Mereka sama-sama pendosa, namun Tuhan tampaknya ingin mereka dipertemukan untuk menjalani cinta yang tulus.
Raka dan Kara dipertemukan dalam suatu transaksi intim yang ganjil. Sampai akhirnya keduanya menyadari kalau keduanya bekerja di tempat yang sama.
Kara yang supel, ceria, dan pekerja keras. Berwatak blak-blakan, menghadapi teror dari mantan suaminya yang posesif. Sementara Raka sang Presdir sebenarnya menaruh hati pada Kara namun rintangan yang akan dihadapinya adalah kehilangan orang terpenting di hidupnya. Ia harus memilih antara cintanya, atau keluarganya. Semua keluarganya trauma dengan mantan-mantan istri Raka, sehingga mereka tidak mau lagi ada calon istri yang lain.
Raka dan Kara sama-sama menjalani hidupnya dengan dinamika yang genting. Sampai akhirnya mereka berdua kebingungan. Mengutamakan diri sendiri atau orang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nine
Stephanie memutar-mutar cangkir teh cammomilenya dengan agak tertegun. Sepertinya dia sedang berpikir akan memulai ceritanya mulai dari mana.
“Hm…gimana ya menjelaskannya.” dia mengetuk-ngetuk ujung jemarinya ke meja.
“Panggil aja deh orangnya. Paling ngomel dikit gara-gara diganggu kerja.”
“Gimana bu?” Kara kebingungan karena Bu Stephanie bergumam tak jelas.
“Kamu, shhh.” Stephanie menunjuk Kara menyuruhnya diam dulu.
Kara merasa, aura Stephanie ini bahkan lebih ‘menekan’ daripada Raka.
ia seperti ‘Direktur Bayangan’ berkedok Asisten.
Stephanie mengirim pesan singkat ke seseorang.
lalu ia kembali diam.
Kara bahkan tak berani mengganggunya.
Tak lama, Raka pun datang.
Sambil cemberut.
Ia menghampiri Stephanie dan duduk di depan wanita hamil itu.
“Apa sih Mbak?! Pakai ngancem segala!” sahutnya kesal. Raka memanggil Stephanie dengan sebutan ‘Mbak’.
“Kamu di sini?” ia terkejut melihat Kara duduk di sampingnya.
“Kalian berdua diam, aku mau ngomong serius.” kata Stephanie.
Kenapa sekarang Stephanie terlihat seperti Kepala Keluarga beneran?!
Stephanie menarik nafas panjang,
menghembuskannya dengan berat.
Lalu memulai ceritanya ke Kara.
“Saya ini… adalah Kakak Sepupu Raka. Bu Annisa, Tante Raka, Komisaris lama, adalah Tante saya juga. Dan Raidan adalah keponakan saya. Yang tahu hal ini hanya Karyawan di bagian Sekretaris, lantai 35. Jadi pekerjaan sebagai Personal Assistant saya peroleh gara-gara kami ada hubungan keluarga. Tetapi, belakangan rahasia ini diketahui oleh Manajemen dari anak Usaha Lain karena ada foto saya di acara keluarga. Dan mereka mulai protes. Karena itu saya berniat Resign.”
Ini menjelaskan kenapa Stephanie bisa bekerja sangat lama di sini. Dan kenapa Raidan bisa sampai memiliki kamar khusus di rumahnya.
“Pekerjaan ini mencakup seluruh kehidupan pribadi Raka yang tentunya Tertutup untuk publik. Jadi kandidat yang dipilih haruslah orang yang bisa merahasiakan semua persoalan keluarga Raka.” Stephanie menunjuk Raka.
“Tadinya, saya akan mendelegasikan semua pekerjaan Ke Rachel karena suami saya ingin saya berhenti bekerja dan fokus ke anak-anak saya. Rachel adalah anak kandung Raka dari istri pertama, tapi manajemen menentang karena konflik kepentingannya terlalu erat. Hal itu akan menimbulkan nepotisme perusahaan. Kami sedang kebingungan karena belum ada kerabat yang siap menggantikan saya. Dan kamu… tiba-tiba kamu datang. Kamu ditunjuk secara langsung di depan orang banyak. Dan kamu adalah orang luar. Pertemuan kalian kemarin bukan sekedar COD-an hape kan?! Ngaku kamu Raka!”
Raka terkekeh sambil menunduk.
Kara diam saja. Ia tidak merasa berkewajiban menjawab karena menurutnya kehidupan pribadinya adalah privasinya. Ia akan bilang kalau ia mau bilang dan kalau urusannya hidup dan mati seseorang. Tapi saat ini, diam adalah hal terbaik, menurutnya.
Biar Raka saja yang menjelaskan.
“Iya, Mbak.” sahut Raka.
Stephanie tarik nafas.
“Kamu hanya bilang itu? Hanya ‘Iya Mbak’?!”
“Yah…” Raka mengangkat bahunya. “Lagipula Kara karyawan yang lumayan bisa beradaptasi. Apa salahnya dia jadi asistenku? Dia bahkan tahu hal yang tidak kita ketahui.”
Stephanie melipat kedua tangannya di depan dadanya. “Ini terlalu tiba-tiba Raka. Tante pasti akan datang dan menyelidikinya. Kara akan terbebani.”
“Ya nggak masalah.” Raka menyeringai. “Hubungan kami profesional kok. Jual-belinya sah sesuai kesepakatan. Ya Sayang?” Raka menoleh ke arah Kara.
“Sayang palamu.” gumam Kara.
“Kalian ini…” Stephanie hampir kehabisan kata-kata.
“Bu Step. Saya pertegas satu hal ya bu.” Kara mengangkat tangannya. “Saya bukan ani-ani. Saya malah yang bayar dia.”
“Ck ah! Ngapain kamu bilang itu sih?!” keluh Raka.
“Ya tapi kan benar, Pak.”
“Bayar? Kamu bayar dia? Gimana maksudnya?! Bisa-bisanya kamu bayar? Raka jadi gigolo dong?” Stephanie lalu menoleh ke arah Raka dengan mimik muka tak percaya. “Gila kamu Raka! Kamu kekurangan uang?!”
Rakanya malah cengengesan. “Iya Mbak, buat jajannya Raidan, hahahah!”
“Ini bukan saatnya bercanda, Raka!” desis Stephanie.
“Ini diluar perkiraan Bu.” Kara mencoba menengahi suasana agar tidak semakin salah paham. Menurutnya orang yang paling berhak mendengarkan penjelasan ini Ya Stephanie. Dia tak mungkin membeberkannya ke orang lain karena berhubungan dengan keluarga besarnya. “Saya itu tadinya nyewa Om-Om dari aplikasi, buat mencurahkan hasrat dan perasaan karena saya lagi ‘pingin’ tapi saya baru cerai. Sekalian saya ingin foto-foto sama Om Gadun palsu untuk bikin mantan suami cemburu. Yang datang adalah dia.”
“Kalau aku…” Raka buka suara. “Waktu itu lagi bosan main solo. Baru sekali ini coba-coba ke aplikasi kencan, booking yang kira-kira paling cantik. Janjian di hotel yang aku tunjuk. Eeh sampai sana dan nunggu, Kara nyamperin aku. Main ‘iya’ aja, soalnya nggak hapal nama. Kupikir dia beneran yang dari aplikasi kencan. kita berdua sadarnya pas mau saling transfer, Mbak. Ternyata salah orang. Maklum nggak pernah sewa gitu-gituan sebelumnya.” kata Raka
“Saya Juga baru pertama kali ke aplikasi kencan, kata teman saya di sana banyak om-om mapan yang butuh teman. Daftarnya juga mahal loh Bu. Ya saya yakin aja kalau saya tidak dibohongi.” kata Kara
“Kemarin kita malah kena denda karena orang yang kita sewa luntang-lantung di lobby hotel saat kami berdua ‘sibuk transaksi’ di atas.” jelas Raka.
“Kalian berdua adalah penyewa.” Stephanie menarik kesimpulan.
‘Betul.”
“Dan kalian berdua tidak sadar awalnya.”
“Ya.”
“Tidak mencocokkan wajah dengan aplikasi?”
“Hm. itu salahnya. Mencocokkan-nya baru besok paginya.” kata Raka.
“Setelah kami sadar kalau ada keganjilan di transaksi kami.” tambah Kara.
“Betul.” sahut Raka.
“Bodoh.” desis Stephanie.
Mereka berdua terdiam.
“Jadi kalian ada hubungan cinta?” kata Stephanie tegas ia bertanya.
“Tidak.” jawab Raka dan Kara berbarengan.
“Tidak?!”
“Tidak ada yang seperti itu.” desis Kara.
“Iya belum ada.” kata Raka.
dan setelah itu suasana Hening.
Stephanie dengan pandangan menerawang-nya.
Kara menyibukkan diri dengan cake-nya
Dan Raka yang mulai sibuk dengan pekerjaannya.
Tapi tak ada yang berani beranjak dari cafe.
“Om.” bisik Kara ke Raka.
“Hm.”
“Aku udah dapat data dari temen SMA-ku. Tentang Pak A.”
“Apa tuh?”
“Pak A punya ani-ani.”
“Hooo, terus?”
“Saya ke Instagram ani-aninya.”
“dan?”
“Di pantulan kaca ada Pak A. khehehehehe!”
Raka mengambil ponsel Kara, lalu menzoomnya. Terlihat di pantulan cermin kecil, Pak A hanya dengan celana dalam, dan pose siap tempur, saat si ani-ani joget-joget hanya pakai handuk. Captionnya ‘Dapat apa dari Gadunku tercinta?’.
“Dapat apa? Dapat tulah.” kekeh Raka. “Hehehehe.”
“Hehehehe.” kara ikut terkekeh licik.
“Jadi tender nih Om. Traktir ya.” bisik Kara.
“Ngapain sih nunggu tender? Sekarang juga bisa. Udah produksi lagi nih.”
“Anjir geli banget sih…”
“Heh kalian berdua!!” seru Stephanie sambil gebrak meja.
Kara dan Raka kembali tegang.
“Jangan macam-macam di kantor. Jelas?” ancam Stephanie.
“Siap Mbak.” sahut Raka.
“Baik Bu.” desis Kara.
Raka menarik Kara supaya pergi cepat-cepat dari sana sebelum pikiran si Mbak Yu Stephanie berubah lagi.
tp fakta di lapangan tidak sesederhana itu/Awkward/
ketahuan
udahhhh
gas.. dapat restu dr sahabat dan seng mantan gebetan