Masih kelanjutan dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN.
Petualangan Aji kali ini lebih kelam. Tidak ada Pretty, dkk. Hanya dirinya, Sari (adiknya), bidadari nyentrik bernama Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, dan beberapa teman barunya seperti Bonar dan Batubara.
Petualangan yang lebih kelam. Agak-agak horor. Penuh unsur thriller. Sungguh tak bisa ditebak.
Bagaimanakah dengan nasib Pretty, dkk? Oh, tenang, mereka masih memiliki porsi di serial ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terhubung di Alam Mimpi
Aji akhirnya berdiri di ujung dermaga Temasek ketika rombongan-rombongan kecil dari kapal lain mulai merapat. Deru ombak memecah tiang-tiang kayu, bendera Majapahit berkibar perlahan, merah-putih-kuningnya tampak kusam oleh garam laut. Di kejauhan, barisan prajurit bersenjata tombak dan perisai membentuk lorong hidup. Di sanalah Aji melihat sosok yang selama ini hanya ia dengar dari cerita para pelaut dan bisik-bisik para brahmana. Orang itu adalah Gajah Mada.
Maha Patih itu berdiri tegak, tubuhnya kekar, bahunya lebar, sorot matanya tajam seperti mata elang yang menilai mangsa. Ia mengenakan baju perang sederhana, tanpa hiasan berlebihan, namun auranya membuat siapa pun yang memandangnya menahan napas. Di kanan kirinya, beberapa bawahannya. Mereka adalah para senapati dan patih muda. Mereka pun berdiri setengah langkah di belakang, raut wajah mereka tegang namun penuh hormat.
Aji merasakan sesuatu bergetar di dadanya. Bukan takut. Lebih seperti tarikan halus, seakan-akan takdir menarik benang yang sejak lama terulur.
“Rombongan dari kapal selatan?” suara Gajah Mada terdengar berat, namun tenang.
“Benar, Maha Patih,” jawab seorang perwira sambil menunduk. “Ini Aji. Ia dibawa oleh Slamet, kru lama yang pernah ikut pelayaran ke timur.”
Gajah Mada mengalihkan pandangan. Tatapan mereka bertemu. Sesaat, waktu seolah berhenti.
Aji merasakan panas di pelipisnya. Ia teringat air terjun, semedi, suara Jaka Kerub, dan wajah Sari yang hadir dalam bayangan. Ia menunduk, memberi hormat sekenanya seperti yang diajarkan para prajurit di kapal.
“Kau tampaknya bukan prajurit,” ujar Gajah Mada pelan. “Langkah kakimu tidak seperti orang yang biasa berbaris.”
Aji mengangkat kepala. “Hamba memang bukan prajurit, Maha Patih. Hamba pemburu… dan nelayan.”
Beberapa senapati saling berpandangan. Ada yang tersenyum tipis, ada pula yang mengernyitkan dahi. Slamet yang berdiri agak ke belakang menahan tawa, lalu segera menegakkan badan ketika menyadari situasi.
“Namun tanganmu,” lanjut Gajah Mada, menatap telapak tangan Aji yang penuh bekas kapalan. “Bukan tangan orang yang hidupnya mudah.”
Aji tak menjawab. Ia hanya menautkan kedua tangan di depan dada.
Gajah Mada melangkah satu langkah mendekat. Aura di sekelilingnya semakin terasa menekan. “Namamu Aji. Dari mana asalmu?”
“Dari Yawadwipa, Maha Patih. Dari dusun kecil dekat tanah kerajaan.”
“Dan bagaimana caramu bisa sampai ke Temasek bersama armada ini?”
Aji terdiam sejenak. Ia tahu, sebagian kebenaran tak bisa ia ucapkan. Tentang lubang hitam, tentang loncatan waktu, tentang guru tua di Samosir. Ia memilih jalan yang aman. “Hamba ikut pelayaran. Nasib membawa hamba ke kapal itu.”
Gajah Mada menatapnya lama. Seolah menimbang, seolah membaca sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain. Salah seorang senapati, yang bertubuh tinggi dengan bekas luka di pipi, mendekat dan berbisik, “Maha Patih, waktu kita terbatas. Rombongan utama tengah menunggu perintah.”
Gajah Mada mengangguk tipis, lalu kembali menatap Aji. “Aku mendengar laporan tentangmu. Kau cepat belajar. Tahan lapar. Tahan sakit. Dan tidak banyak bicara.”
Aji terkejut. Ia melirik Slamet. Lelaki itu mengangkat bahu kecil, seakan berkata: aku hanya menyampaikan apa yang kulihat.
“Kami datang ke Temasek bukan sekadar untuk menunjukkan bendera,” lanjut Gajah Mada. “Ada perhitungan, ada diplomasi, ada ancaman yang dibungkus senyum. Orang-orang seperti kau… kadang lebih berguna daripada prajurit yang terlalu patuh.”
Beberapa bawahannya tampak tak nyaman. Namun tak ada yang menyela.
“Apa maksud Maha Patih?” tanya Aji, suaranya dijaga tetap rendah.
Gajah Mada tersenyum tipis. Itu sebuah senyum yang lebih mirip garis tipis di wajah.
“Aku ingin melihat bagaimana kau bergerak di antara orang-orang. Tanpa baju besi pangkat. Tanpa terompet. Kau akan ikut rombongan kecilku malam ini.”
Slamet terbelalak. “Malam ini, Maha Patih?”
“Ya,” jawab Gajah Mada singkat. “Temasek tidak pernah benar-benar tidur, kau pasti sudah mengetahuinya.”
Aji merasakan dingin merayap di punggungnya. Ia teringat Sari. Teringat Jaka Kerub yang mengatakan bahwa setiap loncatan waktu selalu membawa pelajaran atau harga. Mungkin inilah salah satu simpul yang harus ia lewati.
“Ada satu hal lagi,” kata Gajah Mada, nadanya berubah lebih pelan. “Aku tidak tahu apa yang kau sembunyikan, Aji. Namun aku tahu kau membawa sesuatu yang tidak semua orang miliki.”
Aji menahan napas.
“Bukan kesaktian,” lanjut Gajah Mada, seolah membaca pikirannya. “melainkan keberanian untuk tetap berdiri ketika dunia bergeser di bawah kakimu.”
Kata-kata itu menghantam Aji lebih keras daripada teriakan komandan di kapal. Ia menunduk lebih dalam. “Hamba akan mengikuti perintah, Maha Patih.”
Gajah Mada berbalik, memberi isyarat pada bawahannya. “Siapkan dia. Tanpa lambang. Tanpa tanda.”
Para senapati bergerak cepat. Salah seorang mendekat ke Aji, menyerahkan kain gelap dan pisau pendek. “Untuk berjaga,” katanya singkat.
Saat rombongan mulai berjalan meninggalkan dermaga, Aji menoleh sekali lagi ke arah laut. Ombak Temasek memantulkan cahaya senja yang tersisa. Di dalam dadanya, rasa rindu dan tekad berkelindan.
Aji sepertinya tahu bahwa tatapannya dengan Gajah Mada bukan kebetulan. Itu mungkin awal dari pertemuan dua arus. Antara arus kekuasaan dan arus takdir.
*****
Sementara itu, setelah berhari-hari perjalanan, Jaka Kerub kembali ke rumah persembunyiannya yang ada di Pulau Samosir. Di rumahnya yang sepi, ia memikirkan Aji. Tak biasanya ia memikirkan seseorang yang bahkan tak ada hubungan darah dengan dirinya. Saking memikirkan Aji tujuh hari dan tujuh malam, ia sampai terbawa mimpi.
Baru saja ia bermimpi. Di sana ia menjadi seseorang bernama Wiryo. Berada di kapal yang sama dengan Aji. Dalam perjalanan menuju Temasek. Mimpi terasa nyata sekali. Sampai-sampai ia bisa merasakan deburan ombak dan suara kapten kapal sedang memberikan perintah.
Mimpi itu tak berhenti pada debur ombak semata. Dalam mimpinya, Jaka Kerub—atau Wiryo, sebagaimana nama yang terucap di dada—berdiri di sisi buritan kapal. Angin laut menampar wajahnya, asin dan dingin, begitu nyata hingga ia refleks menyipitkan mata. Tali-temali berderit, layar terkembang penuh, dan suara kayu tua beradu dengan air laut seperti napas makhluk hidup yang kelelahan.
“Wiryo!” seseorang memanggil.
Ia menoleh. Di hadapannya berdiri Aji.
Bukan Aji yang terakhir ia lihat di Samosir, yang rambutnya kusut, lalu matanya menyimpan kebingungan seorang pengelana waktu, melainkan Aji yang lebih tegap. Bahunya bidang, sorot matanya tenang, dan caranya berdiri mengingatkan Wiryo pada prajurit-prajurit yang pernah ia lihat ratusan tahun lalu. Aji mengenakan ikat kepala sederhana dan kain perang Majapahit, lembing tersampir di punggung.
“Kau juga di sini?” tanya Aji, suaranya terdengar wajar, seolah pertemuan lintas mimpi dan waktu ini bukan sesuatu yang aneh.
Wiryo—alias Jaka Kerub—ingin menjawab, tetapi suaranya tertahan. Dadanya terasa sesak. Ia sadar sepenuhnya bahwa ini mimpi, namun tubuh dan pikirannya tak bisa membedakan mana nyata dan mana bayang.
“Aji,” akhirnya ia berkata pelan. “Dengarkan aku baik-baik.”
Aji mengernyit. “Ada apa?"
“Kau sedang berjalan terlalu jauh dari porosmu,” ujar Wiryo. Kata-kata itu mengalir begitu saja, seolah bukan ia yang memilihnya. “Lubang-lubang waktu itu bukan sekadar alat. Mereka sedang menguji sesuatu. Dan tidak semua yang kau temui di zaman ini adalah kawan.”
Aji terdiam. Suara ombak seketika terdengar lebih keras, seolah dunia di sekitar mereka ikut menahan napas.
“Sari?” tanya Aji lirih. “Apakah kau tahu sesuatu tentang adikku?”
Wiryo menutup mata. Dalam mimpinya itu, bayangan wajah Sari melintas cepat. Sari terlihat sedang menangis, lalu berjalan menjauh di bawah cahaya bulan. Ada tangan-tangan yang mencoba menariknya, dan ada pula tangan lain yang melepaskannya menuju jalan yang belum selesai.
“Ada jalan pulang,” kata Wiryo akhirnya. “Tapi jalannya tidak lurus. Kau harus kuat, Aji. Bukan hanya kuat tubuh, tapi kuat untuk tidak membenci.”
Aji tersenyum tipis. Senyum yang sama yang dulu membuat Jaka Kerub yakin bahwa pemuda ini berbeda dari kebanyakan manusia.
“Aku akan ingat itu,” kata Aji tersenyum.
Tiba-tiba suara terompet kapal menggema panjang. Kabut putih menyelimuti geladak. Sosok Aji perlahan memudar, seperti lukisan yang terkena hujan.
“Wiryo!” suara kapten kapal terdengar jauh. “Bersiap! Kita hampir tiba!”
Jaka Kerub terbangun dengan napas tersengal. Ia duduk bersila di rumah persembunyiannya yang sunyi. Api pelita masih menyala kecil, seolah tak pernah padam semalaman. Di luar, angin Danau Toba berdesir pelan.
“Jadi begitu,” gumam Jaka Kerub.
Ia menatap ke arah danau yang gelap. Untuk kali pertama dalam ratusan tahun pengembaraan waktu, Jaka Kerub merasa yakin. Bahwasanya takdir Aji dan takdirnya telah terjalin lebih dalam dari yang ia kira.