Seorang siswa SMA yang bernama Revan Abigail adalah siswa yang pendiam dan lemah ternyata Revan adalah reinkarnasi seorang Atlet MMA yang bernama Zaine Leonhart yang ingin balas dendam kepada Presdirnya.
Siapakah Zaine Leonhart yang sebenarnya? mengapa Zaine melakukan Reinkarnasi? Rahasia kelam apa yang disembunyikan Presdir itu?
Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lynnshaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 - EVANNEA (AKHIR)
Angin dingin menusuk kulit. Langitnya kelabu, dan reruntuhan lama milik Robert berdiri seperti hantu masa lalu sunyi, terabaikan, tapi penuh bahaya. Bangunannya runtuh sebagian, dengan struktur besi melengkung dan kabel-kabel tua yang menjuntai seperti akar mati.
Revan berdiri di depan pintu gerbang fasilitas, dengan Emma dan Riko di belakangnya. Mereka bertiga dalam pakaian lapangan penuh, bukan untuk perang… tapi untuk kemungkinan terburuk.
“Menurut peta, sinyal terakhir Rafa ada di dalam sini,” gumam Revan.
Riko membuka peta holografik kecil. “Sinyal makin lemah… tapi masih ada. Gue curiga Robert ninggalin satu sistem cadangan di sini.”
Mereka masuk. Langkah mereka menggema di koridor tua. Bau logam dan listrik terbakar masih tercium meski sudah lama terbengkalai.
Saat tiba di pusat fasilitas tepat di inti sistem lama Revan berhenti.
Sebuah kapsul kaca berada di tengah ruangan, retak sebagian. Di dalamnya… bukan Rafa.
Melainkan… Robert Marvolo.
Separuh tubuhnya hangus. Separuh wajahnya kini hanya rangka logam, terbakar oleh ledakan terakhir. Tapi matanya… masih hidup. Sistem terakhirnya menggunakan sisa daya di tempat ini untuk bertahan. Rafa tak pernah ada di sini—semuanya hanya umpan.
"Z-07..." suara seraknya keluar seperti dengungan listrik rusak. “Kau datang tepat waktu... untuk mati bersamaku.”
Revan mundur satu langkah, tapi Riko langsung menodongkan senjata ke inti daya di belakang kapsul. “Berisik lo.”
Robert tersenyum. “Kalian pikir ini akhir? Dunia akan selalu kembali pada kekacauan. Dan kalian… hanya anak-anak dengan mimpi kosong.”
Emma melangkah maju. “Mimpi kosong? Dunia yang kita bangun dari reruntuhan lo itu bukan mimpi kosong. Itu harapan. Dan lo… gak lebih dari sisa masa lalu yang harus dikubur.”
Revan menatap kapsul itu, lalu mengeluarkan chip terakhirnya bukan untuk menyelamatkan, tapi untuk menghancurkan.
“Lo bilang gue cuma serpihan kegagalan. Tapi serpihan ini sekarang adalah tombak yang bakal ngancurin lo.”
Ia menusukkan chip ke panel pusat. Lampu langsung berkedip liar. Sistem overheat.
Robert berteriak. “KAU BUNUH DIRI KALAU LAKUKAN INI!!”
Revan tersenyum kecil. “Kalau itu artinya dunia bebas… maka gue siap.”
Emma dan Riko menarik Revan ke belakang.
BOOOMMMM!!!
Ledakan besar menghancurkan seluruh fasilitas. Api menyambar langit. Ledakan kedua datang dari dalam—menyapu bersih sisa-sisa sistem cadangan Robert.
"Zaine, sekarang kau senang kan? Dia sudah meninggal karena perjuangan kita." kata Riko sambil tertawa dan tubuhnya terluka parah.
Revan tertunduk, napasnya masih terengah-engah sementara debu dan asap memenuhi udara. Tubuhnya berdiri goyah, tertopang oleh Emma yang ikut terluka ringan. Sisa dari ledakan itu benar-benar meluluhlantakkan seluruh kompleks. Tak ada lagi jejak Robert. Tak ada lagi ancaman.
Revan menatap Riko yang duduk bersandar di reruntuhan dengan senyum penuh luka.
“Zaine... kalau lo masih ada di dalam sini... gue harap lo bisa liat ini,” gumam Revan lirih, nyaris tak terdengar.
Emma duduk di antara mereka, darah mengering di pelipisnya. “Kita menang, Rev… Rik...”
Revan mengangguk pelan, menatap ke arah langit.
“Bukan cuma kita. Semua orang yang pernah percaya dunia bisa berubah… juga menang.”
Mereka bertiga terdiam sejenak, menikmati keheningan baru yang bukan karena kematian… tapi karena kedamaian.
Dari kejauhan, drone bantuan mulai berdatangan. Tim evakuasi mengirimkan sinyal penyelamatan.
Revan menatap ke arah sisa puing ledakan terakhir, tempat Robert Marvolo, pencipta penderitaan, dan penguasa bayangan itu akhirnya musnah. Tak akan bangkit lagi. Tidak akan pernah lagi menaklukkan dunia dengan ketakutan.
“Lo lihat, Robert…” bisik Revan dengan suara getir, “serpihan kegagalan ini… justru yang ngalahin lo.”
...***...
Beberapa tahun kemudian, dunia mulai benar-benar berubah, hari kelulusan Revan pun tiba.
Tak ada sistem pengawasan. Tak ada drone pengintai. Tak ada penindasan otomatis. Kota-kota mulai membangun sendiri dengan tangan manusia. Anak-anak berlarian di jalan, tertawa tanpa rasa takut. Dan langit, langit itu... biru seperti janji yang baru ditepati.
Aula sekolah dipenuhi oleh suara tepuk tangan, tawa, dan musik yang mengalun pelan. Dinding-dindingnya dihias dengan pita dan bendera buatan tangan siswa. Tidak ada teknologi canggih, tidak ada sistem sensor, hanya kerja keras dan semangat anak-anak yang akhirnya bisa bermimpi lagi.
Revan berdiri di barisan paling belakang bersama teman-teman satu angkatan. Seragam putih-abu yang ia kenakan sudah penuh coretan dan tanda tangan. Beberapa menulis “10 TOP MURID BERPRESTASI”, lainnya cuma menulis “Tetap jadi Revan yang bodoh”. Ia tersenyum membaca tulisan-tulisan itu.
“Kamu siap, Rev?” bisik salah satu teman sekelasnya, Indira gadis pendiam yang selama ini duduk di belakang Revan selama tiga tahun.
Revan mengangguk. “Siap banget.”
Namanya dipanggil. “Revan Abigail!”
Ia naik ke atas panggung. Kepala sekolah menyerahkan ijazah. Lalu menjabat tangannya erat.
“Selamat Revan Abigail, memiliki prestasi juara tingkat nasional dalam bidang Sains dan juga memiliki juara MMA dan membawa nama sekolah SMA CYBER4RD menjadi sekolah yang unggul.”
Revan mengangguk. Matanya sedikit berkaca-kaca.
Dari kursi tamu, mama dan ayah Revan bertepuk tangan dan juga bangga kepada anaknya yang dulunya cengeng dan bodoh sekarang sudah menjadi murid berprestasi, Emma berdiri dan bertepuk tangan paling keras. Di sebelahnya, Riko duduk dengan kaki disangga penyangga logam, tapi wajahnya cerah. Mereka tersenyum padanya bukan sebagai pejuang, tapi sebagai kakak, sebagai keluarga.
Revan menatap ke arah langit-langit aula yang sudah dibuka sebagian, memperlihatkan langit biru yang terang. Ia mengangkat map kelulusannya ke atas, dan untuk sesaat... seolah dia menunjukkannya pada seseorang di atas sana.
“Gue lulus, Zaine.”
Dan kali ini, untuk pertama kalinya setelah semuanya berakhir, Revan tertawa—tulus, ringan, seperti anak SMA yang tak punya beban dunia di pundaknya. Karena memang... beban itu sudah selesai. Dan dunia akhirnya punya kesempatan untuk hidup.
Bab ini ditutup dengan bunyi lonceng sekolah. Sebuah lonceng tua, bukan sirene sistem. Dan setiap siswa yang keluar dari aula hari itu tahu satu hal pasti
Masa depan, akhirnya benar-benar milik mereka.
Namun saat ini ada orang asing memakai jubah hitam yang sedang duduk dan menatap Revan yang sedang berada di panggung, tidak tahu siapa orang itu namun tatapannya penuh dendam dan kebencian terhadap Revan, akhirnya orang asing itu pergi dari acara kelulusan itu.