"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membangun II
Hari itu, matahari bersinar hangat, langit cerah seolah ikut menyambut awal yang baru bagi keluarga Pak Aryo. Lahan bekas reruntuhan rumah yang dulu penuh puing dan kenangan kini mulai dibersihkan. Debu-debu masa lalu disapu, digantikan dengan suara riuh para warga yang datang bergotong-royong, membawa alat tukang dan semangat tulus untuk membantu.
Dua pick up datang membawa material bangunan seperti semen, batu bata, kayu, serta besi beton. Tak lama setelah itu, para warga langsung bergerak cepat. Mereka membuat garis pondasi, lalu mencampur semen, dan menata batu bata pertama dengan penuh kehati-hatian.
Beruntungnya, sebagian dari para warga yang ikut membantu memiliki skill di bidang pembangunan, dikarenakan hampir semua pekerja di kampung tersebut merupakan seorang kuli bangunan.
Di tengah kesibukan itu, Kaan tampak berdiri di antara mereka, mengenakan kaus biasa dan celana panjang yang kini kotor oleh debu dan pasir. Ia berbicara dengan dua orang tukang berpengalaman, menjelaskan denah rumah sambil menunjuk ke beberapa titik di tanah.
"Yang ini ruang tamu, sebelah situ dapur, dan tiga kamar ada di bagian belakang." Jelasnya.
Para tukang mengangguk sambil mencatat dalam benak, lalu mulai bergerak.
Kaan tidak hanya berdiri sebagai pengarah. Ia juga ikut membantu membawa benda-benda berat seperti mengangkat besi, membawa semen, dan bahkan menggali fondasi di beberapa sudut. Dengan cepat ia mengelap wajahnya yang basah oleh keringat, meskipun ia sebenarnya tidak pernah melakukan tugas berat seperti ini, dan sempat kewalahan, namun ia tetap melakukan jatah tugasnya dengan sungguh-sungguh.
Dari kejauhan, Pak Aryo dan bu Mita yang juga ikut membantu kecil-kecilan, menatap semua para warga yang mau membantu mereka itu itu dengan mata berkaca-kaca. Rasanya seperti mimpi, rumah mereka yang runtuh kini akan berdiri kembali, lebih kokoh dan nyaman, dengan desain yang mereka sendiri pilih.
Aryo dan Mita memilih desain rumah yang sederhana dan tidak terlalu besar saat ditanya soal model rumah.
Namun, Leyla sempat menawarkan ide lain. Leyla menawarkan model rumah pak Aryo dibuat fungsional. Dengan tiga kamar untuk mereka berdua, kedua adik Murni dan juga Murni sendiri karena ia sudah menikah. Serta dapur yang luas, supaya Mita bisa bergerak dengan leluasa ketika memasak.
Bersama ruang tamu yang cukup besar untuk menerima tamu, sebab Leyla yang memberitahu mungkin rumah itu akan menjadi tempat berkumpulnya para cucu-cucu mereka nanti.
Bu Mita sempat tersenyum malu waktu itu, dan akhirnya setuju. Kini, angan-angan Aryo dan Mita yang ingin punya rumah yang layak itu mulai jadi kenyataan.
Sementara para warga saling bekerja sama dan bergurau ringan di sela-sela pekerjaan, ada satu yang tampak berdiri diam di samping pagar. Murni. Ia memperhatikan Kaan dari jauh, melihat betapa tekunnya laki-laki itu bekerja bersama warga.
Murni tak pernah menyangka, pria yang kini menjadi suaminya itu, meski pernikahan mereka bukan atas cinta sama cinta, bisa dengan tulus dan ringan hati membantu keluarganya. Padahal, Kaan bisa saja bersikap acuh, sebab ia sendiri tidak pernah benar-benar menginginkan pernikahan ini.
.
.
.
Tak terasa, matahari mulai naik lebih tinggi, menyinari suasana kerja yang ramai di sekitar fondasi rumah pak Aryo. Para warga masih sibuk membantu proses pembangunan, begitupun Kaan yang berdiri tak jauh dari tumpukan material, tangannya dipenuhi, tapi sorot matanya tampak fokus saat berdiskusi dengan dua orang pekerja mengenai ukuran balok yang akan dipasang.
Tak jauh dari situ, Murni datang menghampiri, sembari membawa nampan berisi gorengan hangat dan seteko kopi. Senyum kecil menghiasi wajahnya disertai sorot mata ragu ketika mendekati Kaan.
"Mas,” ucapnya sambil berhenti di dekat Kaan. “Ini... aku bawain kopi sama gorengan buat semua.”
Kaan menoleh, menyambut kehadirannya dengan tatapan ringan. “Terima kasih, kamu bisa simpan itu di sana.” Ujar Kaan sembari menunjuk ke sebuah meja kayu panjang sementara, yang terletak tak jauh darinya.
Namun belum sempat Murni meletakkan nampan tersebut di meja, suara lain tiba-tiba memotong suasana.
"Mas Kaan!”
Kaan mengalihkan pandangannya ke arah suara itu, begitu pula Murni. Dan seketika manik matanya mereka berdua mendapati sosok seorang gadis dengan rambut terurai rapi, mengenakan blus ketat dan jeans model terbaru, yang dengan percaya dirinya mendekat sambil tersenyum lebar.
Murni seketika tertegun, "Cherry?"
“Mas Kaan, ini… aku bawain gorengan juga buat orang-orang.” Ujar Cherry terdengar akrab sembari mengangkat kantong plastik besar berisi gorengan yang tampaknya baru dibeli dari warung.
Ia melangkah dengan gaya centil, sesekali mengibaskan rambutnya dan melirik Kaan penuh arti.
Kaan sempat mengerutkan kening, menatap Cherry tanpa ekspresi. Wajahnya menunjukkan usaha keras untuk mengingat siapa gadis itu, dan setelah beberapa detik, Kaan baru mengingat sosok tersebut.
“Ah… kamu yang waktu itu di tokonya Mak Nya?” Tanyanya pelan, dan masih tampak bingung.
“Iya, Mas! Wah, Mas Kaan inget juga. Aku Cherry mas, sepupunya Murni.” Ujarnya sambil tersenyum manis, bahkan terlalu manis malah.
Sorot mata Murni berubah, dari terkejut menjadi kaku. Ia menatap Cherry yang kini berdiri terlalu dekat dengan Kaan, seolah keberadaannya tak dianggap sama sekali.
Cherry tak berhenti di situ. Ia bahkan mulai menyodorkan gorengan ke arah Kaan. “Cobain, mas. Enak, lho. Aku pilih yang paling renyah.”
Kaan mengangkat alisnya, lalu menoleh ke arah Murni yang masih berdiri diam dengan nampan di tangannya. Seketika, ia melangkah mendekat ke arah Murni dan mengambil satu gorengan dari nampannya terlebih dahulu.
"Thanks, tapi yang ini saja," ucapnya sambil menyuapkan goreng pisang ke mulutnya. "Kamu bisa simpan gorengannya di sana, bapak-bapak pasti senang." Ujarnya sembari menunjuk ke arah meja tadi.
Cherry terdiam sejenak, senyuman percaya dirinya tampak goyah.
Sementara Murni tampak tertegun di tempatnya, ia tak menyangka bahwa Kaan dengan tegas lebih memilih mengambil gorengan darinya, daripada gorengan yang disodorkan Cherry.
Seketika ada rasa hangat menjalari dadanya, rasa yang tak bisa dijelaskan. Mungkin campuran dari terkejut, haru, dan sedikit... bangga. Apalagi saat tatapan Kaan yang teduh itu tertuju hanya padanya.
Di sisi lain, Cherry berdiri kaku, senyumannya terlihat mengendur perlahan.
"Apa-apaan itu?" batinnya dengan gusar. "Kenapa dia malah milih gorengan si kampung itu? Padahal aku udah dandan cantik begini. Gaya ku juga udah pas banget, tinggal sedikit lagi pasti nempel tuh cowok!"
Cherry menggigit bibir bawahnya, lalu menyodorkan kantong gorengannya ke salah satu bapak-bapak yang lewat.
“Ini, Pak… gorengannya buat teman-teman, ya.” Suaranya terdengar agak tinggi, seolah menutupi rasa kesalnya.
Sementara itu, gak jauh dari sana, di bawah pohon mangga yang rindang, bu Lastri sedang duduk bersama Mita dan beberapa tetangga wanita. Pundaknya bergerak pelan, memijit-mijit leher adiknya dengan ekspresi dramatis.
“Aduh, Mit… kakak ikut prihatin ya... rumahmu sampe rata gitu. Kamu yang sabar ya..." Ucapnya dengan suara pelan dan bernada iba yang dibuat-buat, plus air mukanya yang tak menunjukkan perasaan sedih yang nyata.
Mita menatapnya sekilas, dan hanya tersenyum tipis. “Iya, mbak. Tapi ya Alhamdulillah, Allah masih kasih jalan.”
Lastri menatap sekeliling sebentar sebelum mencondongkan tubuhnya sedikit. “Iya, Alhamdulillah ya Mit." Balas Lastri, lalu menatap kenarah para warga yang tengah sibuk menyemen.
"Tapi Mit, situ dapet duit darimana emangnya buat bangun rumah lagi? Maksudku… ya tahu sendiri kan, bangun rumah tuh nggak murah.” Timpalnya dengan nada serta ekpresi wajah biasanya yang terlihat rempong.
Mita menatap kakaknya sejenak, lalu tersenyum kalem. “Alhamdulillah, Mbak. Rezeki udah diatur. Allah kirim bantuan lewat jalan yang nggak disangka-sangka.”
Lastri mengerutkan keningnya, ia merasa tidak puas dengan jawaban yang terlalu religius itu. Matanya melirik ke arah Kaan yang masih sibuk berbicara dengan para warga.
Tiba-tiba bu Sri nyeletuk, dengan nada suara yang setengah keras, “Itu lho, Las… menantunya Mita itu… kayaknya orang kaya banget. Lihat aja tuh, gayanya… beruntung banget si Murni dapet suami tajir begitu.”
Lastri tersentak. “Kaya?!” batinnya penuh syok.
Matanya kini menatap lebih tajam ke arah Kaan, seolah baru benar-benar memperhatikan pemuda itu.
“Jadi… dia semua yang biayain pembangunan rumah ini? Semuanya?” Tanyanya tak percaya, dengan suara besarnya yang menggelegar.
"Ho’oh.” Bu Sri lah yang membalasnya pertanyaan itu. “Nak Kaan sendiri yang bilang semalam. Kalau semua biayanya ditanggung sama dia.” Timpalnya dengan suara bangga dan puas seolah ingin memanas-manasi Lastri.
Lastri terdiam. Matanya menatap tajam ke arah Murni yang kini kembali duduk di bawah tenda kecil bersama para pekerja. Senyum tipis yang awalnya menghiasi wajahnya perlahan memudar, digantikan oleh sorot iri yang tak mampu disembunyikan.
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣