat penagihan pada Rohani. Disana tertera detil pembelian rumah mereka yang seharga 500 juta secara cicilan dengan DP 125 juta dan tenor 10 tahun. Sedangkan besaran cicilannya adalah 6,5 juta perbulan dan periode pembayaran baru berjalan selama 4 tahun, artinya mereka masih harus membayar 6,5 juta perbulan selama 6 tahun lagi.
Sontak saja mata Rohani dan Septi terbelalak, mereka baru tahu fakta kalau rumah itu masih dalam masa cicilan.
Sebenarnya bukannya baru tahu, tapi lupa karena terlalu lama terlena dengan kenyamanan yang diberikan Mentari selama ini. Mereka lupa bagaimana hidup mereka dahulu. Dulu mereka sebenarnya memiliki rumah walaupun tidak sebesar ini. Namun, saat Shandi berkuliah di semester 4, ayah Shandi meninggal dengan meninggalkan banyak hutang. Alhasil, rumah mereka tergadai untuk membayar hutang-hutang tersebut. Kemudian mereka hidup mengontrak dan Shandi terancam putus kuliah.
Di saat-saat itulah Shandi berkenalan dengan Mentari di sebuah taman tak jauh dari kontrakan Shandi dan keluarganya. Hubungan mereka makin intens meski saat itu Mentari harus kembali ke Malaysia. Dengan kebaikan hatinya, Mentari kerap mengirimi Shandi uang untuk biaya kuliah dan kebutuhan keluarganya.
Setelah tahun pertama pernikahan mereka, Mentari mengemukakan akan mengambil cicilan rumah untuk mereka tanpa menjelaskan secara detil berapa biayanya, Shandi hanya menyetujui dengan syarat tidak membebaninya. Segala pembayaran mereka serahkan pada Mentari hingga akhirnya mereka lupa kalau rumah itu belum benar-benar menjadi hak milik mereka.
"Jadi bagaimana Bu, bisa kami mengambil uangnya sekarang, sebab kami harus pergi ke rumah lainnya?" pinta laki-laki bermata tajam dan bibir hitam itu.
"Ka-kami tidak punya uangnya, pak," jawab Septi ketakutan. Terpaksa dirinya yang menjawab sebab ibunya terlihat masih begitu shock mendapati kenyataan itu.
Kedua laki-laki itu mendengus kemudian mengeluarkan surat peringatan, "kalau sampai bulan depan kalian menunggak lagi, maka bersiap-siap saja angkat kaki dari rumah ini!" tukas laki-laki brewokan dengan sorot mata tajam dan mengintimidasi seraya menyerahkan surat peringatan ke tangan Septi yang tampak bergetar. Bahkan bibirnya saja sudah memutih karena ketakutan.
Saat kedua laki-laki itu pergi, tiba-tiba saja Rohani luruh ke lantai tak sadarkan diri.
"Mama," pekik Septi panik saat melihat ibunya sudah terkulai lemah di atas lantai.
...***...
Kini Rohani telah dibawa Septi ke rumah sakit. Saat dalam perjalanan, Septi menyempatkan diri menghubungi sang kakak untuk mengabarkan perihal pingsannya Rohani di teras rumah mereka. Shandi tiba di rumah sakit tak berselang lama setelah tibanya Rohani dan Septi di sana.
"Mama kenapa, Sep? Kenapa bisa tiba-tiba pingsan?" cecar Shandi yang begitu mengkhawatirkan keadaan ibunya.
"Mama kena serangan jantung ringan," ucap Septi pelan dengan kepala tertunduk lesu.
"Kenapa bisa?" tanya Shandi lagi.
Kemudian Septi pun menjelaskan perihal datangnya petugas debt kolektor untuk menagih uang cicilan rumah mereka yang sudah menunggak selama 2 bulan. Terang saja, Shandi membelalakkan matanya, ia pun baru ingat perihal rumah mamanya yang dibeli dengan cara mencicil.
Shandi frustasi sendiri. Uang tabungannya sudah sangat menipis, takkan cukup untuk membayar uang bulanan rumah keluarganya. Sama seperti keluarganya, Shandi benar-benar lupa dengan fakta tersebut. Shandi pun kian was-was. Terlalu banyak yang tidak ia ketahui tentang Mentari pun keluarganya selama ini. Bahkan kini ia mendadak menjadi amat sangat was-was, bagaimana kalau tiba-tiba ada petugas debt kolektor yang menagih cicilan rumah yang baru 3 tahun ia tempati ini? Tidak mungkin kan rumahnya itu dibeli secara cash oleh Mentari, pikirnya. Sebab rumah yang ia tempati itu lebih besar dari rumah ibunya, tentunya harganya pun pasti lebih mahal. Dari mana ia memilik uang untuk melakukan pembayaran bila sang penagih itu benar-benar datang?
Terlalu abai, terlalu terbuai, dan terlalu terlena, hingga tanpa mereka sadari apa yang mereka nikmati selama ini adalah hasil kerja keras Mentari dari balik layar. Perlahan, ucapan Mentari yang akan menunjukkan siapa benalu sebenarnya pun akan segera terlaksana.
...***...
Dengan wajah lesu, Shandi memasuki kantor tempatnya mengais rejeki selama lebih dari 5 tahun ini. Ibunya yang masih dirawat dan tidak adanya uang untuk membayar tunggakan cicilan rumah ibunya ternyata cukup menguras beban pikirannya. Ingin meminjam dengan Erna, tapi Erna bilang ia tidak memiliki uang membuat Shandi kebingungan sendiri dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.
Namun setibanya di kantor, Shandi justru dihadapkan dengan kasak-kusuk para karyawan MTR Furniture. Karena penasaran, Shandi pun menghampiri kerumunan tersebut. Jiwa kepo mode on istilahnya.
"Ada apa sih kok kayaknya rame bener pagi-pagi?" tanya Shandi pada salah satu karyawan MTR Furniture yang menjabat sebagai sekretaris kepala divisi perencanaan dan pengembangan bernama Irma.
"Gosip hangat, Shan! Loe nggak tahu?" tanya Irma.
"Gosip hangat apa? Ada yang ketahuan korupsi?" celetuk Shandi sekenanya.
"Dih, bukan," sergah Irma.
"Jadi apa?"
"Kamu tahu kan kemarin itu ada rapat direksi di restoran Buana?" tanya Irma yang diangguki Shandi. "Nah, di sana ternyata pak Galih memperkenalkan pemilik MTR Furniture sebenarnya secara perdana yang ternyata seorang perempuan yang cantik banget. Serius deh, aku yang cewek aja pangling lho," tukas Irma penuh semangat.
"Apa? Jadi pak Galih itu bukan pemilik sebenarnya?"
"Bukan. Para pimpinan direksi aja baru tahu lho. Rupanya selama ini beliau nggak mau turun tangan secara langsung alias bekerja di balik layar karena ia sibuk mengurus rumah tangganya. Tapi ... karena dia sekarang udah cerai jadi dia mau turun tangan langsung," tukas Irma membuat mata Shandi terbelalak dan makin penasaran.
"Kamu tahu, ruang meeting kemarin jadi heboh, tau nggak kenapa?" Shandi menggeleng. "Ya gimana nggak heboh kalau bos besar kita itu cantik pake banget. Ramah dan baik pula. Yang single pada maju pingin kenalan. Sampai pak Agra yang galak pun ikut terpesona dan sibuk cari perhatian. Aku jadi mikir, suami bodoh mana yang melepaskan berlian seperti bu bos itu ya! Asli, mantannya pasti benar-benar bodoh sampai melepaskan perempuan seperti Bu bos yang nyaris sempurna. Udahlah kaya, mapan, sukses, baik, cantik, ramah, menyenangkan juga. Pokoknya paket komplit deh!" puji Irma tak sudah-sudah.
Shandi pun mengamini, merasa setuju dengan apa yang baru saja Irma katakan kalau laki-laki yang melepaskan bos mereka itu adalah laki-laki super bodoh.
...***...
...HAPPY READING 🥰🥰🥰...