Renata tuli, dan itu sudah cukup menjadi alasan mengapa dirinya di jauhi se-antero Amarta.
Tapi pemuda itu, Maleo, tidak berpikiran demikian. Ia justru menganggap Renata...Menarik? Tanpa alasan, seperti itulah Maleo.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuanYen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06. Cantik
"Jadi ada yang bisa jelasin?''
Binar bening Renata memandangi dua insan dihadapannya. Sejujurnya sedari tadi ia telah was-was, akibat respon Maleo yang seolah menolak untuk memberitahukan fakta kepada Renata, dan gadis bernama Ashel yang juga bungkam dibuatnya. Terdapat segelintir rasa khawatir yang tersembunyi di balik relung hati Renata, tapi hal itu sama sekali tak ia gubris mengingat bahwa hasrat penasarannya jauh melampaui rasa itu.
Maleo menghela napas.
"Dia temen gue, cuma agak rese." Maleo menyenggol Ashel yang sedari tadi memainkan jarinya.
"Oh Iya!" Ashel tersentak. Kemudian melanjutkan kalimatnya.
"Dia tuh, seringgg banget repotin guee, ah bodo banget, gue sebel ama lu!" Ashel mencuri cubitan kecil di pipi kanan Maleo.
"Kok gue?" Maleo yang tak mau kalah hanya berdecih, menyembunyikan rasa kesalnya sementara Ashel hanya tersenyum bagai tak berdosa.
Ketika iris sehitam jelaga bertemu dengan si biru laut seakan terdapat petir perseteruan yang menyambar diantara keduanya, mengundang kekehan dari Renata.
"Kalian lucu ya." Celetuk Renata tiba-tiba yang dihadiahi gidikan bahu oleh Maleo, dan Ashel yang hanya tertunduk malu.
...•••...
Gedung pencakar langit menjulang di antara gempitanya malam. Muda-mudi bersorak gembira di suatu konser megah di ibu kota. Namun sebuah ruko minimalis ternyata lebih menyita perhatian Nona muda Hera.
Lamborghini Aventador J terparkir apik di halaman ruko, membuat siapa saja pasti akan berpikir bahwa pemilik baru ruko itu seorang pengusaha kaya raya. Tak sepenuhnya benar.
Karena kenyataannya Hera Janadwipa Nandika, seorang putri dari Soerya Nandika, yang digadang-gadang sebagi pemilik pengusaha tambang paling paling besar di Indonesia. Tentu, sebagai anak sudah seharusnya Hera untuk menghambur-hamburkan harta kekayaan Ayahnya yang berlimpah ruah bak air di lautan.
Gadis tersebut mendekati seorang lelaki yang menjaga ruko itu, dapat ia lihat ekspresi melongo yang begitu jelas dari pemuda pendek tersebut. Sudah biasa, semua orang di Indonesia akan memandangnya demikian jikalau mengetahui nama belakangnya.
Pintu dibuka Hera tak lagi tertegun kala mendapati lampu sorot besar yang menyambutnya. Lantai marmer dihiasi karpet merah berbulu yang harganya fantastis, sofa-sofa di susun dengan agak memberi celah menjaga privasi orang-orangnya, platform-platform dimodifikasi agak tinggi untuk melayani tamu khusus yang berada di teras-terasnya. Aroma alkohol menyeruak masuk, begitu pula dengan zat adiktif bernama narkoba. Hera memang tidak pernah barang sekali saja menghirupnya, tapi temannya ada yang menjadi pecandu, dan ia tahu beberapa hal mengenai obat-obatan terlarang semacam itu.
Hera berjalan dengan anggun layaknya lady di pesta dansa. Banyak orang yang menyambutnya bahkan sang pengelola pula hadir untuk menyapanya.
Netra Hera mengedar, ia mendapati jajaran pengusaha yang tengah menegak tuak ditemani beberapa wanita pilihan. Hera mengamati wajah mereka, dimulai dari yang gendut di ujung lorong, seorang pebisnis hebat yang telah lama berkecimpung di dunianya, pernah terjerat kasus korupsi minyak bumi, namun dibebaskan secara cuma-cuma oleh kepolisian setelah menjalani dua bulan masa kurungan, namanya Yudhistira Nridun.
Dan yang sedang berbincang-bincang dengan koleganya itu bernama Faisal Basri, dengan Kunto Aji sebagai orang yang ia ajak berbincang. Hera menghela, ia hampir mengenal seluruh tokoh dalam tempat ini, namun yang di pojok kiri paling ujung sungguh menyita perhatian.
Pasalnya pemuda itu berusia seperti sepantaran dengan nya, bertubuh tegap, ia mempunyai rambut agak keemasan seperti seorang bule, namun matanya berwarna cokelat hangat seperti Hera. Pemuda itu memakai masker, pakaiannya super hitam dari atasan hingga bawahan nan terlihat tidak tertarik dengan alkohol sebab memesan koktail.
"Cen," panggil Hera kepada pengelola tempat yang semula terlibat perbincangan hangat dengannya.
Setelah merasa disahut, Hera kembali membuka suara, "Dia siapa?" Hera menunjuk pemuda misterius tadi.
Cen, si pengelola menggelengkan kepalanya.
"Dia baru di sini, katanya dia Maleo Javares, Raden Mas Maleo Javares. Di lihat dari KTP-nya sih iya, tapi gue ga tahu, Her, sumpah deh." Jelas Cen panjang lebar.
Hera mengangguk.
"Eh, lo udah ditunggu tuh sama Cedric, sono, hus huss," usir Cen sebagaimana ia mengusir kucing, yang lalu ditanggapi kekehan kecil dari pihak Hera.
"Ngusir nih lo?" Hera berbasa-basi.
"Iya.....yang penting lo bayar sih." Dan kembali dihadiahi kekehan oleh Hera, gadis itu lantas melenggang meninggalkan Cen yang katanya masih ingin terlibat percakapan pada pengunjung lain.
Hera berjalan berniat untuk ke atas menemui Cedric—Sang pujaan hati, namun langkahnya terhenti saat merasa seseorang mengikutinya. Kini langkahnya berbelok, menuju belakang tangga.
Satu...
Dua....
Brak!!
Suara debuman keras yang untung saja teredam kebisingan para peminum, membuat keuntungan tersendiri bila Hera terpaksa membunuh pemuda yang kini ia cekik. Tubuh pemuda tersebut ia kunci hingga tidak dapat pergi kemana-mana, untung saja dahulu ia ngotot untuk pergi ke kelas bela diri, jadi instingnya tak lagi dapat diragukan, meskipun kenangan pahit juga terkunci rapat-rapat dalam olahraga itu.
"Apa yang lo mau dari gue?" Hera memandangi pemuda yang mempunyai perawakan lebih besar dibandingkan dirinya.
Sedetik dua detik, Hera setia menunggu tapi pemuda itu masih tetap diam, seakan tak ingin angkat bicara. Kesabaran Hera menipis, lantas melepas masker hitam yang pemuda itu kenakan dengan kasar.
Tapi betapa terkejutnya ia ketika mendapati perbedaan signifikan terhadap penampilan fisik pemuda yang katanya Maleo itu.
"Siapa lo? Lo bukan Maleo.'' Alis Hera menukik tajam, rahangnya ia katupkan, tangannya mengepal hendak meninju pemuda yang berada di bawa kukungannya.
"Siapa lo? Jawab, atau tangan ini bakal melayang ke sini." Ujung kuku Hera yang tajam dibalut kutek berwarna unggu menunjuk mata kecokelatan yang tengah terbelalak lebar.
Tapi sepertinya ancaman Hera tak membuat nyali pemuda itu surut, ia justru mendorong tubuh Hera hingga raga gadis gemulai tersebut terhempas menabrak tembok. Pemuda itu lari secepat kilat, deru pantofel yang ia kenakan terdengar seakan menggema diantara lantai marmer. Keringat membasahi tubuhnya, meski pendingin udara telah dipasang bahkan dengan suhu terdingin sekalipun tak akan mempan mengatasi rasa paniknya.
Hera yang dibantu oleh Cen dan beberapa karyawan kini telah bangkit dari posisi semula. Ia memandangi pemuda itu nyalang, namun seringai tercetak diwajahnya.
"You got me."
...•••...
"Ta--Da!"
Ashel menjerit bahagia, ia tersenyum bangga kala rambut berantakan yang terkesan kumel kepunyaan Renata telah ia ubah menjadi jauh lebih mendingan.
Renata mengerjap, memandang lurus rambutnya yang kini tak lagi acak-acakan. Rambut yang semula tergerai kini dikucir kuda, Ashel tadi mencuci rambut Renata di wastafel rumah sakit dengan shampo dan kondisioner, membuat surai kusut tersebut berubah menjadi lembut nan menawan.
"Waaah, baru first time aja udah sebagus ini," Ashel berujar bangga.
"Kayaknya gue harus jadiin lo brand ambassador deh, Ren." Tambahnya mengundang rona kemerahan di pesisir pipi Renata.
"E-engga kok,"
"HARUSS!!" Pekik Ashel, ia mengacungkan jempolnya, sebelah matanya berkedip menggoda Renata yang tertunduk malu.
Lonceng di kepala Ashel berdering, ia lantas meraih ponsel pribadinya. "Maleo harus tau soal ini." Gumamnya yang mampu Renata dengar.
Pintu dibuka, atensi teralih pada sosok Maleo yang hanya berdiri mematung di ambang pintu.
"Renata?" Kata Maleo spontan.
Ashel mengulum senyumnya tinggi-tinggi, sementara Renata semakin menunduk membenamkan wajahnya di antara helaian legam surai lembutnya. Maleo masih termangu, ia awalnya hanya ingin memanggil Ashel untuk membicarakan beberapa hal, tapi sepertinya ia harus menunda urusan ini.
"Cantik ga Leo?" Ashel menengahi keheningan.
"Cantik.''
Dan pujian itu praktis membuat jantung Renata berdegup begitu kencang. Lain Renata, lain pula Ashel, gadis keturunan Jawa-Tionghoa itu kegirangan sendiri menggumamkan beberapa kalimat yang mungkin hanya dapat ia dengar seorang diri.
"Yes, ship gue berlayar!"
Aku ingin bingar...
Aku mau di pasar...
Pecahkan saja gelasnya biar ramai!
Biar mengaduh sampai gaduh...
Kulari ke hutan kemudian teriakku....
Bosan...aku dengan penat...
dan enyah saja kau pekat!
Seperti berjelaga jika ku sendiri...