"Aku terbangun di dunia asing. Tanpa ingatan, tanpa petunjuk, tapi semua orang memanggilku Aqinfa—seolah aku memang gadis itu."
Namun, semakin lama aku tinggal di tubuh ini, semakin jelas satu hal: ada sesuatu yang disembunyikan.
Wajah-wajah yang tampak ramah, bisikan rahasia yang terdengar di malam hari, dan tatapan pria itu—Ziqi—seolah mengenal siapa aku sebenarnya... atau siapa aku seharusnya menjadi.
Di antara ingatan yang bukan milikku dan dunia yang terasa asing, aku—yang dulu hanya Louyi, gadis sederhana yang mendambakan hidup damai—dipaksa memilih:
Menggali kebenaran yang bisa menghancurkanku, atau hidup nyaman dalam kebohongan yang menyelamatkanku.
Siapa Aqinfa? Dan… siapa sebenarnya aku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amethysti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alasan Samar
Setelah selesai beristirahat..
Aqinfa menaruh kembali cangkir minumnya di atas meja makan. Hiruk pikuk aula belum sepenuhnya reda dari obrolan soal ujian kedua, tapi pikirannya tak betah berlama-lama di satu tempat.
"Aku ingin mencari mereka…," (gumamnya pelan sambil menoleh ke arah pintu aula makan).
Keempat temannya—Weyi, Axia, Dwiyu, dan Seril—belum terlihat sejak tes berakhir. Biasanya mereka akan saling berkumpul kembali untuk makan siang bersama, atau sekadar bertukar cerita bodoh.
Namun, saat ia bersiap melangkah, matanya tertumbuk pada Ziqi yang masih duduk tenang.
Aqinfa menggigit bibirnya sebentar. Ia tahu Ziqi tak suka keramaian, dan kemungkinan besar akan segera berbalik ke asrama atau ke taman belakang tempat ia biasa bermeditasi. Tapi…
"Aku nggak mau pergi sendirian."(gumam aqinfa dalam hatinya).
Itu bukan suara yang ia ucapkan, hanya kalimat dalam hatinya. Dan meskipun ia sendiri tak paham kenapa, dia merasa nyaman berada di sisi pria itu. Mungkin karena Ziqi tak pernah menuntut. Tak pernah bertanya. Hanya... ada.
“Senior, ayo jalan sebentar.”(Ia menarik napas dalam, lalu berdiri)
“Aku tidak—”(Ziqi menoleh pelan).
Sebelum kalimat itu selesai, Aqinfa menarik sedikit ujung lengan hanfu Ziqi, lalu menatapnya sebentar—tidak memaksa, hanya meminta.
Gerakan itu sederhana. Tapi bagi Ziqi yang dingin seperti puncak musim dingin, itu seperti setitik matahari jatuh ke salju. Ia tak berkata apa-apa lagi, hanya berdiri dan mengikuti langkah Aqinfa.
Di luar aula makan, angin sepoi meniup ujung dedaunan. Mereka menyusuri koridor terbuka menuju halaman ujian sebelumnya, tanpa bicara, tanpa arah pasti.
Tiba-tiba dari sisi lorong muncul empat suara riuh.
“Aqinfa!”(Weyi Teriak salah satu temannya)
“Di sini rupanya!”(seru dwiyu melirik Ziqi dan aqinfa).
Keempat sahabatnya berlari kecil menghampiri.
“Kami cari kamu dari tadi! Kenapa tidak makan bareng?”(Weyi langsung menggandeng tangannya).
“Maaf, aku… sedang ingin sendiri. Eh, tidak. Maksudku, bersama senior ini.” (Ia menoleh ke arah Ziqi yang berdiri tenang di belakangnya).
Mereka semua ikut melirik, lalu berbisik pelan—tak berani ribut jika Ziqi ada di dekat.
“Aqinfa,”( ujar Seril pelan).
“Itu alat giok pengukur… kenapa bisa rusak begitu?”(timpanya)
Wajah Aqinfa berubah sedikit bingung.
“Aku juga nggak tahu. Aku cuma sentuh seperti yang lain... eh, lalu retak, terus... boom. Pecah.”( Aqinfa berubah sedikit bingung).
“Kau yakin tidak sedang menyembunyikan sesuatu?”( canda Axia setengah serius).
“Kalau aku punya rahasia segede itu, pasti aku malah pamer, bukan sembunyi!”( sahut Aqinfa).
Tawa kecil mewarnai pertemuan itu, namun Ziqi melangkah setengah mundur, ingin pergi. Melihat itu, Aqinfa cepat menggeser tubuhnya dan sekali lagi menahan ujung hanfu pria itu dengan dua jari, seperti anak kucing menahan ibunya pergi.
Ziqi menoleh.
“Sebentar lagi,” bisik Aqinfa.
Ziqi mengangguk kecil, dan tetap berdiri di tempat.
Dari jauh, Weimu baru saja keluar dari aula makan. Ia berhenti di lorong batu, menatap ke depan.
Ia melihatnya.
Aqinfa. Menahan Ziqi lagi.
Tangannya, yang biasanya menepuk punggung sahabat dengan sembarangan, kini dengan halus menyentuh kain hanfu Ziqi, seolah... tak rela ditinggalkan.
Weimu menunduk. Ada sesuatu yang menyesakkan di dadanya. Ia menatap kedua tangannya, lalu mengepalkan jemarinya dalam diam. Bukan karena benci. Tapi... kehilangan.
“Kenapa bukan aku?”
Di ruang pertemuan para tetua, suasana tak kalah serius. Tiga gulungan berisi hasil tes terbuka di atas meja. Para tetua berdiskusi sambil menyesap teh spiritual mereka.
“Saya keberatan,” kata salah satu tetua tua dengan suara berat. “Murid bernama Aqinfa itu... tidak bisa diukur. Itu berarti tidak bisa dikendalikan. Bisa saja menjadi ancaman.”
“Namun justru karena itu,” sahut Tetua Lin dari Lembah Qingming, “kita harus membimbingnya. Apakah kita harus menolak seorang yang berbakat hanya karena kita tak memahaminya?”
“Benar. Jika kita tak menuntunnya, siapa yang akan?” tambah tetua dari Sekte Air Dingin. “Kalau dia memang kekuatan besar, mengapa tidak menjadikannya pelindung dunia ini?”
“Dan kalau dia ancaman?”
“Kalau begitu… kita akan bertanggung jawab penuh. Tapi kita tidak akan tahu... jika tak memberinya kesempatan.”
Dan sementara perdebatan itu berlangsung, di halaman lapangan kosong, Aqinfa berdiri bersama teman-temannya, sementara Ziqi tetap setia di sisi.
Diam. Tapi tidak pergi.
Dan itu sudah cukup membuat hati Aqinfa... terasa hangat.