Malam "panas" antara Danar dan Luna, menjadi awal kisah mereka. Banyak rintangan serta tragedi yang harus mereka lalui. Masa lalu mereka yang kelam akankah menjadi batu sandungan terbesar? atau malah ada hamparan bukit berbatu lainnya yang terbentang sangat panjang hingga membuat mereka harus membuat sebuah keputusan besar dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kata Kunci, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29.
Luna menatap dalam retina mata Danar yang berbinar ketika Sang kekasih memulai cerita masa lalunya.
"Aku ini sebenarnya terlahir kembar..." kalimat awal Danar dengan wajah agak tertunduk dan posisinya berubah menjadi duduk dengan Luna yang berada disamping terdiam.
Senyum sesaat kemudian mengembang di wajah lumayan tampan Danar dan diperlihatkannya pada Sang Kekasih dengan kedua jemari yang terkait lalu dilanjutkan ceritanya,
"Dia lahir 2 menit lebih dulu dariku dan Mama memberi nama Damar, aku memanggilnya Kak Damar..."
Luna kemudian memegang lengan Danar dan memberi sentuhan lembut dana hangatnya. Lelaki itu kemudian memandang kearah depan dengan raut wajah yang sedikit ceria kala mengingat Sang Saudara Kembar.
"Kak Damar, kebalikan dariku. Dia anak yang penyabar, dewasa, jauh lebih tampan dan juga jauh lebih cerdas dariku. Mama lebih mengkhawatirkan aku ketimbang Kak Damar, karena sifatku waktu kecil dulu atau masih kadang - kadang muncul sekarang..." Danar terlihat tersenyum lebar dan tawa yang mengiringi ceritanya.
Luna pun ikut tersenyum saat melihat ekspresi wajah Sang Kekasih. Namun, mimik wajah Danar seketika berubah menjadi tegang dan agak emosi ketika ceritanya terus berlanjut,
"Tapi Kak Damar sudah lama meninggal karena aku yang membunuhnya...,"
Luna terkejut dengan dahi agak berkerut dan semakin di dekatkan tubuhnya kearah samping tubuh Danar dengan satu tangan mengelus pelan punggung prianya itu.
"Mas..." panggil Luna dengan suara pelannya.
"Hari itu, kami mau berangkat sekolah. Aku dengan tingkah kekanak - kanakkanku juga tidak sabaran, mengayuh sepeda dengan cepat tanpa melihat keadaan jalanan pagi itu. Aku ingat, sebuah truk hampir menabrak aku dan sepeda yang naik saat akan menyerang jalan. Disaat itulah, Kak Damar, dia menolongku..." air mata Danar pun keluar dengan nada suara yang berubah terisak dengan kedua tangannya bergerak menunjuk dirinya. Disisa cerita Danar terus - menerus menyalahkan dirinya atas kepergian Sang Saudara Kembar.
Luna langsung memeluk erat tubuh atletis Danar yang terlihat bergetar karena tangisnya yang pecah, ketika kenangan kelam itu kembali harus diingatnya.
"Mama bersikap seperti itu padaku sebagai bentuk kesedihan juga amarahnya yang tidak bisa diekspresikan karena kehilangan Kak Damar, anak yang selalu bisa diandalkannya. Semua memang salahku, salahku..." Danar kembali menyalahkan dirinya ketika tubuhnya sudah berbaring dan berhadapan dengan Sang Kekasih.
Luna menggeleng dan mengusap aliran air mata Danar lalu berkata,
"Mas, itu bukan salah kamu sepenuhnya. Ditambah waktu itu kamu masih terlalu kecil untuk mengerti semua, aku yakin disana Kak Damar tidak akan menyalahkanmu dan pasti dia mau kamu bahagia. Mas, kita hidup itu sudah ada jalan takdir yang mesti dilalui, mungkin usia Kak Damar memang hanya segitu. Kamu, mulai sekarang harus melupakan semua kejadian itu dan menjadikannya sebuah pelajaran di masa sekarang. Dulu ada Kak Damar yang nolong dan lindungi kamu, sekarang berarti giliran kamu yang harus jadi sandaran juga tameng buat orang yang kamu sayang juga cintai termasuk Ibu Rania..."
Danar seketika menarik tubuh Luna dan memeluknya erat dengan kedua mata terpejamnya.
"Terimakasih, sayang. Terimakasih. Aku nggak akan pernah janji apapun sama kamu, tapi aku akan buktikan keseriusan perasaan ini. Tapi maaf, untuk Mama itu beda cerita..." Danar tetap pada pendirian kerasnya terhadap Sang Ibu.
Luna terdiam dan hanya mengangguk pelan sambil membalas pelukkan Sang Kekasih.
xxxxxxxx
Beberapa waktu belakangan, Luna memang memutuskan bolak - balik untuk tinggal bersama Danar dan sesekali kembali ke rumah kontrakkannya. Perempuan muda itu dan Danar ingin lebih mengenal satu sama lain, ditambah Danar sendiri merasa sudah harus bertanggung jawab sepenuhnya atas Luna karena semua hal tidak baik dan melanggar norma Agama yang telah dilakukannya, hingga dia 1/2 memaksa wanitanya itu untuk pindah tinggal bersamanya, walaupun belum sepenuhnya.
"Besok, aku harus ketemu kakak kamu. Kita nggak bisa gini terus, sayang. Nggak bagus buat kamu sebagai perempuan, aku nggak mau kita dicap punya hubungan gelap dan kamu yang jadi sasaran kesalahannya, padahal ini semua karena aku..." Danar menjelaskan saat mereka sedang mencuci piring setelah sarapan pagi.
Luna berhenti mengusap piring hasil cucian Danar dan menatap Sang Kekasih dengan mata agak membesar juga debaran hebat di dadanya. Danar melirik kearah Luna yang kemudian memalingkan pandangannya sambil meletakkan piring itu dengan sangat pelan, kedua jemari cukup lentiknya kemudian memainkan kain yang digunakannya tadi. Danar kemudian terlihat melepas sarung tangan karet yang sempat digunakannya, lalu mendekat ke tubuh Luna dan dalam hitungan detik tubuh Luna sudah ada diatas meja persiapan diseberang wastafel. Kedua tangan kokoh Danar mengekang tubuh Luna dengan bertumpu pada alas meja itu, helaan napas terdengar sesaat dari Sang Pria. Luna menghindari pandangan mata Danar, namun kemudian satu jemari lelaki itu mengambil ujung dagu tidak lancip Luna hingga membuat pandangan mata wanitanya kembali berhadapan dengan retina miliknya.
"Kamu tau Mas, kenapa waktu itu aku kabur gitu saja? bahkan nggak minta pertanggung jawaban darimu..." ucap Luna dengan sesekali memandang kearah kedua jemari yang dimainkannya.
Danar kemudian kembali meraih dagu Luna, agar perempuan muda itu dapat melihat gelengan kepalanya.
"Aku tau, kamu bukan orang biasa walaupun aku nggak tau kalau kamu se kaya dan se berpengaruh ini. Pagi itu, ketika aku sadar dan kamu nggak ada yang ada dibenakku hanya satu yaitu kabur dan sangat berharap nggak akan ketemu kamu lagi..." belum selesai Luna menjelaskan, ucapannya dipotong langsung oleh Danar,
"Lalu kalau kamu hamil, gimana?"
"Aku sudah memikirkan itu juga sambil mengelus perutku, disepanjang perjalanan pulang hari itu dan aku memutuskan akan membesarkannya asal nggak ketemu sama kamu lagi..." jawab Luna dengan kepalanya yang kembali tertunduk.
Tawa kecil dengan senyum lebar Danar sambil mengelus kepala Luna dan kemudian memeluk tubuh agak kurus wanitanya itu.
"Kamu dan aku sudah jadi satu, kalau kamu takut karena embel - embel Perkasa, aku akan menjadikan kamu bagian dari kami tanpa perlu persetujuan Mamaku, asal keluargamu merestui sudah lebih dari cukup buatku. So, Luna Saphira, maukah kau menambahkan nama Perkasa dibelakang nama mu?" Danar perlahan melepas pelukkan nya dan 1/2 berlutut dihadapan Luna dengan mengeluarkan sebuah kalung berbandul bulat.
Pupil Luna membesar dengan kedua tangan yang langsung menutup mulutnya yang terbuka sangat lebar. Lelaki muda dan lumayan tampan itu secara tidak resmi melamar Luna di dalam dapur apartemennya dengan kesungguhan hati dan ketulusan yang bisa dilihat dari binar mata lelaki itu. Kini debaran hebat mengguncang jantung kecil yang dimiliki perempuan manis itu, ketakutan bercampur keraguan dan perasaan aneh lainnya menyelimuti Luna dalam satu waktu hingga membuatnya membeku sambil melihat kalung yang disodorkan Sang Kekasih.
********