Bagaimana jadinya jika seorang gadis manja harus menjadi pengasuh 3 anak CEO nakal yang tiba-tiba sangat lengket padanya?
Rosetta, seorang gadis cantik yang berusia 19 tahun, adalah putri seorang bupati yang memiliki keinginan untuk menjalani hidupnya sendiri. Namun ayahnya telah membuat keputusan sepihak untuk menjodohkan Rosetta dengan seorang pria tuatua bernama tuan Bramasta, yang memiliki usia dan penampilan yang tidak menarik. Rosetta sangat enggan dengan keputusan ini dan merasa bahwa ayahnya hanya menggunakan dia sebagai alat untuk meningkatkan karir politiknya.
Hingga puncaknya Rosetta memutuskan untuk kabur dari rumah. Di sisi lain ada Zein arga Mahatma, seorang bussiness man dan single parents yang memiliki tiga anak dengan kenakalan di atas rata-rata. Karena kebadungan anak- anaknya juga tak ada yang sanggup untuk menjadi pelayan di rumah nya.
Dalam pelarian nya, takdir mempertemukan Rosetta dan ketiga anak Zein yang nakal, bagaimana kah kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jeju Oranye, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter : 23
Mendung menghiasi wajah ketiganya. Mereka yang tadinya begitu excited dan ceria kini berbalik badan dengan lesu, mata ketiganya bersitatap langsung dengan manik coklat Rosetta yang juga sedang menatap iba. Chiara langsung berlari untuk memeluk Rosetta, sementara Alvaro dan Alaska berbalik lagi menatap ayahnya.
Bugh! satu pukulan Alvaro layangkan ke perut Zein. Meskipun ringan tapi cukup membuat Zein terkejut, matanya melotot marah.
"Apa maksud mu ini?! " Tanyanya mulai tersulut emosi.
"Papa memang tidak pernah menghargai perasaan kami! " ujar Alvaro menatap tak gentar, terlihat juga kekecewaan di sana.
Lalu setelahnya Alvaro berbalik dan berlari kencang begitu saja, melewati Rosetta yang menatap khawatir padanya. Zein semakin marah terlihat dari wajahnya yang mengeras.
"Alvaro!"
Tak ada sahutan, bocah itu terus berlari tanpa memperdulikan apapun lagi.
"Alvaro arka Mahatma!" kali ini Zein memanggil nama lengkap anak sulungnya itu dengan intonasi yang lebih keras. Namun tak di gubris sama sekali oleh bocah laki-laki berwajah tampan tersebut. Sampai akhirnya Zein hanya bisa menghela napas lelah.
Alaska juga menatap penuh kebencian pada ayahnya lalu dia pun berbalik menyusul sang kakak. Rosetta hendak menahan namun Alaska menepis nya dan melangkah lebih cepat.
Rosetta membuang napasnya, kasar. Ia kemudian membawa Chiara dalam gendongan yang gemeteran karena sepertinya dia ketakutan mendengar ayahnya membentak tadi.
Zein menatap gamang kepergian Rosetta yang membawa Chiara dalam gendongan nya, ia meraup wajah kasar, kala menyadari sudah bersikap berlebihan kepada anak-anak nya dan kini dia harus menanggung konsekuensi kemarahan mereka.
Saat Zein melangkah ke dalam, suasana remang dengan hanya mengandalkan cahaya bulan dari luar. Ia menyadari lampu sengaja di matikan. Berdecak pelan Zein berjalan menuju saklar lampu dan memencet tombolnya. Di saat itulah sepasang mata elangnya membulat kala melihat ruangan sudah di penuhi dengan balon- balon warna- warni, dan dinding- dinding sudah di hiasi pita sedemikian rupa. Di sofa depan televisi sudah tersedia berondong jagung dan banyak cemilan lainnya, ada permainan kartu juga di atas meja. Buku gambar beserta pensil warna dan krayon. Dan saat ia melengok ke meja makan di sana sudah terhidang berbagai jenis Sushi yang saat di lihat lebih dekat ternyata memiliki bentuk- bentuk yang aneh tapi dia seperti merasakan ketulusan dari tangan- tangan yang membuat nya.
"Mereka menyiapkan semua ini sebagai kejutan untuk mu tuan. " suara lembut perempuan dari belakang membuat Zein membalikkan badannya.
Di sana Rosetta berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan. Wajahnya juga menunjukkan kekecewaan meski terlihat samar.
"Mereka? anak-anak ku? " lirih Zein lebih terdengar sebagai sebuah gumaman namun Rosetta masih bisa mendengar nya.
"Ya tuan. Mereka sangat berusaha dan sungguh-sungguh untuk membuat kejutan ini. Tapi.. melihat reaksi mu tadi... " entah kenapa Rosetta tak bisa melanjutkan ucapan, suaranya seolah nyangkut di kerongkongan. Seharusnya Zein sudah tahu apa yang hendak ia utarakan.
Zein mengembuskan napas kasar, memijit pelipis nya dan memejam sesaat. "Maaf... aku terlalu lelah dengan masalah kantor. Seharusnya aku tidak membawa segala emosi itu sampai kesini. "
Rosetta mengesah singkat. "Jangan minta maaf padaku tuan. Tapi minta maaf lah pada anak-anak yang telah begitu effort untuk menyiapkan kejutan ini. "
"Kau benar. " Zein mengangguk sekilas sambil menyugar rambutnya.
"Aku akan meminta maaf kepada mereka besok. " lanjut nya kemudian.
Bibir Rosetta terangkat membentuk senyum tipis. Lantas ia mengangguk.
Zein membalasnya senyuman itu sekilas, ia hendak beralih pergi, namun suara Rosetta menahannya kembali.
"Tunggu tuan. "
Zein mengalihkan wajah padanya sesaat. "Ada apa? "
"Boleh aku memberikan sedikit saran? " cicitnya dengan nada sepelan mungkin berharap pria itu tak tersinggung.
"Katakan, "ujar Zein singkat.
" Tolong jangan terlalu keras pada mereka. Terkadang, anak-anak melakukan kenakalan bukan murni karena itu sifat mereka tapi bisa jadi karena mereka ingin menarik perhatian orang tua mereka yang tak bisa mereka dapatkan. Ketahuilah, anak-anak hanya ingin perhatian dan kasih sayang mu sebagai ayah. "
Zein bergeming, matanya berkelindan dengan kedua tangan terkepal. Awalnya Rosetta pikir pria itu akan marah karena ucapannya yang terlalu lancang hingga rasanya Rosetta siap jika harus di beri hukuman.
Namun kenyataan nya Zein membuang napas pelan, "baiklah akan ku ingat nasihat mu itu. "
Lantas senyum terkembang manis di wajah cantik bak purnama malam hari itu. "Baik tuan. Selamat malam. "
Kemudian Zein melangkah lebih dulu menuju kamarnya tanpa menoleh lagi. Sementara Rosetta pun akhirnya juga berjalan ke arah kamarnya dengan hati yang lebih ringan.
...----------------...
Esok paginya, mentari bersinar terang. Rosetta bersama apron yang kini menjadi teman kesehariannya, sudah sibuk berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan.
Anak-anak sekarang sudah lebih mandiri dan ia hanya perlu membantu sedikit dalam menyiapkan mereka untuk pergi ke sekolah. Sejak pagi wajah ketiganya sudah tertekuk dalam itu mengingat kan Rosetta pada pertama kali ia bertemu dengan Zein. Mereka memiliki vibe yang sama. Dalam hati Rosetta terkikik geli.
"Hari ini sarapan nasi goreng dan omelette. " Rosetta menghidangkan sarapan di atas meja. "Maaf ya jika kak Sissy hanya bisa memasak ini. Kak Sissy sedang belajar dan meningkatkan skill masak kak Sissy. "
"Tidak apa- apa bagi kami apapun yang di masak kak Sissy selalu enak. " seru Alaska menenangkan keresahan hati Rosetta.
Rosetta tersenyum. "Makasih anak ganteng. " ucap nya sambil mengusap kepala Alaska.
"Aku juga mau kak Sissy," ujar Alvaro sambil terdengar merajuk.
"Aku juga! " Chiara ikut- ikutan dengan suaranya yang cempreng.
Rosetta tertawa pelan, lantas mengusap kepala mereka bergantian agar tidak ada yang beririan lagi.
"Oh ya Sushi buatan kalian masih ada loh, mau di apakan? " tanya Rosetta. Suasana tiba-tiba menjadi hening, Rosetta menghentikan tangannya dalam menyendok nasi di atas piring lalu menatap ketiga anak itu secara bergantian yang langsung diam seribu bahasa. Aish, sepertinya dia salah karena membahas soal itu.
"Buang saja. " ucap Alvaro santai. "Kan tidak di makan juga. " lanjut nya sambil melengos.
"Tapi papa memakannya. " Sahutan dari Zein tiba-tiba membuat mereka menoleh namun hanya sesaat lalu mereka kembali fokus pada sarapan di hadapan.
Ketiganya hanya diam dengan wajah murung dan berbagai pikiran masing-masing. Rosetta yang memandang nya hanya menghela napas singkat sambil menoleh kearah Zein dengan raut wajahnya yang seolah mengisyaratkan dukungan agar Zein tidak menyerah demi berbaikan dengan mereka.
Zein yang mengerti dengan isyarat Rosetta, mengangguk pelan dengan tersenyum tipis.
Mereka lalu menikmati sarapan dengan hanya saling diam. Tak ada kecerian ataupun canda dan tawa ramai dari ketiga anak Zein itu. Rasanya sungguh sepi untuk Zein, seperti ada sesuatu yang hilang dan kurang lengkap.
*****