NovelToon NovelToon
Gadis Desa Vs Pewaris Sultan

Gadis Desa Vs Pewaris Sultan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Cintamanis / Anak Yatim Piatu / Cinta Murni / Romansa
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: I Wayan Adi Sudiatmika

Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, hiduplah Kirana, gadis cantik, cerdas, dan mahir bela diri. Suatu hari, ia menemukan seorang pemuda terluka di tepi sungai dan membawanya ke rumah Kakek Sapto, sang guru silat.


Pemuda itu adalah Satria Nugroho, pewaris keluarga pengusaha ternama di Jakarta yang menjadi target kejahatan. Dalam perawatan Kirana, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Namun, setelah sembuh, Satria kembali ke Jakarta, meninggalkan kenangan di hati Kirana.


Bertahun-tahun kemudian, Kirana merantau ke Jakarta dan tak disangka bertemu kembali dengan Satria yang kini sudah dijodohkan demi bisnis keluarganya. Akankah mereka bisa memperjuangkan cinta mereka, atau justru takdir berkata lain?


Sebuah kisah takdir, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh waktu, hadir dalam novel ini! ❤️

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I Wayan Adi Sudiatmika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23: Trauma dan Konsekuensi

Kejadian upaya pelecehan itu sangat membekas dalam diri Susi. Selama tiga hari sejak kejadian itu Susi tidak masuk sekolah. Trauma yang dialaminya begitu dalam seperti luka yang terus menganga di hatinya. Susi yang dulu dikenal sebagai gadis ceria dan penuh semangat… kini seperti bayangan dari dirinya sendiri. Dia sering terlihat diam dan duduk termenung di sudut ruangan dengan tatapan mata kosong seperti kehilangan cahaya yang dulu selalu menyala. Senyumannya yang dulu mudah mengembang kini hilang dan digantikan oleh ekspresi datar yang membuat siapa pun yang melihatnya merasa sedih.

Malam-malam menjadi momok bagi Susi. Dia sering terbangun di tengah malam karena mimpi buruk yang menghantuinya. Tubuhnya basah oleh keringat dingin dan tangisannya yang tak terbendung memenuhi kamarnya. “Tolong… jangan…,” bisiknya di antara isak tangis seperti masih terperangkap dalam bayangan kejadian itu. Dia memeluk bantal erat-erat seolah itu bisa memberinya rasa aman.

Orang tuanya yang melihat perubahan drastis pada anaknya merasa hati mereka hancur berkeping-keping. Mamanya sering menemaninya tidur sambil mengusap rambut putrinya yang basah oleh keringat sambil berusaha menahan tangis. “Anakku… anakku…,” bisiknya dengan suara gemetar penuh keperihatinan. Dia tidak tahu harus berbuat apa selain mencoba memberikan kenyamanan yang mungkin bisa dirasakan Susi.

Suatu malam Susi kembali terbangun dan menangis karena mimpi buruk. Mama Susi memandang suaminya dengan mata penuh kesedihan. “Kita harus berbuat sesuatu Pa…,” ujarnya dengan suara gemetar penuh dengan keprihatinan. “Dia tidak bisa terus seperti ini. Mama tidak tega melihatnya menderita setiap malam.”

Suaminya mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Aku setuju…,” ujarnya dengan suara berat. “Dia butuh bantuan psikolog untuk melewati ini. Kita tidak bisa membiarkannya berjuang sendirian.”

Mama Susi mengusap air matanya dan mencoba menenangkan diri. “Mama sudah cari-cari informasi tentang psikolog yang bagus. Ada satu yang direkomendasikan teman Mama. Katanya dia ahli menangani kasus trauma seperti ini.”

Papa Susi menghela napas dalam-dalam seperti mencoba menenangkan diri sebelum mengambil keputusan besar. “Baiklah… kita bawa Susi ke sana besok. Dia butuh pertolongan dan kita harus melakukan apa pun yang bisa kita lakukan untuk membantunya.”

Mama Susi mengangguk dengan matanya penuh harapan meskipun hatinya masih dipenuhi kecemasan. “Mama hanya ingin melihatnya tersenyum lagi… seperti dulu…,” ujarnya dengan suaranya hampir tidak terdengar.

Setelah itu Susi pun mulai menjalani terapi. Pertemuan demi pertemuan dengan psikolog membantunya sedikit demi sedikit untuk mengungkapkan perasaannya. Meskipun prosesnya lambat dan penuh dengan air mata tapi ada secercah harapan yang mulai muncul. Susi mulai bisa tersenyum lagi meskipun senyumnya masih terasa rapuh. Susi pun dapat mengikuti pelajarannya lagi setelah tiga minggu tidak masuk sekolah walaupun terapi masih berjalan.

Kirana, Ririn, Dina dan teman-temannya terus memberikan semangat kepada Susi dan berharap Susi dapat menjadi seperti dulu lagi… ceria dan penuh semangat.

-----

Setelah kejadian itu… orang tua Susi memutuskan untuk menemui orang tua Daniel. Pertemuan itu diadakan di rumah orang tua Daniel. Sebuah rumah mewah yang biasanya terasa megah dan mengesankan namun kali ini terasa dingin dan tegang. Ruang tamu yang luas dipenuhi dengan perabotan mahal tapi suasana yang menyelimuti ruangan itu jauh dari kata nyaman. Papa Susi duduk tegak di sofa dengan tangannya mengepal erat di pangkuannya. Wajahnya dipenuhi dengan kemarahan yang tertahan dan matanya tajam seperti pedang yang siap menghunus. Mama Susi duduk di sampingnya dengan tangannya memegang erat tangan suaminya dan mencoba memberikan dukungan.

“Kami datang untuk meminta pertanggungjawaban…” ujar Papa Susi singkat dengan suaranya tegas tapi penuh dengan emosi yang tertahan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti pukulan yang berat. “Anakmu telah menyakiti putri kami…” Matanya menatap langsung ke arah Papa Daniel dan tidak memberi ruang untuk keraguan.

Orang tua Daniel yang awalnya tidak percaya mencoba membela anaknya. Papa Daniel seorang pria berwibawa dengan postur tubuh tegap duduk di seberang mereka. Wajahnya awalnya tenang tapi ada sedikit keraguan di matanya. “Daniel anak baik-baik… Pasti ada kesalahpahaman di sini,” ujarnya dengan suara penuh dengan keyakinan palsu. Dia mencoba tersenyum tapi senyumnya terasa dipaksakan.

Mama Daniel yang duduk di samping suaminya juga mencoba menenangkan situasi. “Daniel memang kadang nakal… tapi dia tidak akan melakukan hal seperti itu,” ujarnya dengan suara lembut tapi penuh dengan pembelaan. Tangannya memegang erat tangan suaminya seperti mencoba mencari kekuatan.

Tapi Papa Susi tidak gentar. Dia mengeluarkan ponsel dari saku jasnya dan memutar rekaman video yang diberikan oleh Dina. Suara Daniel dan teman-temannya terdengar jelas. Suara penuh dengan ancaman dan ejekan. Suara itu seperti petir yang memecah kesunyian ruangan. Orang tua Daniel terdiam dengan wajah mereka memerah karena malu dan marah. Mama Daniel menutup mulutnya dengan tangan dan matanya berkaca-kaca. “Aku… aku tidak percaya…,” bisiknya denga suaranya gemetar. “Kami tidak pernah mengajarkan dia seperti ini…”

Papa Daniel menutup matanya seperti mencoba menahan amarah yang meluap. Tangannya mengepal erat di pangkuannya dan napasnya terasa berat. “Kami akan menanggung semua biaya terapi Susi…,” ujarnya dengan suaranya rendah tapi penuh dengan penyesalan. “Dan Daniel akan meminta maaf secara langsung…”

Tapi Papa Susi menggeleng dengan matanya tidak pernah lepas dari Papa Daniel. “Maaf tidak cukup…,” ujarnya dengan suaranya seperti baja yang dingin tapi tajam. “Kami ingin Daniel bertanggung jawab atas perbuatannya. Ini bukan hanya tentang permintaan maaf. Ini tentang keadilan.”

Ruangan kembali terasa sunyi dan hanya diisi oleh suara napas yang berat dan detak jam dinding yang berdetak pelan. Papa Daniel menarik napas dalam-dalam seperti mencoba menenangkan diri. “Saya mengerti…,” ujarnya dengan suara penuh dengan kekecewaan. “Agar tidak lagi menyebabkan trauma Susi… Kami akan memindahkan Daniel ke sebuah sekolah di pedesaan di Surabaya. Dia akan tinggal bersama pamannya. Dia seorang polisi. Aku harap dia bisa mengajarkan disiplin dan tanggung jawab kepada Daniel.”

Mama Daniel mengangguk pelan dan matanya masih basah oleh air mata. “Kami benar-benar minta maaf,” ujarnya dengan suaranya kecil tapi penuh dengan penyesalan. “Kami tidak pernah mengira dia bisa melakukan hal seperti ini…”

Papa Susi menghela napas panjang seperti mencoba menahan emosi yang meluap. “Kami hanya ingin Susi mendapatkan keadilan,” ujarnya dengan suaranya penuh dengan tekad. “Dan kami harap ini bisa menjadi pelajaran bagi Daniel.”

Akhirnya setelah seminggu dari kejadian tersebut, Daniel dipindahkan ke Surabaya tinggal bersama pamannya. Selain agar tidak menyebabkan trauma kepada Susi, juga sebagai tempat Daniel belajar disiplin bersama pamannya yang terkenal keras dan disiplin. Mereka semua berharap Daniel dapat berubah.

-----

Teman-teman Daniel juga tidak luput dari hukuman. Sekolah yang mengetahui kejadian itu melalui laporan orang tua Susi lalu memutuskan untuk memberikan sanksi tegas. Mereka diskors selama satu minggu dan diberi peringatan keras.

Kepala sekolah yang seorang pria paruh baya dengan wajah tegas menatap mereka satu per satu. Ruangan itu sunyi dan hanya terdengar suara napas tertahan dari beberapa siswa yang ketakutan. "Jika kalian membuat sedikit saja kesalahan lagi, kalian akan dikeluarkan dari sekolah dan dilaporkan ke polisi," ujarnya dengan suara berat dan penuh ancaman.

Teman-teman Daniel menunduk. Tidak ada lagi kesombongan di wajah mereka dan tidak ada tawa ejekan seperti biasanya. Mereka bukan lagi sekelompok anak yang merasa berkuasa.

"Apa kalian mengerti…?" Kepala sekolah mengulangi pertanyaannya dan kali ini lebih tajam.

Salah satu dari mereka mengangkat wajahnya perlahan. Matanya merah dan mungkin karena kurang tidur atau terlalu banyak menangis. "Kami... kami mengerti Pak," suaranya terdengar serak seperti berbisik. "Kami menyesal…"

Tak ada yang menyahut. Kepala sekolah menghela napas dan menatap mereka dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Penyesalan tidak ada artinya jika kalian tidak berubah. Buktikan dengan perbuatan… bukan hanya kata-kata."

Setelah itu ruangan kembali sunyi. Hanya ada perasaan sesak yang menggantung di udara. Saat mereka keluar dari kantor kepala sekolah dengan langkah berat seolah membawa beban yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Tidak ada lagi canda dan tidak ada lagi saling menyikut dengan bangga. Yang tersisa hanyalah ketakutan dan rasa bersalah yang perlahan mulai menggerogoti mereka.

-----

Kirana, Ririn, dan Dina kembali beraktivitas seperti biasa. Meskipun Kirana masih sering mendapat omelan dari Bibi Tari dan Rara namun dia tidak lagi terlalu mengambil hati. Sudah terlalu lama dia hidup dengan cacian mereka hingga kini rasanya semua itu hanya angin lalu. Setiap kali Rara mencibir atau Bibi Tari mengomel, Kirana hanya tersenyum tipis atau pura-pura sibuk dengan pekerjaannya.  

Ririn yang sudah paham betul keadaan sahabatnya hanya bisa menggelengkan kepala setiap kali melihat Kirana dimarahi. "Kamu ini luar biasa…," katanya suatu hari saat mereka menuju pondok Kakek Sapto.  

Kirana tertawa kecil. "Biasa saja… Kalau sudah sering… lama-lama kebal."  

"Tetap saja…," Ririn mendengus. "Kalau aku di posisimu… mungkin aku sudah meledak sejak lama,"  ujar Ririn dengan wajah kesalnya.

Kirana hanya tersenyum. Baginya… selama masih bisa sekolah dan selama masih bisa belajar di pondok Kakek Sapto semua itu sudah cukup.  

Setiap sore mereka berlatih seperti biasa di bawah bimbingan Kakek Sapto. Setelah mendengar cerita penyelamatan Susi, lelaki tua itu tampak begitu bangga. Matanya berbinar setiap kali melihat Kirana dan Ririn berlatih.  

“Tidak sia-sia kakek mengajari kalian,” katanya sambil tersenyum puas. "Keberanian tanpa ilmu hanya akan menjadi tindakan bodoh. Tapi kalian membuktikan kalau ilmu yang kakek ajarkan ini bisa kalian gunakan dengan baik."  

Kirana dan Ririn saling pandang sebelum tersenyum lebar. Rasanya seperti mendapat pengakuan dari seorang guru besar.  

Sementara itu Dina tetap dengan gayanya yang cerewet dan selalu penuh energi. Dia sering ikut mereka ke pondok tapi bukan untuk berlatih.  

"Aku kan bukan petarung seperti kalian," katanya dengan nada dramatis sambil duduk santai di atas tikar dengan tangan bersedekap. "Tapi aku ini penting… Setiap kelompok butuh seseorang yang bisa menjaga perbekalan!" ujarnya sambil tersenyum lebar.

Sambil tertawa dia mengambil sepotong singkong rebus dan menggigitnya dengan lahap. "Lagian… percuma kalian berlatih kalau nanti kehabisan tenaga, kan?"  

Kirana dan Ririn tertawa lepas. Memang begitulah Dina… selalu punya alasan tapi tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari mereka.  

Di pondok Kakek Sapto… mereka bertiga menemukan kedamaian. Di sanalah mereka bisa menjadi diri sendiri… tanpa cacian… tanpa tekanan… dan hanya persahabatan dan kebersamaan yang hangat.  

-----

Bab selanjutnya akan menjadi konflik yang akan mengubah hidup Kirana ke depannya.

1
Atik R@hma
pertemuan pertama, 😚😚
Atik R@hma
ok ka,,,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!