CINTA LAMA BELUM KELAR

Kaisar pun mulai menata hidupnya, misi membuat Iswa percaya dimulai dengan join proyek dosen. Mulai meniti karier sesuai keahliannya, agar tak bergantung pada sang papa. Ia menemui dosen pembimbingnya untuk membahas proyek tersebut, dengan status sudah lulus dan tinggal menunggu wisuda di pertengahan Januari, banyak yang menyapa Kai saat masuk gedung jurusan. Bahkan rekannya yang masih sibuk skripsi pun ikut mengobrol dengan Kaisar.

Mendekati jam janjian, Kaisar menunggu di depan ruang dosen pembimbingnya sembari melihat status WA mantan istri. Terlihat dari statusnya Iswa otw pulang. Kai pun mengomentari status itu, hati-hati, Wa. Seperti biasa akan dijawab dengan jempol saja.

Saat Kai akan masuk ke ruangan dosen, ia berpapasan dengan Adel, tak ada sapaan, bahkan Kai langsung mengalihkan pandangannya seolah tak mau melihat Adel lagi. Ivon melihat respon Kai dan menoleh pada Adel, tampak gadis itu terpukul dengan sikap Kai.

"Masih mengharap?" tanya Ivon mengajak Adel segera berlalu.

"Enggak! Dia udah benci sama gue, cuma gue merasa puas saja, pasti hubungan dia dan Iswa juga kandas."

Ivon acuh saja, malas juga bila Adel masih membahas Kaisar. Baginya kalau cowok udah minta putus, ya sudahlah, putus saja. Ivon penganut no mengemis cinta. Balas sakit hati mantan dengan menjadi cewek yang lebih bahagia, cuma Adel tak mau mengambil sikap tegas seperti itu. Kaisar tetap menjadi tujuan hidupnya.

Sedangkan Kaisar benar-benar muak dengan Adel, tak ada sedikit pun keinginan untuk memperbaiki hubungan atau menjadi teman, no way. Kaisar tak butuh cinta Adel lagi. Penyesalan Kaisar masih terlalu dalam melepas Iswa demi Adel kemarin, bahkan sampai detik ini Kaisar masih berandai-andai bila tidak menemui Adel, tentu dia tidak akan menjadi duda. Maka saat berpapasan begini Kaisar akan memberikan kesan pada Adel bahwa seseorang yang dulunya saling cinta bisa menjadi asing.

Kaisar pun memilih fokus pada penjelasan dosen pembimbing terkait proyek yayasan ini. Jadi Kaisar diberikan proposal pembangunan dan konsep sekolah, Kaisar diminta untuk merancang sekolah sesuai deskripsi pada proposal. Ia juga diberikan kontrak kerja sama berikut aturan dan juga nilai kontrak yang akan diperoleh Kaisar nanti. Proyek ini merupakan awal karir Kaisar, ia tak mau mematok harga tinggi, karena ia juga baru lulus belum wisuda malah, maka harga yang ditawarkan oleh dosen diterima saja.

"Rencana setelah lulus apa, Mas?" tanya Pak Dosen. Beliau tahu Kaisar termasuk anak orang kaya, mungkin saja ada rencana untuk meneruskan usaha orang tuanya.

"Ikut proyek, Bapak, dan ambil remote job saja, Pak."

"Oh, gak kerja dengan orang tua?" Kaisar tersenyum sembari menggeleng, ia pun ingin mandiri, merintis karir dengan bidang keahliannya, mengaku juga kurang sreg kerja dengan papa, tak mau diatur dengan peraturan sang papa.

"Di rumah sudah diatur, di kantor juga diatur, bisa tertekan saya, Pak!" jawab Kaisar disambut tawa oleh Pak Dosen. Memang generasi Kaisar ini generasi yang terkenal tak mau susah, terlalu percaya akan kemampuannya, tapi tak apa semua orang punya pilihan masing-masing, asalkan tidak menjadi beban keluarga. Pak Dosen pun menjelaskan bahwa durasi perencanaan gedung ini maksimal 2 bulan, beliau berpesan kepada Kaisar bahwa tiap minggu diharapkan ada progres gambar, agar kalau ada revisi bisa segera dikerjakan. Kaisar menyanggupi saja, toh dia belum ambil pekerjaan lain.

"Berniat kerja di kantor gak, Mas?" tanya Pak Dosen lagi. Kaisar menggeleng, melihat ritme kerja Sakti dan papa Kaisar kok gak mau ya hidupnya terlalu banyak di kantor. Kaisar ingin kerja dari rumah tapi punya penghasilan, hidup sederhana bersama sang istri begitu saja.

Pak Dosen pun memberikan tawaran untuk menjadi dosen saja, misal dosen swasta yang kerjanya tidak terlalu menyita waktu, kemudian memiliki side job lewat remote job. Kaisar menerima tawaran itu, dia belum tahu jalan apa yang akan ia ambil setelah menyelesaikan proyek ini. Sepertinya ia akan berdiskusi dengan Iswa saja, mencari waktu untuk mengobrol dengannya, kalau mau.

Pikiran Kaisar sekarang hanya butuh Iswa untuk saling tukar pikiran, tidak ada yang lain. Pulang dari kampus juga langsung pulang, tak ada energi untuk cari relasi, apalagi dia mantan Ketua BEM jelas punya kenalan dengan rekan kampus lain banyak, namun Kaisar tak minat. Ia lebih berminat chat Iswa saja.

Wa, kasih saran dong. Enaknya aku ngapain ya. Aku ikut proyek dosen, tapi papa menyuruh ikut ke kantor papa. Tapi aku tolak. Aku lebih suka kerja di rumah, apalagi kalau sama kamu.

Please jangan kasih jempol.

Gue butuh orang buat tukar pikiran, dan gue nyaman cuma sama lo.

"Balas ya, Wa. Gue butuh lo dalam hidup gue," gumam Kaisar sembari menatap deretan kalimat di room chat Iswa.

Kaisar menghela nafas setelah sepuluh menit, pesannya belum terbaca oleh Iswa. "Gue terlalu mengharap lo ya, Wa. Makanya lo risih gue chat terus?" sekali lagi Kaisar frustasi. Harus ngapain sih agar Iswa bisa membangun komunikasi dengan Kaisar lagi.

"Bang," Kaisar terpaksa masuk kamar Sakti. Pesan untuk Iswa sejak siang tak dibalas sampai malam, Kaisar gusar. Ia meminta saran dari sang kakak, yang dianggap lebih dewasa dalam percintaan.

"Abang chat sama Iswa gak?" tanya Kaisar lagi, sang kakak hanya menatap sang adik, dia lebih asyik membaca laporan dari anak buahnya yang belum selesai di kantor tadi.

"Enggak!"

"Bang aku chat gak dibalas loh sejak siang, apa dia risih ya."

"Iya!" jawab Sakti sekenanya, tapi Kaisar malah berdecak sebal.

"Terus aku harus bagaimana?"

"Balas cuek lah."

"Lah?" Kaisar heran dengan sang kakak, kok malah disuruh cuek, kalau Iswa makin jauh gimana.

"Lo emang gak tahu karakter Iswa?"

"Tahu. Mandiri, tegas."

"Nah tuh tahu."

"Apa sih, Bang. To the point kenapa."

Sakti menghela nafas pelan, melepas kaca matanya, dan memijat keningnya sebentar. "Gadis mandiri tuh gak butuh siapa pun, apalagi cowok yang gak punya value."

"Dih, aku punya value."

"Bisa diam gak! Jadi minta saran gak," semprot Sakti. Kaisar pun diam, dan meminta Sakti melanjutkan saran tentang Iswa.

"Kemandirian seorang perempuan menunjukkan bahwa dia hanya percaya pada diri sendiri, bahwa yang bisa membuat dia bahagia hanya dia sendiri. Dia tidak akan pernah mengharap bantuan atau bela kasihan pada orang lain, nah untuk menaklukkan gadis seperti itu maka lo harua punya value, punya karakter yang menunjukkan lo berbeda dengan laki-laki lain. Kalau lo saja tak punya tujuan hidup misalnya, Iswa jelas tak tertarik. Buat apa dia punya pasangan kalau lakinya tak punya prinsip dan tak punya tujuan hidup, mending sendiri karena hidupnya punya tujuan yang bisa diwujudkan dengan tangan dan kakinya sendiri."

Kaisar terdiam, ia menatap sang kakak, "Sepertinya memang yang pantas sama Iswa, Abang deh."

Sakti tertawa. "Boleh?" Kaisar menggeleng.