Tentang Kania yang hamil di luar nikah. Tanpa dia tahu, yang menghamilinya adalah seorang CEO muda.
***
Dunia Kania menjadi gelap setelah malam itu. Tak ada lagi Kania yang ceria, tak ada lagi Kania yang murah senyum.
Yang ada hanya Kania yang penuh dengan beban pikiran yang gelisah menanti bulan selanjutnya. Berapa garis yang akan di hasilkan oleh sebuah testpack di bulan depan?
**
Bertahun-tahun Kania berjuang sendiri menghidupi buah hatinya yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
Kepandaiannya menarik orang-orang untuk menjadikannya bintang. Hingga akhirnya, lewat jalan itulah Kania di pertemukan dengan ayah kandung anaknya yang ternyata bukanlah orang biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhessy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
"Mama mending rencana Mama untuk menikahkan aku dengan Kania itu di batalin aja, deh."
Bram dan Hanum langsung menghentikan tangan mereka yang sedang menyendok makanan setelah mendengar ucapan anak semata wayang mereka yang di nilai tak pantas.
Bisa-bisanya dia sudah berbuat, kini bertemu dengan orangnya malah meminta untuk membatalkan rencana yang sudah di susun rapi oleh Hanum. Rencana agar Kania dan Devan bisa menikah.
"Kenapa? Kamu sudah berbuat jadi harus bertanggungjawab." Bram berucap.
"Tanggungjawab nggak harus nikahin dia kan, Pa? Lagian kan, Shaka sudah di beri jaminan pendidikan sampai kuliah nanti. Meskipun harus berlagak ada lomba dan segala macamnya demi bisa memberikan Shaka fasilitas yang baik. Apa lagi?" jawab Devan dengan santainya.
Hanum naik darah mendengar jawaban Devan yang terdengar tanpa beban, tanpa merasa bersalah, dan seolah tak memiliki dosa apapun.
"Kamu nggak mikirin kehidupan Kania selama ini, Devan? Kamu enak cuma ngeluarin benih dan udah, kamu anggap selesai begitu saja. Sedangkan Kania, kamu pernah berpikir bagaimana hidup dia setelah apa yang kamu lakukan? Hamil, menghidupi anaknya seorang diri. Belum lagi kalau dia dikucilkan oleh masyarakat atau mungkin orangtuanya."
"Ma, dia bukan wanita baik-baik. Aku ketemu dia aja di club. Dan kemarin aku lihat dia berpelukan dengan laki-laki yang berbeda dengan laki-laki yang sering aku lihat bersama Kania."
"Siapa tahu dia adiknya, atau kakaknya. Kamu kan, nggak tahu. Jangan asal menuduh tanpa bukti."
"Sudah, sudah." Bram menengahi. Acara sarapan mereka yang semula tenang di buat berantakan oleh Devan.
Mood Hanum sudah rusak. Rasanya kesal sendiri dengan anaknya yang ingin lari dari tanggungjawab.
"Devan, Papa tidak pernah mengajarkan kamu untuk lari dari tanggungjawab. Lakukan kewajiban kamu pada Kania yang harusnya kamu lakukan sejak dulu. Lagipula, apa kamu rela jika anak kamu memanggil orang lain dengan sebutan ayah? Sedangkan ke ayahnya sendiri dia memanggil Om. Kamu rela?"
Devan tercenung mendengar ucapan Bram. Ada benarnya juga apa yang di katakan papanya. Sejak awal pun sebenarnya Devan tidak rela jika Shaka memanggil orang lain dengan sebutan ayah sedangkan ke dirinya memanggil Om.
Terlepas bagaimana ibunya, Shaka tetaplah anaknya. Darah dagingnya.
"Sudahlah. Percuma bicara dengan Devan, Pa. Semut di seberang lautan dia bisa lihat, tapi gajah di pelupuk mata tak terlihat oleh Devan." Semua orang memandang Hanum dengan penuh tanya. Apa maksud dari ucapannya barusan.
"Dia ketemu sama Kania di club malam dan mengatakan bahwa Kania bukanlah wanita baik-baik. Tapi dia lupa bahwa dia juga datang ke club malam sehingga bisa bertemu dengan Kania. Kalau seperti itu, apa bedanya dia dengan Kania, Pa? Sama-sama nggak baik tapi nggak mau introspeksi diri. Sudahlah. Papa kalau mau berangkat hati-hati. Mama mau ke kamar. Udah nggak ***** buat sarapan."
Hanum segera beranjak dari tempat duduknya tanpa ada yang berani menahan langkah Hanum. Kalau ibu ratu sudah merajuk, siapapun harus tunduk.
🌼🌼🌼
Sarapan Kania dan Shaka pagi ini ada yang berbeda. Kini, di tengah-tengah mereka ada Tristan yang memecah kesepian.
Shaka yang baru kemarin mengenal Tristan sudah sangat akrab. Memang anak itu mudah mengakrabkan diri dengan siapapun. Sebab itu Kania harus menjaganya dengan extra.
Takut Shaka akrab dengan orang yang berniat jahat pada orang lain. Penculikan, misalnya.
"Nanti kalau Shaka sudah besar, Shaka ingin jadi pilot seperti Om Tristan." Shaka berucap riang sambil menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
Kania tertawa kecil. "Aamiin. Kalau begitu Shaka harus apa?"
"Belajar yang rajin."
"Pintar."
Kania dan Tristan tertawa kecil mendengar jawaban Shaka.
Sesaat kemudian, mobil jemputan sekolah Shaka sudah tiba. Sudah satu minggu ini Shaka ikut mobil sekolah karena Kania harus mencari pekerjaan dan sampai sekarang belum ada yang menerima dirinya untuk bekerja.
"Shaka pintar ya, Mbak."
Kania mengangguk setuju dengan pernyataan Tristan. Baru kemarin mereka bertemu, namun sudah banyak hal yang keduanya ceritakan. Termasuk tentang keberuntungan Shaka.
Tapi, ada hal yang belum mereka bicarakan. Yaitu soal orangtua mereka. Dan juga apa yang terjadi sehingga Kania bisa hamil dan di usir oleh orangtua mereka sendiri.
"Kita pulang ke rumah yuk, Mbak."
Senyum di bibir Kania langsung meredup setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Tristan.
Bukan Kania tidak mau. Kania sangat ingin. Tapi Kania masih takut ayahnya belum memaafkan dirinya meskipun sudah lima tahun lamanya.
"Mbak takut, Dek. Mbak takut mereka belum bisa menerima Mbak kembali. Kesalahan Mbak sangat besar." Kania menunduk sedih. Air matanya berjatuhan jika mengingat kedua orangtuanya.
"Kita belum mencobanya, Mbak. Kita bawa Shaka. Siapa tahu bapak bisa luluh kalau lihat Shaka. Karena hanya bapak yang belum bisa menerima Mbak Kania. Kalai ibu, aku sering lihat ibu nangis di kamar Mbak sambil memegangi foto Mbak."
Hati Kania kian tersayat mendengar perihal ibunya yang terus menangisinya.
"Kalau membawa Shaka, Mbak takut Shaka akan melihat Bapak marah-marah nanti. Itu nggak bagus buat perkembangan Shaka."
"Kita akan mencobanya, Mbak. Biar aku yang bawa Shaka kalau nanti bapak masih marah-marah. Tapi semoga saja tidak. Semoga bapak luluh dengan adanya Shaka."
Meskipun masih ragu, namun akhirnya Kania menganggukkan kepalanya. Dan hal itu di sambut senyum bahagia di bibir Tristan.
Mereka berencana akan pulang seminggu lagi menyesuaikan jadwal terbang Tristan yang mulai padat akhir-akhir ini.
"Sebenarnya, apa yang terjadi saat itu, Mbak? Bapak dan ibu tidak ada yang mau bercerita tentang hari itu."
Mata Kania menatap jajaran pot bunga mawar yang bunganya sedang bermekaran. Mengingat kejadian malam itu, sama halnya dengan membuka luka lamanya.
Luka yang belum mengering sepenuhnya, namun lukanya kembali terbuka setelah pertemuannya dengan Devan.
"Malam itu, mantan pacar Mbak yang bernama Roni membawa kabur uang orangtuanya yang merupakan hasil penjualan sawah. Ibunya nangis-nangis minta ke Mbak agar Mbak mencari Roni. Akhirnya Mbak datang ke tempat hiburan malam, yang Mbak tahu Roni sering datang ke sana. Tapi, bukan Roni yang Mbak temukan. Justru Mbak mendapatkan perlakuan kurang ajar dari lelaki yang nggak Mbak kenal. Dia kasar, menyakiti Mbak, dan menganggap Mbak seperti wanita malam karena setelah melakukan hal keji itu, dia meninggalkan sejumlah uang di dalam tas Mbak."
Tangan Tristan terkepal erat mendengar penjelasan Kania. Tidak terima kakaknya di perlakukan seperti itu.
"Di mana Roni itu? Dan, apa Mbak sudah tahu siapa lelaki yang melakukan hal itu?"
"Roni sudah meninggal dalam kecelakaan. Dan, ya. Mbak sudah bertemu lagi dengan lelaki itu. Dan ternyata, dia adalah anak dari yang memberi beasiswa untuk Shaka. Rumit, ya?" Kania tertawa kecil. Sekaligus miris. Jalan hidupnya begitu berliku-liku.
"Di mana dia, Mbak? Biar ku hajar dia."
"Tidak perlulah, Tan. Meskipun Mbak sendiri rasanya ingin membunuhnya. Semua sudah menjadi takdir Mbak. Pahit manisnya sudah Mbak jalani sendiri selama lima tahun ini. Lagipula, jaga nama baik kamu dan maskapai tempat kamu bekerja. Jangan kotori tangan kamu untuk hal-hal seperti itu."
"Tapi ini tidak adil, Mbak. Dia bisa hidup bebas. Sedangkan Mbak Kania harus menanggung semuanya sendiri. Cibiran orang, di usir sama Bapak. Ini nggak adil, Mbak."
"Adil dan tidaknya, itu tergantung bagaimana hati kita yang merasakannya, Tan. Berat memang, tapi sekarang Mbak di kelilingi orang-orang yang menyayangi Mbak. Ada Shaka, kamu dan_"
"Mas Rama?" Ucapan Kania terhenti karena Tristan yang menyelanya dengan cepat.
Mendengar nama Rama di sebut, Kania menunduk malu. Pipinya memerah. Kania mengulum bibirnya menahan senyuman.
"Mas Rama luar biasa ya, Mbak. Aku sangat berterimakasih padanya karena selama ini sudah menjaga Mbak Kania dan Shaka dengan sangat baik."
Kania mengangguk setuju. "Dia memang sangat baik, Tan. Sampai Mbak nggak tahu bagaimana Mbak harus membalasnya. Yang bisa Mbak lakukan hanyalah membalas perasaan dia, Tan."
"Sudah sejauh mana hubungan kalian, Mbak?"
"Kalau di bilang pacaran, kayaknya udah nggak pantas di umur segini ya, Tan?" Kania terkekeh pelan. "Tapi kami memang ada rencana untuk lebih serius. Cuma Mbak belum siap kalau belum mendapatkan maaf dari bapak dan ibu. Mbak juga masih ragu apakah keluarga Rama bisa menerima Shaka dan masa lalu Mbak."
Tristan mengangguk paham. Dia paham betul bagaimana perasaan Kania. Bukan hal yang mudah untuk melangkah jika masa lalu terus membayangi.
Tidak semua orang juga bisa menerima masa lalu Kania. Terlepas bagaimana baiknya mereka bersikap di depan Kania. Wajah dan bibir bisa berbohong. Tapi tidak dengan hati.
Bahkan di jaman sekarang, mana yang tulus dan mana yang tidak sudah sulit untuk di bedakan.
🌼🌼🌼
udah up lagi, nih. rajin, ya... 🙈😆
di dunia nyata aja banyak tuh samaan nama..
gak ush peduliin nyinyiran orang thor, anggap aja tuh orang bnr" ngehayati cerita kamu