NovelToon NovelToon
Adara'S Daily

Adara'S Daily

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Dosen / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Alunara Jingga

Tentang keseharian seorang gadis biasa dan teman-temannya. Tentang luka.
Tentang penantian panjang, asa dan rahasia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alunara Jingga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ayo Pulang!

"Maaf ya, saya tinggal lama, ayo Aa nya Rena, diminum dulu," sapaku pada laki-laki yang tengah menatap kumpulan krisan yang ku tanam di samping gazebo, ia berbalik.

"Terima kasih, Teh, Eh?!"

"Lho, kok?!"

"Kamu disini? Jadi dosen Rena itu kamu?"

"A Deka kenal Teh Eka? Ini loh dosennya Rena." Rena mendekat.

"Pantas ga ngenalin, Rena bilang nama dosennya Bu Eka, kalo tau gini ga mungkin dia nolak buat nganter jemput kamu," ujar Mas Deka pada Rena.

"Mas Eka kok disini?" tanyaku heran, setahuku dia tinggal di Provinsi sebelah.

"Saya lho tadi yang nanya duluan. Kamu kok nyasar kemari? Adek saya nyariin sampe Malang."

"Saya udah lumayan lama disini, gimana ya ceritanya, intinya saya disini hampir setengah tahun. Ngajar juga karena jadi dosen pengganti."

"Telpon Aa mu, suruh kemari!" titah Mas Deka pada Rena, mataku membola.

"Hah? Dia juga disini?"

"Iya, jangan kabur-kaburan kenapa sih, Ya? Ga kasian kamu sama Dwi? Kalian sudah sama-sama dewasa. Saya ga tau masalah kalian apa, kamu yang tiba-tiba disini, Dwi yang tiba-tiba seperti orang lain. Selesaikan dulu masalah kalian, bukan Mas mau ikut campur, tapi ini juga demi kalian." Mas Deka menasehati. Aku tertunduk, lalu mengangguk.

"Kalian selesaikan berdua, Mas yang bawa Rena pulang."

Mas Deka dan Rena pergi, menyisakan aku yang termenung menatap langit sore, sampai akhirnya Piga dan Reyhan datang. Aku tak menanggapi celotehan Rey, terlalu sibuk bermonolog dengan hati.

"Tik, ini bagong tumben kalem. Ada apa?" tanya Rey pada Tika.

"Ga tahu, cuma tadi pas kakaknya Rena dateng buat jemput, si Teteh udah kaya gitu."

"Bukannya Rena mau nyomblangin sama kakaknya?" tanya Piga.

"Kayanya dia ditolak gaes, orangnya takut gegara Ara galak." Reyhan!

"Nggak ya! Bukan sama yang tadi," sahutku lemah. "Yang tadi mah bapak anak dua."

"Ga papa duda, yang penting cuan," celetuk Rey gamblang.

"Sembarangan! Mbak Lian masih sehat ya!" Aku menjitak Rey.

"Aku ga tahu siapa yang kamu maksud. Tapi ini galaknya udah balik euy."

"Mending kamu anter Tika ke gramed, Tik, kalo temen kamu ga dateng juga mending ajakin dia nih, biar ada gunanya sedikit!"

Tampak keduanya salah tingkah, sama-sama mau masih aja gengsi. "Heleh, kalo sama-sama suka tuh ya ngomong, jangan di pendem, sakit sendiri ntar. Mamam tuh gengsi!"

"Ada yang ngomongin diri sendiri gaes," sindir Rey, aku menghadiahinya dengan pelototan.

"Makanya kalo si Ara ngomongnya lagi bener, itu berarti dia belajar dari pengalaman, ga usah ragu kalian tuh ikutin kata dia. Kasian, udah mah ditinggal pas lagi sayang-sayangnya, belum move on pula," ujarnya, sungguh menyebalkan makhluk Tuhan yang satu ini.

Aku tak berniat membalasnya, namun pandanganku menoleh ke arah gerbang. Ia disana, berdiri dengan wajah yang terlihat lelah dan sedikit lebih tirus dari ingatan terakhirku. Aku mematung, ada setitik rasa di dalam sana. Bukan, bukan hanya setitik, ternyata lebih besar dari sekedar titik. Perlahan, ia melangkah menghampiriku. Tepukan Rey menyadarkanku.

"Masyaa Allah, indah bener ini ciptaan Allah," gumam Piga, andai hati tak sekalut ini, mungkin aku sudah tertawa.

"Siapa? Kamu kenal?" tanya Rey. Mereka memang tahu kisahku dan dia, namun yang mereka tak tahu adalah bagaimana wujud nyata seorang Firdaus Dwi Rahadian.

"Ck, pake diskusi, suruh masuk dulu kek," sela Tika. "Mari A, masuk. Nyari Teh Ara ya?"

Mas Dwi berdiri di hadapanku.

"Assalamualaikum, Mentari," sapanya. Aku gagu, tenggorokanku terasa kering. "Semoga kali ini, kamu menetap, tak hanya sekedar harap. Bisakah?"

"Waalaikumussalam warahmatullah," ucapku dengan mata berkaca.

Beberapa minggu yang lalu, Wulan disela waktu istirahatnya menelpon. Kami memang intens berhubungan sejak aku mengabari nomor baruku padanya.

"Ra, kamu ga pernah nanya kabar yang lain, kamu ga penasaran?" tanyanya.

"Aku harap, mereka baik-baik aja, Lan."

"Bang Ojik mau ngomong, boleh?"

"Boleh, boleh banget."

"Halo, Ra. Aman damai sentosa?"

Aku tergelak. "Aman, Jik. Semua aman."

"Hati gimana? Aman juga?"

"Amaaannn... Santai."

"Tapi, Ra, ada sepotong hati yang ga aman," ucapnya.

"Ha? Gimana?"

"Bukan aku, kamu tenang aja sih, aku dah move on sedari lama, ternyata lebih asik temenan sama kamu, kamu galaknya udah kaya medusa."

"Syalan, gausah kamu perjelas juga! Emang hati siapa yang ga aman?"

"Firdaus, Ra."

Jeda, aku tak tahu harus berkata apa. Jujur saja, rasa itu masih ada, semakin ingin ku hilangkan, semakin kuat ia tertanam.

"Mas Uwik kenapa, Jik? Baik-baik aja kan?"

"Ngga baik, Ra. Dia ga pernah baik sejak kamu pergi."

"Kemarin aku lihat dia baik-baik aja, bahkan jalan bareng si Wena Wena itu. Artinya dia emang udah lupain aku kan?!"

"Kamu salah, Ra. Firdaus udah ga peduli lagi, dia udah males buat sekedar ngomong 'pergi' ke Wena. Jadi dia ngebiarin tu cewek aneh nempel. Ara, dia pernah cerita tentang hari itu. Hari terakhir kalian ketemu. Dia balik lagi ke rumah kamu, setelah sebelumnya lepas kontrol. Dia nunggu sampe pagi, tapi kamu ga balik juga. Ponsel kamu juga ada sama dia. Dwi ga tau mau nyari kamu kemana lagi."

"Sampe besoknya, Ian ngabarin kalo liat kamu di rumah sakit. Dia yang panik nyari kamu ke rumah sakit, disana dia ketemu Ian yang ngabarin kalo keponakan kamu meninggal, dan kamu yang nemuin buat pertama kali. Kita semua tahu kalo kamu trauma sama rumah sakit dan kematian orang terdekat.

Kami sudah berusaha nyari dimana kamu, Ra. Bahkan, Mas Azis sendiri ga tau kamu ada dimana. Dia ngerasa bersalah banget, Ra. Dia yang bikin hati kamu sakit, dia yang minta kamu buat nerima perasaan dia, dia juga yang bikin kamu patah. Andai, Ra, andai masih ada kesempatan buat dia, bilang sama dia."

"Hubungi dia, Firdaus yang sekarang, bukan lagi Firdaus yang dulu. Dia yang sekarang ga peduli lagi sama sekitarnya. Terakhir ketemu kamu pas di acaranya Byan. Kamu turun panggung, dia langsung nyariin, tapi kamu kaya hilang, masuk ke inti bumi. Sejak saat itu, Firdaus bahkan ga pernah jawab telpon dari kami. Hari ini di rumah, ntar sore pulang dari kampus, dia udah di kota sebelah, cuma buat nyari dimana kamu. Bukan, bukan aku nyalahin kamu, tapi aku mohon, Ra, pulanglah!"

"Dia masih rumah kamu, Ra. Kamu lupa berapa lama waktu yang dia lewati buat nunggu? Karena cuma kamu yang dia mau," tutur Ojik, aku menghela nafas panjang.

"Tapi dia sendiri yang nyerah, Jik. Andai dia ga bilang lelah dan nyerah, mungkin aku masih bisa ngadepin semuanya. Kepergian Rindu yang tiba-tiba, rasa bersalahku ke Wulan, rasa bersalah ku karna udah jahat ke dia. Aku tahu, kematian itu memang hal pasti, dijadiin sebagai pengingat, tapi aku bener-bener ga sanggup disana sendirian. Aku maklum kalo dia lelah, Jik. Aku tahu semua yang dia lakuin buat bikin aku bahagia, belasan tahun dia ngelakuin itu, pasti ada titik dimana dia lelah dan ngerasa kecewa karena pengorbanan dia sia-sia. Itu makanya aku pergi, aku malu, aku cuma bisa bikin dia marah dan kecewa," jelasku.

"Sepertinya kalian butuh waktu berdua buat ngobrol. Kalian cuma salah paham. Pulang, Ra! Aku mohon. Aku sama yang lain janji ga bakal gangguin kalian, biar kamu ga emosi. Aku tahu, terkadang sikap kami terlalu kekanakan dan terkadang keterlaluan, tapi aku mohon, kasi kesempatan buat Firdaus."

"Dih, apa iya tiap ketemu kalian aku emosi terus? Nggak ah, perasaan kamu doang, kali."

"Yeeee ga nyadar kamu? Tiap ngumpul apalagi awal bulan pasti kamu udah kaya kesurupan reog." Terdengar tawa Wulan di seberang sana.

"Wedhus! Reog katanya. Ntar aku pertimbangin lagi ya. Aku disini juga ada kerjaan yang belum selesai. Besok kalo udah kelar, aku usahain."

"Harus, lagian ini mau sampe kapan kamu biarin istriku kerja sendiri?! Aku jual juga ni butik! Mumpung Ryan masih jadi notaris, sertifikat kan disini, tinggal telpon Ryan suruh balik nama tanpa tanda tangan kamu!"

"Ya jangan, sapi! Iyaa, ntar gimana aja deh. Kali-kali aku di suruh perpanjangan kontrak."

"Jangan! Pokoknya jangan! Ku tampol juga kamu punya kepala! Andai aku tahu dimana kamu sekarang, udah ku seret."

Kembali pada hari ini, di waktu ini. Dia dengan mata teduhnya, tersenyum kaku. Sudah berapa lama aku tak melihat senyumnya?

'Hallo schazt. Ich vermisse'* ucapku dalam hati.

...___...

Saat ini, aku dan Mas Dwi berada di taman depan kompleks lepas menunaikan kewajiban, terdiam cukup lama, akhirnya aku buka suara.

"Apa kabar, Mas?"

"Seperti yang kamu lihat, Ay. Menurut kamu?" Dia melempar pertanyaanku.

Aku medesah, "Hhh, sebenarnya kita ini kenapa sih, Mas? Aya bingung. Apa kita emang ga bisa bahagia?"

"Jangan ngaco! Bahagia itu kita yang ciptain. Kalo kamunya terus kaya gini, kapan bakal bahagia? Atau mungkin kamu ga bahagia kalo ada saya? Kalo emang iya, kasi kesempatan terakhir buat saya. Dan jika kamu ga juga ngerasa bahagia, saya akan lepasin kamu, walau untuk ikhlas mungkin saya ga sanggup."

"Bukan gitu, Mas. Aya bingung mau bilang apa." Aku memandang langit cerah malam ini. "Mas Uwik tahu? Aya ngga pernah ga bahagia tiap sama Mas. Aya sadar cuma jadi beban buat Mas, sama temen-temen yang lain, gitu juga sama Ibu, Mas Azis, Mba Neni. Selama ini Aya bergantung sama kalian semua, terutama Mas. Dan malam itu, dengar kalo Mas Uwik nyerah buat ngadepin keras kepalanya Aya, Aya sadar, udah saatnya pergi. Buat apa bertahan kalo emang terasa sakit? Aya takut, Mas, takut banget kalo semuanya kembali terulang. Aya dibuang Ayah, Mas Uwik pun udah ga peduli, dan Rindu ...."

Jeda.

"Rindu pergi juga ninggalin Aya. Padahal dia satu-satunya yang paham banget gimana karakter Aya. Rasanya, buat apa lagi Aya disana, mending pergi aja kan?" Aku menoleh, menyelami mata hazel miliknya. Ku lihat ada embun yang siap tumpah.

"Maaf, Ay. Maafin Mas yang bikin kamu ngerasain sakit lagi. Mas ga pernah maksud buat ngomong seperti itu, Mas ngerasa kalo kamu ga pernah bahagia tiap sama Mas. Kamu emang ga pernah egois ke orang lain, tapi kenapa Mas ngerasa kalo Mas ini bukan prioritas? Mas cuma kecewa itu, Ay."

"Aya tahu, Mas. Makanya Aya milih buat pergi, ga mau bikin Mas sedih lagi. Maafin Aya kalo selama ini bikin mas sedih. Tapi kalo boleh jujur, jauh di dalam hati Aya, Aya ga bisa jauh, Mas. Entah perasaan apa yang Aya rasain, sebenarnya Aya udah siapin diri, jika suatu saat bakal kejadian istri-istri kalian keberatan dengan keberadaan Aya, Aya dengan senang hati bakal mundur, tapi ngebayangin bakal jauh dari Mas Dwi? Ay--"

Ia menyela, "kamu ga bakal kemana-mana, dek. Sudah berkali-kali Mas bilang kalo rumah kamu ga pernah berubah. Masih disini, karena kuncinya kamu yang bawa. Bagaimana bisa orang lain yang ga punya kunci bisa masuk gitu aja? Kurangin overthinking, baiknya kamu buang pikiran negatif yang ada di otak kamu yang kecil itu!" Tunjuknya pada kepalaku. "Heran, otaknya ga sampe sebesar kelapa, masalah orang satu bumi bisa masuk di kepala."

Aku tertawa, tawa pertamaku saat bertemu kembali dengannya.

"Ugh, sekarang udah banyak berubah ya, Ay. Jadi tambah cantik, anggun pula, tinggal kurangin bar-bar-nya aja. Oh iya, cowok tadi siapa? Kok kayanya akrab banget? Sampe mau disambit sandal?"

"Ahaha, temen berantem, Mas. Demen banget bikin darting. Pengganti Ojik sama Amri, bahkan kalo iseng mereka berdua digabung, ga bisa nyaingin iseng Rey. Dia Reyhan, korban Ojik dulu."

"Hah? Itu Reyhan yang dulu pendek, gendut, cengeng itu? Kok beda sekarang? Demen kali sama kamu, makanya suka bikin darting."

"Pantes menghina sepenuh hati, ada yang cemburu ternyata. Hahaha ... Nggak kok, Rey sudah ada maungnya."

"Iya, saya cemburu, ga suka ada yang bikin kamu berpaling. Makanya sekarang Mas mau nanya, kamu mau pulang, lagi? Cuma untuk kali ini, Mas mau kamu menetap. Kita tata rumah kita bareng-bareng, Mas rasa sekarang waktu yang tepat buat mempertemukan pemilik rumah dengan kuncinya. Bolehkah?"

Tunggu, ini maksudnya apa? Aku dilamar? Apa aku salah sangka?

"Bentar, otakku rada nge-lag. Kelamaan hidup di kaki gunung ciremai."

"Ya Allah, Aya... Emang musti to the point sih kalo ngomong serius sama kamu tuh. Willst du mich heiraten?"**

"Hah? Kita? Aku ga mimpi kan ini? Saking kangennya sampe ngehalu dilamar di taman kompleks?"

"Nggak! Jadi gimana?"

"Apanya?"

"Lass uns unsere reise beginnen!"***

Aku masih terdiam mencerna kalimat yang terucap darinya. Lalu tertawa, "Klar, fangen wir an," ucapku.

"Oke fix, besok lusa Mas langsung ke rumah Ibu. Eh, rumah Ibu apa Ayah?"

"Cepet benerr?! Ibu, belom tentu juga Ayah mau datang, jadi ntar aja dikasi tau pas hari acara."

"Mumpung mau, takutnya ntar kalo kelamaan kamu berubah pikiran lagi. Ga boleh gitu, gimana pun, Ayah tetap Ayahnya kamu. Untuk kali terakhir sebelum Mas yang ambil alih tanggung jawabnya buat bahagiain dan sayangin kamu. Kita bikin cerita sama-sama."

"Yaudah, ntar biar ntar Ibu yang ngomong ke Ayah."

Aku tersenyum, dan kembali menatap langit. 'Halo langit, sepertinya aku takkan bermonolog sendiri lagi. Kini bintangku sudah bersamaku. Ayo Ara, Ayo pulang'

...__...

Translate (German)

*Hallo schazt. Ich vermisse

(Hai sayang, aku rindu)

**Willst du mich heiraten?

(Kamu mau menikah denganku?)

***Lass uns unsere reise beginnen!

(Ayo mulai cerita kita)

****Klar, fangen wir an

(Tentu, ayo mulai)

1
Anjan
gitu dong, ngaku!
Anjan
Slice of life nya dapat banget, humornya juga dapet. Semangat, Kakak author!
Anjan
enteng kali si jule
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!