Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 23.
Arjo menangkis dengan tongkat kayu jati kuning nya...
BLAARRR!
Benturan itu membuat lantai joglo terangkat satu senti. Debu beterbangan seperti kabut abu. Tubuh Arjo terdorong mundur dua langkah, lutut nya sedikit menekuk.
Warga terbelalak.
Belum pernah mereka melihat Arjo.. yang terkenal paling kuat di antara murid Mbah Jati.. sampai harus mundur.
Bayangan mendesis puas.
“Kowe wis ringkih, Arjooo…”
(Kamu sudah rapuh , Arjo...)
Arjo mengatur napas. Tangan kiri nya bergetar... Bukan karena takut.
Tapi karena kekuatan lawan yang jauh lebih besar dari yang dia perkirakan.
Bayangan itu bagai merentangkan kedua lengan nya. Dari tubuh hitam itu menyembur serabut serabut gelap seperti akar beringin yang hidup.
Serabut itu memanjang... terus memanjang .. semakin memanjang.. melilit tiang tiang joglo...
CRRAAAKKKK
DDUUUUUKKKK
PYAAAARRRRRR
Lampu lampu gantung berjatuhan...
Makhluk itu bahkan mulai merayap ke lantai seolah mencari nyawa untuk diterkam dan akan dipatahkan...
Arjo kini mengibaskan tongkat jati kuningnya.. memotong beberapa akar bayangan makluk itu..
Namun...
Akar akar itu tumbuh kembali... lebih cepat, lebih banyak... lebih lincah... lebih gesit....
Tiba Tiba....
SEETTTT
Satu lilitan berhasil menjerat pergelangan tangan Arjo.
SET.. SET...
Diikuti dua lilitan.. kemudian tiga lilitan...
PRAAANNNNKKKGGG
Tongkat jati kayu kuning Arjo terlepas dari genggaman tangannya..
Dalam beberapa detik, seluruh lengan nya terikat. Urat hitam itu merayap sampai ke bahunya.
Arjo mengerang...
Tubuhnya ditarik ke atas seperti hewan buruan.
Bayangan tertawa menggelegar...
“Ha.... ha.... ha.... ha... ha...”
“Wis wayahe… kowe dadi pangananku bareng karo Dasiihh…”
(Sudah waktunya... kamu jadi makanan ku bersama Dasiiihhh...)
Urat gelap itu menembus kulit Arjo sedikit demi sedikit, seperti akar menembus tanah basah.
Arjo menggertakkan gigi. Suara nya memekakkan dunia.
Arjo menutup mata.
“Aku ora iso menang yen mung nganggo tenaga,” gumamnya.
(Aku tidak bisa menang kalau hanya memakai
Ia mengatur napas, lalu mengucapkan mantra yang jarang sekali dia gunakan.. mantra yang dulu diberi peringatan oleh Mbah Jati:
“Nek nyerang kudu eling. Sing eling kudu nyawiji.”
(Kalau menyerang harus ‘ingat’. Kalau ingat harus ‘menyatu’)
Tubuh Arjo tiba-tiba diam... Seperti hilang tenaga..... Seperti menyerah.
Warga menjerit.
“Arjo!! OJO PASRAH!!”
Namun justru di saat itulah, cahaya dari tongkat jati kuning menyala dari dalam ..
Lalu ada Cahaya seperti matahari kecil keluar dari dada Arjo, menembus kulitnya.
Akar bayangan menjerit kesakitan. Beberapa putus, tapi sebagian tetap mencengkeram kuat.
Cahaya itu menyebar… namun tidak sampai membakar bayangan sepenuhnya.
“Aku ngerti caramu nglawan aku… Arjooo…”
(Aku tahu cara kamu melawan aku.. Arjoooo...)
Bayangan tertawa, tapi kini ada nada panik.
“Ha ha.. ha..”
“Ananging kowe ora cukup kuwat!! Cahyo iki kurang… kurang… kurang!!”
(Tapi kamu tidak cukup kuat!! Cahaya ini kurang... kurang.. kurang!!”
Arjo membuka mata. Mata nya kini dilapisi semburat emas, tapi wajah nya terlihat pucat, napas nya tercekat. Ia perlahan membuka bibirnya yang berwarna biru pucat.. mulai Bersuara lirih dan terputus..
“Cahaya ini … cahaya dari .. Gusti Allah dan ... cahaya jiwa saudara.. Aku menyatukan.. dan menjadikan Nyi Kodasih saudaraku.. “
Meskipun lirih dan terputus putus kalimat yang terucap dari bibir Arjo, tapi nada suara itu terdengar tegas dan mantap ..
Urat hitam menegang kuat seolah ingin mematahkan tubuh Arjo di tengah.
“Kurang ajar!” teriak makluk dalam bentuk bayangan hitam..
SWWWWEEEEERRRRT
Dalam sekejap bayangan itu mengubah bentuk nya. Dari wajud kain hitam yang besar lebar... menjadi bilah panjang seperti keris gelap raksasa...
DAN....
Arjo belum sempat menghindar.
CRAAAKK!
Bilah itu menusuk bahunya.
Darah Arjo memercik.
Tetesannya jatuh ke lantai dan langsung menguap seperti terkena api.
Warga menjerit histeris.
“Astagfirullahaladzim...”
“Astagaa… ARJO!!”
Namun Arjo tidak mundur.
SREETTT
Ia justru menggenggam bilah bayangan itu dengan tangan kosong .. darah mengalir membasahi jari jari tangan nya.
“Aku… ora bakal mundur… selagi Nyi Kodasih isih keno petengmu…”
(Aku .. tidak akan mundur.. selagi Nyi Kodasih masih terkena gelap mu)
Dengan sisa tenaga, Arjo menarik bilah itu ke arah nya, membuat bayangan tersentak maju.
Tongkat kayu jati menyala lebih terang.
Arjo meraih tongkat kayu jati itu, mengangkat nya dengan tangan yang gemetar parah.
“Kowe nyiksa Nyi Kodasih … ngisep ketakutane… ngowahi dheweke dadi wadag petengmu…”
(Kamu menyiksa Nyi Kodasih, menghisap ketakutan nya.. merubah ia menjadi wujud gelap mu)
Arjo menarik napas panjang.
“Sak iki… aku sing rampungke.”
(Sekarang ini .. aku yang meyelesaikan (
Tangan Arjo mengayunkan tongkat kayu jati kuning..
Bukan cepat.
Justru lambat… sangat lambat ... namun setiap gerakan nya menimbulkan kilau cahaya yang memotong udara.
Bayangan mencoba menghindar...
Tapi tongkat itu tidak mengejar tubuhnya.
Tongkat itu mengejar asal kegelapannya:
bayangan di lantai.
DUUUUUUMMMMMM!!!!
Tongkat menghantam lantai.
Cahaya emas memancar dari lantai joglo itu , merambat mengikuti garis bayangan, lalu naik ke tubuhnya.
Bayangan menjerit ... jeritan paling menyayat malam itu:
“ARRRRRJJOOOOOOOO—!!”
Tubuh bayangan retak retak.
Seperti kaca hitam yang dihantam palu.
Retak itu membesar, meluruh, berubah menjadi kepingan asap.
Bayangan tidak mati langsung.
Ia melesat mencoba kabur, menembus tiang, menembus dinding, menembus udara.
Arjo mengejarnya dengan langkah limbung.
“ORAA… ONO AMPUN!!”
“Tidak ada ampun.”
Bayangan berteriak.
“Tulung… kowe ora ngerti… aku… bagéané Dasiih… aku… dudu mungsuhmu…”
(Tolong... kamu tidak mengerti.. aku.. bagian dari Dasih.. bukan musuh mu)
Arjo berhenti... Tapi cahaya tongkat tak mau padam.
Ia berkata pelan, hampir seperti bisikan:
“Aku ngerti. Nanging kowe dudu bagian sing kudu tetep ana.”
(Aku tahu.. Tapi kamu bukan baguan yang harus tetap ada)
Tongkat menghantam udara.
Bayangan melesat menerjang.
Arjo menghantam lantai.
DUUUMMM!!!
Tanah bergetar. Cahaya menyebar seperti ombak menghantam pantai gelap. Bayangan itu terpental, membakar seperti arang basah.
PRANG!!!
Seperti kaca pecah tanpa benda fisik.
Bayangan itu terurai menjadi debu hitam, lalu disapu angin hingga lenyap tanpa jejak.
Dalam detik itu…
Joglo jatuh sunyi.
Tak ada lagi geraman.
Tak ada lagi suara ribuan bisikan.
Tak ada lagi gelap yang menggigit.
Hanya Arjo yang terhuyung,.. tubuh langsung terduduk berlutut, memegangi bahu nya yang berdarah...
Sesaat terdengar suara memecah keheningan..
PROK.
PROK.
PROK.
Suara langkah kaki bersepatu berlari dari luar joglo.. disusul oleh suara orang berteriak..
“Arjo.. “ suara Kang Pono yang sejak tadi diam ikut membantu Arjo dalam doa..
“Kang Arjo..”
“Arjo...”
Beberapa orang pun mengikuti Kang Pono masuk ke dalam joglo...
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣