Apa jadinya jika impian mu hancur di tangan orang yang paling kamu benci, tapi juga tak bisa kamu hindari?
"Satu tesis gagal, Karena seorang dosen menyebalkan, Semua hidup ku jadi berantakan"
Tapi siapa sangka semuanya bisa jadi awal kisah cinta?
Renatta Zephyra punya rencana hidup yang rapi: lulus kuliah, kerja di perusahaan impian, beli rumah, dan angkat kaki dari rumah tantenya yang lebih mirip ibu tiri. Tapi semua rencana itu ambyar karena satu nama: Zavian Alaric, dosen killer dengan wajah ganteng tapi hati dingin kayak lemari es.
Tesisnya ditolak. Ijazahnya tertunda. Pekerjaannya melayang. Dan yang paling parah... dia harus sering ketemu sama si perfeksionis satu itu.
Tapi hidup memang suka ngelawak. Di balik sikap jutek dan aturan kaku Zavian, ternyata ada hal-hal yang bikin Renatta bertanya-tanya: Mengapa harus dia? Dan kenapa jantungnya mulai berdetak aneh tiap kali mereka bertengkar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 15
Zavian melangkah cepat menuju ruang kelas. Jam tangannya menunjukkan pukul 07.59 satu menit sebelum kelas dimulai. Napasnya sedikit memburu, tapi raut wajahnya tetap tenang dan terkontrol. Ia benci terlambat. Untung saja, hari ini ia masih bisa tiba tepat waktu.
Begitu masuk ke dalam ruang kelas, para mahasiswa langsung diam, seolah atmosfer ruangan berubah hanya karena kehadiran Zavian.
"Pagi" sapanya singkat namun tegas, sambil berjalan menuju meja dosen.
Para mahasiswa membalas dengan suara pelan, "Pagi, Pak Zavian..."
Zavian membuka laptopnya dan mengatur beberapa dokumen di meja. Semuanya rapi, tidak ada satu pun kertas yang menumpuk sembarangan. Ia menatap seisi kelas, memastikan semua orang sudah duduk di tempat.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka.
Seorang mahasiswa masuk tergesa-gesa, napasnya tersengal. "Permisi Pak, Maaf pak... Saya telat, tadi macet"
Zavian menatapnya tanpa ekspresi. Ia meletakkan pulpen di atas meja, lalu bersuara datar, "Keluar"
"Tapi, pak..."
"Kamu tahu kelas saya dimulai jam berapa?"
"Jam delapan pak, tapi tadi saya..."
"Saya tidak peduli alasanmu. Ini bukan tentang macet atau kesiangan. Ini tentang menghargai waktu orang lain. Silakan keluar, Minggu depan kamu boleh kembali masuk tepat waktu"
Mahasiswa itu menunduk dan keluar dengan perlahan, sedangkan Zavian kembali menatap seluruh kelas.
"Siapapun yang berada belajar di kelas saya, harus siap untuk menghargai waktu. Saya tidak mentolerir keterlambatan. Bahkan saya sendiri akan menghukum diri saya kalau saya telat. Jadi, saya tidak akan berbeda pada kalian."
Suasana hening. Tak ada yang berani bersuara.
Zavian menarik napas pelan dan mulai mengajar, kembali ke mode profesionalnya yang disiplin dan tanpa celah. Meski keras, semua mahasiswa tahu: dosen yang satu ini memang punya standar tinggi pada orang lain, dan terlebih lagi, pada dirinya sendiri.
Setelah Zavian mempersilakan mahasiswa yang terlambat untuk keluar, suasana kelas hening. Semua mata tertuju padanya — kecuali satu orang.
Renatta mengangkat tangannya, dengan wajah serius dan nada suara sedikit emosi.
"Pak Zavian"
Zavian mengangkat alis, sedikit heran. "Ya, Renatta?"
"Saya rasa... Bapak terlalu kejam."
Suasana kelas langsung tegang. Beberapa mahasiswa menoleh ke Renatta dengan mata membelalak.
Zavian menyilangkan tangan di depan dada. "Kejam?"
"Iya, kejam. Tadi mahasiswa itu terlambat, tapi Bapak bahkan nggak bertanya dulu alasannya. Bagaimana kalau dia punya keadaan darurat? Kalau dia kecelakaan? Atau... ada hal penting yang harus dia selesaikan? Bapak langsung mengusirnya keluar tanpa sedikit pun mencoba memahami."
Zavian masih menatap Renatta tanpa ekspresi. "Kalau saya tanya semua alasan keterlambatan, lalu saya izinkan semua masuk, di mana letak disiplin? Kelas ini bukan tempat kompromi untuk ketidakpastian."
"Tapi ini juga bukan tempat untuk jadi robot tanpa hati, Pak!" Renatta menimpali.
Zavian diam sejenak. Beberapa mahasiswa mulai berbisik-bisik kecil.
"Apa maksudmu?"
"Bapak bilang menghargai waktu orang lain, tapi bagaimana dengan menghargai perjuangan orang lain yang mungkin sudah berusaha keras untuk tetap hadir walau telat? Bukankah empati juga bagian dari menjadi pengajar?"
Zavian terdiam. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya berubah sedikit tajam.
"Renatta, saya mengerti maksudmu. Tapi jika saya mengizinkan satu orang dengan alasan, maka saya harus mengizinkan semuanya. Lalu bagaimana saya menilai keadilan?"
"Keadilan itu bukan tentang menyamaratakan semuanya, tapi tentang memahami perbedaan situasi tiap orang. Saya cuma ingin Bapak tahu... logika boleh dipakai, tapi bukan dengan mengorbankan rasa."
Kelas sunyi. Semua menunggu bagaimana Zavian akan membalas. Materi yang sudah ia siapkan dengan rapi kini teralihkan oleh perdebatan yang tidak ia duga. Namun, ia tahu, gadis yang duduk di bangku ketiga dari depan itu… baru saja membuat pikirannya berantakan.
Zavian menatap Renatta dengan dingin namun tetap tenang. Suara di kelas mulai menghilang, semua mahasiswa menahan napas, menanti balasan sang dosen.
"Renatta," ucap Zavian, suaranya rendah tapi jelas. "Saya menghargai keberanian kamu untuk bicara. Tapi mari kita luruskan satu hal. Kelas ini bukan hanya tempat belajar materi, tapi juga tempat belajar prinsip."
Renatta masih menatap Zavian, matanya tak bergeming.
"Saya bukan tidak punya hati. Tapi saya punya standar. Kalau satu orang saya izinkan masuk karena alasan pribadi, lalu satu lagi datang minggu depan dengan alasan lain, lalu saya izinkan juga… Lalu apa gunanya aturan? Apakah kamu mau saya membiarkan satu demi satu mahasiswa datang seenaknya hanya karena mereka punya 'alasan'?"
Zavian berjalan pelan ke arah meja, lalu menatap ke seluruh kelas.
"Peraturan itu tidak dibuat untuk orang yang sedang nyaman. Tapi untuk menjaga ketertiban ketika keadaan tidak ideal. Jika saya longgarkan satu hal, maka akan ada celah di sistem. Dan saya bukan tipe yang membiarkan sistem rusak hanya karena rasa kasihan."
Lalu tatapannya kembali tertuju pada Renatta.
"Kalau kamu rasa tindakan saya tidak manusiawi, saya bisa beri kamu pilihan: silakan keluar sekarang dan susul temanmu yang tadi. Minggu depan, kamu bisa masuk kembali ke kelas saya, dengan catatan: datang tepat waktu."
Ruangan langsung hening. Renatta terdiam. Tidak ada yang berani bersuara.
Zavian kemudian menambahkan dengan nada yang sedikit lebih ringan namun tetap serius.
"Saya tidak menuntut kesempurnaan dari kalian. Tapi saya menuntut komitmen. Jika kalian tidak bisa menghargai waktu saya, maka saya tidak punya kewajiban untuk membagi waktu saya untuk kalian."
Renatta menggigit bibirnya. Kali ini, dia benar-benar tidak bisa membalas.
Zavian lalu melanjutkan perkuliahan dengan tenang, seolah tidak terjadi apapun barusan. Tapi semua mahasiswa tahu, momen itu akan jadi bahan obrolan sepanjang minggu.
***
Suasana kantin siang itu ramai seperti biasa, tapi di salah satu sudut meja, tampak tiga orang duduk dengan ekspresi heboh, sementara satu orang hanya menatap sendu pada makanan di hadapannya tidak tersentuh sama sekali.
"Gila ya Lo, Nat!"seru Sela, matanya membelalak dramatis. "Lo beneran bilang 'bapak nggak punya hati' ke Pak Zavian?!"
Arya ikut menimpali dengan ekspresi kaget, "Lu ngapain sih, Nat? Itu dosen killer loh! Dosen killer favorit kampus pula! Gue dengar dia nolongin satu anak aja bisa jadi bahan berita kampus seminggu!"
Renatta hanya memegang sendoknya, memainkan ujung nasi tanpa semangat. "Habisnya gue nggak tahan. Dia terlalu... terlalu kaku. Apa salahnya sih nanya alasan kita terlambat? Kan kita juga manusia."
Mira, yang sejak tadi duduk di seberang Renatta, menggeleng pelan. "Tapi Lo keren sih, Nat. Serius. Gue juga kaget Lo bisa segitu beraninya. Semua orang di kelas tadi kayak... membeku."
Sela menyikut Mira, setelah melihat video debat yang tiba-tiba beredar di sosial media lambe kampus "Iya, dan Lo liat nggak cara dia ngebalas? Datar banget, logis banget, tapi nusuk banget!"
Arya menambahkan sambil mengangkat tangan dramatis, "Itu... itu bukan cuma debat dosen-mahasiswa. Itu duel mental! Dan kayaknya... kayaknya lo kalah telak, Nat."
Renatta mendesah pelan. "Gue nggak nyesel sih. Tapi kenapa ya, abis semua itu malah bikin gue... kepikiran."
"Ya iyalah kepikiran, orang sampe di upload ke sosmed. Btw ini siapa sih yang upload videonya?"
"Ya paling kerjaan anak-anak yang tukang gosip"
Renatta langsung menunduk dalam-dalam, menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Astaga, gue kenapa sih..."
Sela tertawa, "Karena Lo baru aja dimarahin sambil tatap-tatapan sama dosen ganteng!"
Arya menambahkan, "Dan Lo sadar nggak? Setiap Lo dan dia debat, itu kayak... chemistry-nya nyetrum! Gila, ini kayak drama kampus!"
Renatta hanya menggeleng pasrah sambil masih menutup wajahnya. Pagi ini Zavian benar-benar membuatnya sangat malu.