Masa remajaku tidak seindah remaja lain. Di mana saat hormon cinta itu datang, tapi semua orang disekitarku tidak menyetujuinya. Bagaimana?
Aku hanya ingin merasakannya sekali saja! Apa itu tetap tidak boleh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riaaan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Siang itu, Alex mengirim pesan bahwa dia sudah pulang. Sementara aku dan Bulan sedang pergi ke toko buku sebab Bulan ingin membeli buku novel online yang sudah diadaptasi menjadi novel fisik oleh penulisnya.
"Gila, rame banget," umpatnya begitu melihat toko buku sudah dipenuhi oleh orang.
"Mau beli buku, Dear Diary ya?" tanya seorang pria yang terlihat agak dewasa khas mahasiswa.
"Iya, Bang. Kenapa?" tanya Bulan.
"Masih lama. Belum dateng bukunya," ucap pria itu dan berlalu.
"Demi apa? Ini orang pada nungguin buku?" tanyaku.
"Makanya baca novel online! Donlot Noveltoon! Baca komik di Mangatoon! Jangan cuma nonton anime ampe juling," umpat Bulan dan mengawali langkah menuju toko tersebut.
Aku mengikutinya di belakang.
"Dateng jam berapa, Kak?" tanya Bulan pada penjaga toko.
"Jam sebelas nanti, Dek. Mohon untuk tidak meninggalkan toko ya, soalnya buku yang datang cuma 100 eksemplar dan tidak ada pembeli prioritas, yang ambil duluan, itu yang dapet," jawab wanita berkacamata di meja kasir.
"Seratus doang? Anjir, kita tungguin di sini aja, Mut," ucap Bulan.
"Jam sebelas?" tanyaku melirik jam di ponsel. "Ini aja baru jam sembilan, Bul. Masih lama!"
"Dua jam doang."
"Ya dua jam itu lamaaa!"
"Bentar doang astaga. Nungguin Alex ampe pagi, tahan lo! Nungguin gue beli buku dua jam doang, ngeluh!"
"Iya deeh!" jawabku pasrah.
Kami melipir ke rak buku sudut ruangan. Agak menjauh dari keramaian. Tiba-tiba Bulan menaruh satu buku di hadapanku. "Buat lo! Baca!" ketusnya.
Aku membaca judul buku bersampul putih tersebut "Cinta Sebelum Menikah Adalah Jebakan"
"Paling penulisnya bocil SD," ucapku.
"Baca dulu!"
"Ga mau!"
"Nih lo denger! Gue bacain!" Bulan menahanku untuk tetap berada di dekatnya. "Di mana saat kamu merasa terikat perasaan pada seseorang yang belum tentu menjadi jodohmu, itu adalah jebakan!"
"Klise banget narasinya," ejekku.
"Di saat kamu bingung memilih antara cinta atau kenyamanan diri sendiri, padahal kamu belum menikah. Kamu sudah dibuat sakit hati saat berhadapan dengan keluarganya. Jebakan itu nyata. Padahal kamu belum tentu menjadi jodohnya, tapi mereka berlaku buruk terhadapmu. Apa kamu sudah menyadari jebakan itu ada di mana? Jangan biarkan mereka menjebakmu untuk menjadi sosok yang bodoh akan cinta. Cinta bukanlah hal yang harus menjadikanmu bahan buli-bulian mereka." Bulan menutup buku tersebut. "Tuh kan! Mirip sama kisah lo, lo harus baca!"
"Males ah, ntar gue baper," ucapku.
"Kamu berhak memilih untuk hidup nyaman tanpa cinta sebelum menikah. Ikutilah cara temanmu yang tidak memiliki pacar. Hidup mereka lebih stabil tanpa melibatkan perasaan atau semacamnya yang mampu membuatmu stress. Dan bahkan temanmu menjadi lebih cantik sebab tidak memiliki pacar, terutama yang bernama Cahya Bulan Purnama! Ha ha!"
"Uuhh! Itu mah lo ngarang!" omelku menyenggolnya. Bulan malah tertawa kencang.
"Ha ha! Tapi ini cocok buat lo, Mut," ucapnya sembari menahan tawa.
"Ga mau ah. Gue mau liat-liat buku sains aja, gue mau pindah planet," ucapku.
"Mut, lo bisa gila kalo baca buku sains."
"Gue mau bikin bom atom buat hancurin Bumi."
"Jangan Bumi dong, kan ada gue juga isinya. Hancurin rumah Alex aja."
"Iya, gue mau hancurin rumah Alex!"
Saat kami sedang bercanda, pria mahasiswa itu datang lagi. Ia mengambil salah satu buku yang dipajang dalam rak dekat kami.
"Rendi," ucapnya menjulurkan tangan ke arah Bulan.
"Eh, mau hipnotis ya?" Bulan asal menuduh saja dan menbuat suasana jadi tidak nyaman.
"Mau kenalan doang kok," ucap pria itu.
"Mutia," jawabku membalas jabat tangan tersebut agar suasana tidak rusuh.
"Rendi," ucapnya lagi.
"Ini Bulan temen gue, Bang," jelasku.
"Temen sekolahnya Wisnu kan? Yang di rumah sakit?" tanya pria itu.
"Hah? Kok tau?" balasku.
"Rendi? Ini Rendi Pradana yang bayarin Wisnu waktu itu?" tanya Bulan.
"Iya."
"Kenapa lo bayarin, Bang? Lo keluarganya Wisnu?" tanyaku.
Pria itu malah terkekeh dan mengambil buku lagi. "Jangan berisik ya, mau ngerjain tugas," ucapnya berlalu dan duduk di salah satu tempst yang sudah disediakan di sini.
"Loh. Abangnya Wisnu ga sih?" tanya Bulan.
"Bukan kayaknya. Wisnu anak tunggal," jawabku.
"Tapi mukanya mirip loh! Apa jangan-jangan mereka ...."
"Udah jangan nebak-nebak. Mending kita cari tau pelan-pelan. Kayaknya dia salah satu keluarga Wisnu." Mataku tak lepas untuk memerhatikan pria bernama Rendi itu. "Eh bentar deh! Kok gue kayak ga asing ya ngeliat dia? Kayak pernah ngeliat gitu," ucapku lagi.
Aku benar-benar merasakan bahwa aku pernah melihat pria itu tapi entah di mana. Apa mungkin di mimpiku? Atau dia terkenal dan aku pernah melihat wajahnya sebagai model iklan atau apa gitu?
"Lo kenal?" tanya Bulan.
"Ga kenal, tapi gue kayak pernah ngeliat aja."
"Di jalan?"
"Ga tau, ga inget."
***
Akhirnya jam sebelas yang ditunggu itu datang juga. Satu mobil parkir di halaman toko dan semua orang berebutan buku populer tersebut. Bulan juga ikut bersama mereka sedangkan aku menunggu di dalam toko.
"Aaaahh! Muuuut! Gue ga kebagian!" jerit Bulan yang aku dengar ia seperti hendak menangis.
"Ya udah sih, nunggu pengiriman yang baru aja," balasku.
"Tapi kan, gue udah nungguuiiiin huaaaa!" Dia benar-benar menangis sedih.
"Diiih, jangan nangis dong, diliatin orang!" omelku.
"Gue udah nungguin loooh!" jerit Bulan.
"Udah udah! Kita beli di toko lain mungkin ada," ucapku menarik Bulan ke luar toko agar tidak menjadi pusat perhatian orang.
"Padahal gue udah mimpi baca novelnya, Mut semalem," ucap Bulan tersedu-sedu.
"Udahlah, cuma novel pun," omelku.
"Cil!" teriak seseorang membuatku menoleh, sementara Bulan masih meratapi novel tersebut. "Nih! Jangan nangis. Udah dibayar, bawa pulang aja. Kalo udah kelar baca, balikin," ucap Rendi memberikan buku bersegel itu pada Bulan kemudian pergi.
Tatapanku masih melekat pada pria itu. "Hah? Lo ngerasa aneh ga sih sama dia? Kayak gue tuh ngerasain kalo dia mau sesuatu gitu dari kita dan dia berusaha buat deketin kita," ucapku terhenti begitu melihat Bulan sudah tersenyum semringah, bahkan dia tidak menghiraukan kalimatku.
"Kita mampir bakso bentar yuk!" Dalam hitungan detik suasana hatinya berubah menjadi secerah matahari terbit di Minggu pagi. Matanya berbinar-binar. "Gue traktir, Mut!" ucapnya penuh semangat.
"Tapi .... Lo ga takut dihipnotis ...."
"Biarin! Hipnotis aja, yang penting gue dapet novelnya."
"Kalo dia pasang kamera tersembunyi di bukunya gimana? Dia bisa ngeliatin lo pas baca buku? Lo ga takut? Dia bisa ngeliatin lo di kamar mandi!" pekikku penuh dramatis.
"Cuma orang tolol yang baca buku di kamar mandi!"
"Lah, iya juga sih."