novel fiksi yang menceritakan kehidupan air dan api yang tidak pernah bersatu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Syihab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Diri
Kegelapan di sekitar Cai tampak padat, seolah udara pun terbuat dari air yang membeku. Tidak ada suara, tidak ada arah. Hanya permukaan luas yang berkilau samar, seperti laut tanpa gelombang.
Ia melangkah maju, kakinya tenggelam beberapa sentimeter ke permukaan yang terasa seperti pertemuan air dan kaca.
“Sena?” serunya, tetapi suaranya tak memantul. Seolah dunia ini menelan semua suara dan menyimpannya untuk diri sendiri.
Tak ada jawaban.
Cai menenangkan napas. Ini ujian. Tenang. Pikir.
Tapi sebelum ia dapat mengumpulkan keberanian, sesuatu bergerak di cakrawala.
Sebuah bayangan.
Semula tak lebih dari bentuk samar… namun perlahan, bayangan itu mengambil wujud seseorang. Rambutnya panjang dan licin seperti air, matanya biru pekat tanpa cahaya, tubuhnya adalah tiruan sempurna dari Cai sendiri.
Cai membeku. “Itu… bukan aku.”
Bayangan Cai tersenyum tipis.
“Aku adalah apa yang kau sembunyikan.”
---
Sementara itu, di tempat berbeda, Sena merasakan hal yang sama.
Dunia di sekelilingnya adalah lautan api padam—arang, bara, asap, tanpa cahaya. Tempat yang seharusnya dipenuhi kekuatan kini justru mati total.
Ia menggerakkan tangannya, mencoba memancing nyala kecil. Biasanya cukup mudah. Tetapi kali ini… tidak ada yang muncul.
“Jangan bilang…” Sena mencoba lagi. Tidak ada percikan. Bahkan panas tubuhnya pun terasa seperti hilang.
Kemudian suara langkah terdengar.
Dari balik kabut asap, seseorang muncul—tubuh tinggi, bahu tegap, wajah yang sangat ia kenal.
Sena terpaku. “Ayah?”
Bayangan Ayahnya tidak tersenyum. Mata itu bukan mata manusia—namun bara hitam.
“Kau pikir Api Merah bangga padamu?”
Sena mengepal. “Ini ujian. Kau bukan ayahku.”
Bayangan itu melangkah lebih dekat.
“Tapi kata-kataku berasal dari pikiranmu sendiri.”
---
Kembali pada Cai—bayangan itu mengitarinya, berjalan seolah melayang.
“Kau tidak pernah yakin. Kau menyembunyikan ketakutanmu… kau takut gagal, takut memimpin, takut dianggap lemah.”
“Aku tidak—”
“Kau takut Sena akan melihatmu rapuh.”
Cai menggertakkan gigi. “Diam.”
Bayangan itu tertawa.
“Dan kau takut ia akan meninggalkanmu—karena kau tidak cukup kuat untuk menyelamatkan siapa pun.”
Air di bawah Cai beriak, merespons emosinya. Tubuhnya gemetar. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang ia akui.
“Aku tidak butuh omongan ini,” katanya, tapi suaranya terdengar pecah.
Bayangan Cai mendekat, wajahnya identik namun mata kosongnya seperti pusaran air yang menelan.
“Jika kau tidak bisa menghadapi dirimu sendiri… bagaimana kau akan menghadapi inti yang telah dikorupsi?”
Cai mundur selangkah, lalu menghentikan diri.
Ia menutup mata. Menarik napas panjang.
“Ketakutan itu memang ada,” katanya lirih. “Tapi ketakutan tidak membuatku berhenti. Aku jalan terus. Itu yang membedakanku darimu.”
Ketika ia membuka mata, air di sekelilingnya berputar, membentuk pusaran biru cerah. Bayangannya mulai retak, tubuhnya terbelah oleh aliran air yang murni.
Bayangan Cai menjerit tanpa suara—dan pecah menjadi kabut.
Cai menghela napas. “Satu selesai…”
Tetapi lantai di bawahnya kembali bergerak, dan ia menyadari ujian belum berakhir. Bayangannya memang hilang—namun ia belum menemukan Sena. Dan itu adalah ketakutan yang lebih besar.
---
Di dunia api padam, Sena berdiri kaku menghadapi bayangan ayahnya.
Bayangan itu berputar mengelilingi, seperti predator yang menilai mangsa.
“Kau pikir melindungi Cai akan membuatmu lebih kuat?”
Sena mengencangkan rahangnya. “Aku tidak melindunginya. Kami melindungi satu sama lain.”
“BoHong.” Bara hitam di mata bayangan itu berpendar.
“Kau takut ia lebih kuat darimu. Kau takut kehilangan kendali.”
Sena ingin menyerang, tetapi tidak ada api. Tidak ada kekuatan.
“Kau takut suatu hari nanti, Cai akan meninggalkanmu karena kau tidak cukup untuknya.”
Sena merasakan dada sesak. “Berhenti.”
Bayangan itu menundukkan kepala.
“Kau takut… kau hanyalah api yang menyala cepat dan padam lebih cepat lagi.”
Tubuh Sena panas—bukan karena api, tapi karena amarah yang murni.
Ia maju satu langkah. “Aku memang takut.”
Bayangan itu berhenti, sedikit terkejut.
“Ya, aku takut,” ulang Sena. “Tapi aku lebih takut kehilangan diriku sendiri.”
Sena mengangkat tangannya. Bukan untuk menyerang. Untuk menerima.
“Aku tidak sempurna. Aku tidak selalu kuat. Tapi aku memilih untuk tetap bergerak. Tetap melindungi. Tetap mencintai.”
Api kecil menyala di telapak tangannya.
Bayangan ayahnya memudar, tubuhnya terbakar oleh nyala kecil itu—nyala yang akhirnya tumbuh semakin besar dan lebih besar, sampai seluruh dunia api padam bermandikan cahaya merah keemasan.
Bayangan itu lenyap.
Sena tersenyum tipis, menatap api yang baru ia panggil. “Aku kembali.”
Namun ketika ia berbalik, dunia mulai retak.
Ia tahu pertempuran yang lebih besar menunggunya—di dunia nyata, bersama Cai.
Ujian ini baru permulaan.
---
Dua dimensi ujian itu mulai runtuh bersamaan.
Cai melihat langit airnya pecah seperti kaca.
Sena melihat langit bara terbelah menjadi celah putih menyilaukan.
Tepat sebelum dunia itu hancur, mereka berdua mendengar suara yang sama—gaung dari kekosongan:
“Kalian lulus ujian pertama.”
Dan keduanya terlempar keluar dari dunia masing-masing—tersedot ke cahaya yang sama.
Mereka jatuh di tempat yang sama, di tengah ruang baru yang jauh lebih gelap, lebih sunyi, dan lebih dingin daripada sebelumnya.
Ujian selanjutnya menunggu.
Dan di balik kegelapan itu… sesuatu mengawasi mereka.