Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Perayaan Musim Semi di Syrren
Jalan-jalan kecil Desa Syrren disapu bersih. Warga menjemur karpet tenun warna-warni dan menggantung lentera-lentera kecil di sepanjang pagar. Perayaan musim semi telah tiba. Seluruh desa bergerak seperti satu tubuh yang bersiap menyambut kehidupan baru.
Sissel berdiri di depan cermin kayu kecil di kamarnya, mematut diri dengan gaun biru muda berbahan ringan, warisan dari ibunya yang sudah lama tiada. Gaun itu jatuh indah hingga lutut, dengan renda putih di bagian lengan dan pinggang yang diikat pita kecil. Rambutnya dibiarkan tergerai sebagian, dihiasi ornament pemberian Zenithia.
Ia menarik napas dalam. Gaun ini dulu kebesaran untuknya. Tapi kini… pas. Terlalu pas, bahkan, untuk menyembunyikan fakta bahwa ia telah tumbuh.
“Wahai Lumelith,” gumamnya sambil tersenyum kecil. “Semoga hari ini baik.”
Di halaman rumah, Sion dan Mimbo sudah menunggu. Masing-masing membawa keranjang besar berisi roti isi akar hutan, daging kelinci asap, dan kue manis berbentuk bunga.
Saat Sissel muncul dari pintu depan, keduanya secara bersamaan menoleh… terdiam.
Langkah Sissel sempat melambat melihat tatapan mereka.
“Aku… terlalu mencolok ya?” tanyanya ragu.
Mimbo membuka mulut, menutupnya lagi, lalu berkata, “Kau terlihat seperti air di tengah musim panas. Segar… dan membuat jantung berhenti.”
Sion hanya menunduk, tapi dalam diam ia setuju… atau bahkan lebih dari itu. Tapi ia hanya berkata pelan, “Gaun itu cocok sekali untukmu.”
Pipi Sissel bersemu merah. “Terima kasih…”
Sepanjang perjalanan ke lapangan desa, Mimbo berusaha keras berada di sisi Sissel. Ia menawari mengangkat keranjangnya, menarik ujung pita gaun agar tidak tersangkut ranting semak, bahkan… tanpa izin, menggandeng tangan gadis itu.
Sissel menoleh, agak terkejut
“Untuk apa?” tanyanya sambil tersenyum geli.
“Biar semua orang tahu kau sudah punya penjaga,” jawab Mimbo cepat.
Sion, yang berjalan di belakang mereka, menghela napas pelan. Senyumnya masih tenang, tapi tangannya mencengkeram gagang keranjang lebih kuat dari biasanya. Suara ranting yang terinjak bahkan terdengar lebih tajam dari biasanya.
Begitu mereka tiba di lapangan utama desa, suasana langsung menyambut dengan hangat dan meriah. Warga sudah berkumpul, duduk melingkar di atas tikar, membawa makanan buatan mereka sendiri. Pohon-pohon di pinggir lapangan dihiasi bunga warna-warni. Lampion kayu bergantungan di tali-tali anyaman, menunggu waktu malam untuk bersinar.
Anak-anak berlarian mengenakan pakaian terbaik mereka, beberapa membawa seruling dan lonceng kecil. Di tengah lapangan, sekelompok pemuda memainkan kecapi dan gendang kulit, mengiringi tarian kecil yang dibawakan oleh anak-anak perempuan berbaju jingga dan ungu.
Keheningan seketika terjadi saat mata-mata warga mulai tertuju pada satu sosok.
Sissel.
Langkahnya sempat terhenti ketika melihat semua mata menatap ke arahnya. Wajah-wajah yang dulu mencibir, memalingkan, bahkan melemparkan kerikil kecil kini menatapnya seperti melihat elf kerajaan turun dari langit.
“Siapa itu?” bisik seorang perempuan tua. “Itu Sissel? Mestiz merah itu?”
“Tidak mungkin… dia... cantik sekali.”
“Aku kira dia pergi selamanya. Tapi… lihat rambutnya. Matanya.”
Para pemuda yang dulu suka mengolok pun menatapnya seperti tak pernah mengenalnya.
“Apakah ini kutukan… atau berkah?”
Sissel menggenggam keranjang lebih erat. Bahunya sedikit menegang. Tapi di sampingnya, Mimbo menatap ke sekeliling dengan bangga, seolah ingin berkata, “Lihat? Dialah gadis yang kalian remehkan.”
Di belakang mereka, Sion memperhatikan semuanya. Wajahnya tetap teduh, tapi dalam hatinya, ada bisikan lain. Jangan lihat dia seperti itu. Dia bukan hanya cantik… dia lebih dari yang kalian bayangkan.
Krov, yang menyusul kemudian, bergabung dengan warga di lingkaran besar. Ia membawa kendi berisi minuman rempah dan duduk di bawah pohon maple besar.
“Ah, musim semi memang selalu datang dengan kejutan,” gumamnya sambil menyesap minuman.
Warga mulai berkumpul, makanan ditata di atas alas daun lebar. Musik mengalun dan gelak tawa menyebar. Hari itu, langit Syrren seolah tak mengenal awan. Cahaya matahari bersinar lembut, menyambut musim baru dan harapan-harapan yang belum sempat mekar.
*****
Mentari siang mulai miring, dan langit berganti rona keemasan. Suara musik kecapi masih mengalun di tengah lapangan desa, anak-anak menari dengan riang, dan para ibu sibuk menyusun buah-buahan hutan di atas daun lebar untuk hidangan sore.
Sissel menyelinap keluar dari kerumunan sejenak, menuju pinggiran lapangan di mana bunga-bunga liar bermekaran. Ia duduk di bawah pohon kecil, menghirup udara yang sedikit lebih sejuk. Keramaian selalu membuatnya agak kewalahan. Hari ini, semua mata seolah tak pernah berhenti memandangnya.
Ia sedang menikmati sepotong kue madu ketika suara langkah kaki mendekat.
“Akhirnya sendirian juga,” ujar satu suara.
Tiga pemuda elf berdiri di hadapannya. Wajah mereka familiar. Dulu sering bersiul dan mengejeknya saat kecil. Melempar batu ke arah rumah Krov dan mencibir rambut merahnya yang dianggap sial. Kini, mereka berdiri dengan senyum yang berbeda, senyum licik yang dibungkus sanjungan.
“Tak kusangka… kau bisa secantik ini, Sissel,” kata pemuda pertama, menatap dari kepala sampai kaki.
“Pakai gaun warisan ibumu, ya? Cantik sekali... sampai-sampai kupikir kau bukan Sissel yang dulu,” tambah yang kedua.
Sissel berdiri perlahan, menjaga jarak. “Terima kasih. Kalau tidak ada yang penting, aku harus kembali.”
Yang ketiga menyengir. “Eh, tunggu dulu. Kami hanya ingin mengobrol. Sudah lama tidak melihat kau di desa. Dengar-dengar… kau masih pacaran sama Mimbo?”
Sissel mengerutkan dahi. “Kami tidak pernah pacaran.”
Mereka saling melirik, tertawa pendek.
“Ah, padahal dulu kalian sangat cocok. Si Mestiz merah dan Mestiz hitam. Sama-sama aneh. Sama-sama... jelek.”
Sissel mengepal tangannya. Hatinya bergetar, tapi ia menahan diri.
“Sampah seperti Mimbo tidak pantas untuk gadis cantik sepertimu sekarang,” lanjut pemuda pertama, mendekat setapak. “Kau bisa memilih yang lebih baik... yang lebih kuat. Atau... lebih banyak.”
“Kenapa tidak ikut kami ke hutan belakang?” ujar satu lagi. “Di sana sejuk, sepi. Kau bisa menunjukkan... lebih banyak sisi kecantikanmu.”
Sissel menegang. “Maaf. Tidak.” Ia mundur, tapi punggungnya terbentur batang pohon.
Mereka makin mendekat, mengurungnya.
“Ayolah. Jangan jual mahal. Dulu kami bahkan tak sudi memandangmu. Sekarang... kami bersedia mengangkatmu menjadi gadis paling cantik di desa Syrren. Bagaimana?”
Sissel bersiap menjerit, tapi suara lain lebih dulu datang dari arah semak.
“Lepaskan dia.”
Mereka menoleh.
Sion berdiri beberapa meter dari mereka, wajahnya tenang tapi tatapannya seperti pisau yang belum dihunus. Ia masih mengenakan pakaian perayaan, tapi tangannya menggenggam pedang kayu latihan yang ia bawa sepanjang hari—hanya untuk berjaga-jaga.
“Eh? Ini bukan si pekerja dari Tallava?” kata salah satu pemuda, tertawa mengejek. “Hei, kami hanya bercanda. Temanmu ini sensitif.”
Sion tak menjawab. Ia hanya melangkah maju. Sissel menoleh padanya, matanya menyiratkan ketegangan.
“Sudah kubilang,” lanjut si pemuda, “jangan ikut campur. Kecuali kau mau main juga—dengan cara kami.”
“Kalau kau benar-benar ingin bermain,” ujar Sion, suaranya datar, “aku siap.“
Salah satu dari mereka tertawa dan maju. “Kau pikir bisa menghadapi kami bertiga sendirian?”
“Aku hanya perlu satu kesempatan,” jawab Sion sambil meletakkan keranjang makanan yang ia bawa ke tanah, dan memutar pedang kayunya satu kali.
Ketegangan meningkat. Suara musik dari lapangan masih terdengar samar. Sissel, yang berdiri di antara Sion dan para pemuda, akhirnya bicara. Suaranya tajam, lantang.
“Pergilah. Sebelum aku menjerit dan membuat seluruh warga tahu apa yang kalian lakukan di sini.”
Mereka saling berpandangan. Salah satu dari mereka—yang termuda—mulai gentar. “Kita—kita pergi saja. Sudah cukup.”
Mereka bertiga pergi, membelah semak.
Sion masih menatap ke arah bayang-bayang semak yang baru saja menelan para pemuda itu. Tubuhnya tetap tegang, namun nada napasnya mulai tenang.
Sissel menunduk. Suaranya nyaris tak terdengar. “Terima kasih…”
Sion menoleh, sorot matanya melembut. “Kau baik-baik saja?”
Sissel mengangguk pelan, lalu tersenyum kecil—senyum yang lebih mirip luka yang belum benar-benar mengering. “Aku sudah terbiasa dengan ini.”