Daniel Van Houten, mafia berdarah dingin itu tak pernah menyangka di vonis impoten oleh dokter. Meski demkian Daniel tidak berputus asa, setiap hari ia selalu menyuruh orang kepercayaannya mencari gadis per@wan agar bisa memancing perkututnya yang telah mati. Hingga pada suatu malam, usahanya membuahkan hasil. Seorang gadis cantik berlesung pipi berhasil membangunkan p3rkurutnya. Namun karna sikap tempramental dan arogannya, membuat si gadis katakutan dan memutuskan melarikan diri. Setelah 4 tahun berlalu, Daniel kembali bertemu gadis itu. Tapi siapa sangka, gadis itu telah memiliki tiga anak yang lucu-lucu dan pemberani seperti dirinya.
____
"Unda angan atut, olang dahat na udah tami ucil, iya tan Ajam?" Azkia
"Iya, tadi Ajam udah anggil pak uci uat angkap olang dahat na." Azam
"Talau olang dahatnya atang agi, tami atan ucil meleka." Azura.
_____
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Remaja01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Hari ini Daniel berencana mengajak Ayang dan anak-anak pergi mengunjungi tempat wisata yang ada di Bali. Ia bersungguh-sungguh ingin mendekatkan diri dengan anak-anak.
"Om, Unda ngak awu itut."
Azkia, Azam dan Azura mendekati Daniel yang sejak tadi menunggu mereka diluar. Ketiga bocah itu baru saja menyampaikan pada bunda mereka pesan Daniel yang ingin mengajak mereka jalan-jalan keluar.
"Kenapa Bunda kalian tidak mau ikut?"
"Ngak awu," jawab Azkia dengan wajah cemberut.
"Kalau begitu, kalian tunggulah di sini! Biar aku yang membujuk bunda kalian!" Daniel berjalan kedalam kamar tempat Ayang berada. "Kenapa kau tidak mau ikut?" tanya Daniel, sepasang netranya tepat memandang Ayang berbaring diatas ranjang.
Melihat kehadiran pria itu, Ayang segera duduk dan menekuk kedua kakinya karna takut.
Daniel melepaskan nafas halus. "Aku ini bukan hantu! Kenapa kau begitu takut padaku?" Daniel seakan lupa dengan apa yang pernah di lakukannya pada Ayang hingga menyisakan trauma dalam diri wanita itu.
Daniel kwmbali melepaskan keluhan halus dan beringsut mundur ketika melihat tubuh wanita yang telah melahirkan anak-anaknya bergetar karna ketakutan.
"Baiklah, kalau kau tidak mau ikut, tapi aku akan tetap membawa anak-anak jalan-jalan," ucap Daniel sebelum keluar deri kamar itu. Sempat juga ia menoleh pada Ayang, berharap ancamannya barusan membuat Ayang mau pergi bersamanya. Tapi nyatanya, bunda si kembar itu masih diam di tempatnya.
"Om, Unda mana?" tanya Azam karna hanya melihat Daniel sendiri keluar dari kamar.
Daniel menaikkan bahu. "Bunda kalian tidak mau ikut. Apa kalian tetap ingin pergi?"
Ketiga bocah itu saling berpandangan satu sama lain, kemudian menggeleng serentak.
Daniel menghembuskan nafas pelan, "Bagaimana kalau kita berenang saja?"
"Ngak awu, ailnya ingin!"
"Kita ain uda-uda aja yuk, Om." Azkia memberi usul.
"Heih." Untuk kesekian kalinya Daniel melepaskan keluhan . Namun, ia tetap menjatuhkan lututnya di lantai.
"Yei!" Ketiga bocah itu lansung naik dan duduk di atas punggung Daniel.
"Eh, bagaimana aku bisa bergerak kalau kalian semua naik? Ini berat sekali! Kalian jangan naik semua, gantian!"
.
.
.
Sudah dua hari Daniel berada di Bali. Selama itu juga ia benar-benar menghabiskan seluruh waktunya mendekatkan diri pada anak-anak. Daniel menikmati perannya sebagai ayah dadakan. Bahkan ia mencegah Udin agar tidak mengunjungi huniannya.
Sedikit-sedikit Daniel juga talah bisa memandikan anak-anak. Ia juga sudah.mahir meracik susu untuk si kembar.
Hari ini adalah hari terakhir Daniel berada di Bali. Besok pagi-pagi sekali Daniel mengajak mereka kembali ke Jakarta, di karenakan, laporan dari Regan yang mengatakan ada masalah di perusahaan yang cukup serius.
Siang tadi Daniel berjanji pada anak-anak akan mengajak mereka makan malam diatas kapal pesiar. Daniel juga menyuruh mereka membujuk Ayang agar mau ikut sekalian.
"Om, Unda ngak awu pelgi!"
Daniel mendengus pelan. "Dia itu, apa tidak mau menyenangkan anak-anaknya?" gerutunya pelan.
"Jadi bagaimana? Kalian mau di rumah atau ingin pergi makan malam denganku?"
"Kalau tami pelgi, nanti Unda ngak ada teman."
"Ya sudah kita makan malam di sini saja."
Mereka mengangguk serentak.
.
.
.
Sesuai rencana. Pagi-pagi sekali Daniel meninggalkan Bali dengan jet pribadinya. Tak memakan waktu lama, mereka telah berada di Jakarta. Daniel menyuruh orang-orangnya mengantarkan Ayang, Udin serta anak-anaknya ke mension. Sementara ia sendiri lansung menuju ke perusahaan.
.
.
Ayang yang telah sampai di mension terkejut, melihat kehadiran Dani di sana. Lantas, Ayang bertanya menggunakan bahasa isyarat apa yang di lakukan saudaranya itu.
"Gue ini Abang lu, Ay. Sudah menjadi kewajiban gue ngelindungi lu."
Ayang menggelengkan kepala mendengar jawaban Dani. Rasanya ingin sekali ia menjambak rambut saudaranya yang tak tahu malu itu.
"Lu keterlaluan banget Ay, pergi ke Bali gak ngajak-ngajak gue, malah ngajak banci sialan ini!"
"Eh, sebenarnya kamu itu ada masalah apa sih sama aku?" Udin tersulut emosi mendengar ucapan sinis yang di lontarkan Dani.
"Gak usah ngegas Lu banci!" Dani mendorong bahu Udin.
"Awhh!" Dani menjerit, merasakan gigitan dan pukulan di kakinya oleh anak-anak Ayang.
"Olang dahat angan jahatin Pipi!" seru Azkia.
"Hei! Dia bukan Papi kalian!"
Sebelum Dani banyak bicara, Ayang lansung menarik tangan pria itu menjauh dari Udin dan anak-anaknya.
"Lu apaan sih, Ay? Lebih ngebela banci itu dari pada gue, Abang lu sendiri." Dani memberungut kesal.
Ayang menunjuk gerbang, menyuruh saudaranya itu pergi.
"Gila lu, Ay. Lu lebih bela banci sialan itu dibandingkan gue. Abang lu sendiri! Ingat Ay, kita ini saudara kandung." Suara Dani ikut naik karna emosi.
Ayang tersenyum sinis, kemudian berjalan mendekati Udin yang sedang bersama anak-anaknya, ia merasa percuma berdebat dengan abangnya itu.
Dani menggeber motornya sebelum berlalu meninggalkan mension mewah itu.
.
.
.
Selesai mengatasi masalah perusahaan, Daniel segera pulang ke mension. Sejak tadi ia begitu rindu mendengar celotehan si kembar. Sebelum pulang Daniel singgah sebentar ke toko mainan anak-anak dan membeli beberapa mainan untuk mereka.
Tiba di mension, Daniel lansung masuk ke kamar yang di tempati Ayang karna tak melihat keberadaan anak-anak di luar. Benar saja, di dalam kamar, ia melihat ketiga anaknya tengah terlelap. Begitu pun dengan Ayang, wanita itu tampak begitu nyenyak sekali tidur bersama anak-anaknya.
Daniel mendekat, duduk di tepi ranjang menatap ketiga bocah yang telah merubah suasana hatinya. Ya, setiap berada di dekat mereka sikap pria dingin itu akan berubah 180 derajat dari biasanya.
.
.
.
Menjelang sore, barulah Daniel mendengar suara rengekan anak-anaknya yang baru bangun tidur. Sejak tadi pria itu memang berada di sana menunggu mereka bangun.
"Tunggu sebentar, akan kubuat kan susu untuk kalian."
Daniel pun lansung menuju dapur.
Pelayan yang berada di dapur merasa heran, juga ada rasa takut-takut melihat Tuannya yang sedang menakar bubuk susu ke dalam botol.
"Biar aku saja yang melakukannya, Tuan."
"Lakukan saja pekerjaan kalian!" Dengan tegas Daniel menolak tawaran pelayan yang akan membuatkan susu untuk Azkia dan Azura.
Tidak lama Daniel kembali lagi kedalam kamar membawa dua botol susu, memberikan untuk Azkia dan Azura.
Tiba-tiba saliva Daniel seperti tercekat di tenggorokan, kala netranya melihat Azam yang tengah menyusu pada Ayang, meski tubuh Ayang tengah memunggunginya, tapi Daniel masih bisa melihat sedikit benda yang sedang di kenyot Azam itu.
Tubuh pria itu seketika panas dingin. Gairahnya di tubhnya bergejolak.
"Om ngapain liat Ajam imik?" celetuk Azkia. Ayang lansung menoleh kebelakang, dan ia pun lansung menyembunyikan benda yang tengah di perhatikan Daniel itu.
Daniel tampak gelagapan, layaknya seorang pencuri yang tertangkap tangan. Pria itu lansung berbalik badan dan segera berlalu keluar.
Daniel benar-benar tidak tahan dengan gairah yang bergejolak di tubuhnya. Jika saja tadi tak ada anak-anaknya, mungkin Ayang telah di makannya.
"Shit!" Daniel mengusap kasar rambutnya, lalu pergi ke lantai dua menuju kamarnya. Dia perlu mendinginkan suhu tubuhnya yang saat ini terbakar gairah.
.
.
.
Selesai mandi, Daniel kembali turun kebawah. Sebelum masuk ke kamar Ayang, ia mengambil mainan yang masih berada di dalam mobil.
"Waw! Ada belbie!" seru Azkia melihat Daniel masuk membawa mainan.
"Om, itu untuk siapa?" tanya Azura yang telah berada di dekat Daniel.
"Untuk anak-anakku," jawab Daniel.
"Kilain buat Adik!"
Daniel menyeringai melihat anak-anaknya menekuk wajah. "Ini untuk kaian semua." Daniel meletakan mainan itu diatas karpet.
"Selius untulk kami?"
Daniel mengangguk.
Azam yang berada diatas ranjang, segera turun kebawah. "Ajam uga awu. "
"Hei! Itu bukan untukmu."
Wajah Azam berubah cemberut. Ia kembali ke atas ranjang memeluk bundanya. "Unda, Omnya dahat."
Ayang mengusap punggung bocah laki-laki yang tengah terisak itu.
Daniel segera keluar kamar, mengambil mobil-mobilan yang bisa di kendarai.
Tin! Tin! Tin!
Daniel membunyikan klakson mobil-mobilan itu di dalam kamar.
Azam lansung duduk menatap penuh harap mobil-mobilan itu untuknya.
"Kemarilah, ini untukmu,"
Azam segera turun dari atas ranjang. "Benalan ini untulk Ajam?"
Daniel mengangguk.
"Yei! Ajam unya obil-obilan."
"Nanti mainnya. Sekarang kita mandi dulu."
Van itu nama Belanda lhoo