berfokus pada kisah Satya, seorang anak dari mantan seorang narapidana dari novel berjudul "Dendamnya seorang pewaris" atau bisa di cek di profil saya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nemonia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
"Ada teman wanitamu," ucap Yoga tiba-tiba membuat perhatian Satya yang sebelumnya teralihkan pada sang ayah, kembali tertuju pada layar.
Flashback on
"Ya, Bos. Kami berhasil mencelakainya."
Pria itu mematikan sambungan telepon setelah memberitahu Raska keberhasilannya mencelakai Satya. Sementara di hadapannya berdiri Yoga dengan sekantong plastik kresek berisi uang.
Pria itu menerima kantong tersebut dari Yoga dan melihat isinya. Liur pun seolah menetes melihat banyaknya uang yang ia dapat. Bukan hanya dapat dari Raska nantinya, tapi sekarang dirinya mendapat dari Yoga dengan syarat membohongi Raska.
"Jika kau berani mengatakannya padanya, kau akan tahu akibatnya," ucap Yoga.
"Tenang saja. Mana mungkin aku melakukannya? Bayaranmu lebih besar. Lain kali kau bisa menghubungiku jika butuh sesuatu," ujar pria yang merupakan anak buah Raska. Demi uang dirinya mengkhianati bosnya sendiri tapi ia tak peduli. Kebutuhannya untuk melunasi hutang judi dan kembali bermain judi lebih penting. Setelahnya ia pun memasuki mobil dan pergi dari sana.
Yoga menatap kepergian mobil berwarna hitam tersebut dengan pandangan tak terbaca kemudian berbalik menuju mobilnya di mana Satya masih berada di sana. Sebelumnya ia telah menghubungi Satya memintanya segera keluar dari mobil sebelum mobil di belakangnya menabraknya.
Yoga masuk ke dalam mobil dan disambut ringisan tertahan Satya. Kepalanya berdarah, tangan kanannya yang terluka dan juga mengeluarkan banyak darah akibat mencium aspal dengan keras.
"Sejak kapan?" Satya bertanya disertai ringisan menahan sakit.
"Akan kuceritakan nanti," jawab Yoga kemudian mulai melajukan mobilnya menuju rumah sakit.
Sementara di posisi lain, anak buah Raska yang sebelumnya menerima uang dari Yoga terlihat masih mengendarai mobilnya dengan tawa yang sesekali masih terdengar. Saking senangnya memiliki banyak uang, dirinya tak menyadari ada seseorang yang bersembunyi di jok belakang.
Ckit!
Pria itu segera menginjak rem saat sebuah motor tiba-tiba saja berhenti di depan mobilnya. Dan tepat di saat itu orang yang bersembunyi di bagian bawah jok belakang, muncul dan segera menjerat lehernya menggunakan tali. Dan pria itu adalah salah satu kenalan Yoga dari tahanan yang dijadikannya sebagai salah satu anak buah. Tidak, bukan Fajri atau Bams, dia adalah Rozi.
Rozi menjerat leher pria itu hingga lemas. Dan saat pria itu kehilangan kesadaran, didorongnya tubuh pria itu ke samping kemudian menggantikannya duduk di kursi kemudi.
Tangan Rozi keluar dari jendela mobil memberi acungan jempol pada pengendara motor yang sebelumnya menghentikan laju pria yang saat ini pingsan di sebelahnya. Si pemotor tersebut adalah rekannya dan menjadi bagian dari rencananya ini. Setelahnya ia segera mengendarai mobil pria itu dan membawanya kembali ke lokasi. Sesampainya di sana ia pun membuat seakan-akan pria itu adalah Satya yang jatuh ke dalam sungai bersama mobilnya. Namun sebelum itu, dirinya sengaja merusak wajah pria itu agar tidak dikenali sekaligus membuatnya meregang nyawa. Rozi merupakan pembunuh berdarah dingin di mana keberadaannya dalam tahanan ialah karena kasus pembunuhan. Ia membunuh kekasih adiknya karena lelaki itu tidak mau bertanggung jawab setelah menghamili sang adik.
Flashback off
"Belum tidur?"
Yoga tersadar dari lamunan mendengar suara Satya. Tiba-tiba saja ia teringat peristiwa kala itu. Peristiwa manipulasi yang ia lakukan dan mengorbankan anak buah Raska. Saat ini dirinya tengah duduk di tepi ranjang, walau malam sudah larut tak ada tanda-tanda darinya mengantuk.
Satya berjalan menghampiri ayahnya, berdiri di depan sisi kiri sang ayah dan menatapnya dengan pandangan tak terbaca. Ini yang dulu selalu ia inginkan, berhadapan dengan ayahnya, menatapnya lama mencari tahu apa yang tengah ayahnya pikirkan.
"Istirahatlah," ucap Yoga tanpa menatap Satya.
Satya hanya diam. Semakin ke sini dirinya semakin mengerti ayahnya. Jika dulu ia kira bisa mengobrol ringan dengan sang ayah, ternyata ayahnya lebih banyak diam dan hanya membuka suara untuk hal penting saja.
"Baiklah," gumam Satya kemudian berbalik dan melangkah keluar dari sana. Namun, saat telah sampai di depan pintu, suara Yoga membuatnya menghentikan langkah.
"Bagaimana dengan kuliahmu?"
Satya berbalik, menatap ayahnya sementara Yoga justru mengalihkan pandangan. Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin Yoga katakan, tapi sampai detik ini, walau sudah tinggal sat atap sebulan lebih, dirinya hanya bisa bersikap kaku. Dirinya masih merasa canggung karena bagaimanapun selama ini mereka hanya terhubung lewat Shintia, tak pernah bertemu dan berbicara sebelumnya.
Satya memejamkan mata sejenak dan seulas senyum amat tipis pun tercipta. "Tidak apa-apa. Yang penting masalah ini akan selesai dengan segera." Hanya dengan satu perhatian lewat satu pertanyaan yang Yoga tanyakan sudah mampu membuatnya merasa diperhatikan dan merasa disayang. Ada kalanya ia merasa canggung dengan Yoga, tapi ada kalanya dirinya merasa ayahnya sebenarnya memperhatikannya hanya saja tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya. "Kalau begitu aku istirahat dulu. Ayah juga segeralah tidur."
Setelah mengatakan itu Satya melanjutkan langkahnya, keluar dari kamar Yoga meninggalkan Yoga yang menatap punggungnya hingga akhirnya menghilang di balik pintu.
Yoga terdiam sejenak kemudian bangkit dari duduknya dan berdiri di depan jendela kamar menatap ke luar pada malam yang tampak terang karena bulan purnama. Kadang ia masih tak percaya telah memiliki anak sebesar Satya. Tak hanya itu, Satya amat mirip dengannya. Bukan hanya wajah tapi juga sifat meski sedikit lebih banyak bicara daripada dirinya.
Tiba-tiba senyum tipis Yoga terukir teringat Jessica dan Alexa. Selama mengawasi Shintia diam-diam, ia kerap melihat dua perempuan itu mengunjungi Shintia. Seperti hari ini. Saat Raska ke rumah Shintia, Alexa datang berkunjung. la hanya senang meski dua wanita itu tidak tahu Satya masih hidup, mereka tetap bersikap baik pada Shintia. Apakah ini yang orang tua di luar sana rasakan? Melihat anaknya telah tumbuh dewasa dan memiliki teman baik membuatnya tenang. Kadang, ia ingin membicarakan ini dengan Satya, mengobrol ringan dan menggodanya, tapi lagi-lagi itu hanya keinginan yang belum bisa terlaksana sekarang. Namun, setelah semua ini selesai, ia harap bisa melakukannya. Satu-satunya keinginan yang selalu ia bayangkan adalah, duduk santai bertiga dengan Satya dan Shintia lalu membicarakan banyak hal disertai canda tawa. Dan mereka bisa hidup tenang tanpa ada lagi gangguan seperti Raska. Hanya sesederhana itu, tidak lebih.
Yoga memejamkan mata berdoa dalam hatinya. la harap masih terselamatkan saat rencana yang telah disusunnya matang-matang akan terlaksana sebentar lagi. Jika tidak, doanya masih sama seperti 15 tahun yang lalu yaitu keselamatan untuk Satya dan Shintia. Karena Yoga yakin Raska bukan hanya menginginkan Shintia, tapi juga mengincar nyawanya.
***
Beberapa hari kemudian terlihat Shintia yang duduk berdua di teras depan rumah Shintia. Raska seperti tidak memiliki kehidupan lain selain Shintia. Pria itu selalu datang hampir setiap hari.
"Baiklah."
Raska menatap Shintia dengan dahi berkerut. "Untuk?" tanyanya.
"Kurasa memang sudah saatnya. Hanya kau yang bisa melindungiku. Jujur saja kadang aku masih berharap dia datang menemuiku, tapi bahkan Satya tidak ada pun dirinya sama sekali tak menunjukkan diri," ujar Shintia dengan tersenyum kecut. la pun menoleh, menatap Raska dan kembali mengatakan, "Jadi, kurasa memang kau yang terbaik. Aku mau menikah denganmu."