Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.
Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.
Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.
Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 Masa Lalu Pilihan Mertua
Siang hari rumah begitu sepi. Diva tahu pasti ibu mertuanya sedang pergi, hobinya memang jalan-jalan. Kesempatan ini ia manfaatkan untuk memasak makanan sederhana untuk dirinya sendiri. Setelah selesai, ia menikmati makan siangnya dengan tenang. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama karena ibu mertuanya tiba-tiba sudah kembali.
“Sudah makan kamu, Div?” tanya ibu mertua santai.
“Iya, Bu,” jawab Diva singkat.
“Ibu lupa tadi, kirain kamu belum bangun,” ujar ibu lagi.
“Iya, Bu. Tak apa,” balas Diva dengan nada malas.
“Nah, begini Ibu suka. Kamu jadi menantu yang menurut.” Ibu mertua duduk di kursi dan tersenyum. “Jadi kalau nanti Ibu punya menantu dua, kan semuanya lengkap.”
Diva yang awalnya masih fokus dengan makanannya sontak mendongakkan kepala. “Maksud Ibu apa bicara seperti itu?” tanyanya kesal.
“Loh, betul kan yang Ibu bilang? Kamu cukup beres-beres rumah, masak, dan nanti Raya yang melahirkan anak untuk Arman. Jadi, kamu nggak perlu capek-capek hamil.”
Diva membeku sejenak. Kemudian, dengan suara bergetar menahan emosi, ia berkata, “Astaga, Bu. Aku masih sehat untuk hamil. Jadi, jangan berkhayal terlalu tinggi! Kalau memang Ibu menginginkan itu, aku yang akan mundur.”
Ibu mertua tertawa sinis. “Halah, kamu itu udah nggak kerja. Mau jadi apa kalau nggak diberi makan sama anakku? Hei, Diva, sadar! Kakakmu saja hidupnya susah, jangan menambah beban lagi.” Ibu berlalu dari dapur dengan wajah puas.
Diva mengepalkan tangannya di bawah meja. Aku tidak akan membiarkan diriku menjadi babu seumur hidup di rumah ini! Tunggu saja! Kalau suamiku masih berpihak kepadaku, berarti aku harus mempertahankan rumah tangga ini. Tapi kalau Bang Arman terang-terangan memilih Raya, aku tak akan ragu untuk pergi.
Dari dulu, Diva ingin pindah rumah, tetapi Arman selalu bilang kasihan pada ibunya. Itu alasan mengapa ia bertahan selama ini. Tapi kalau sudah menyangkut urusan mendua, ia tidak akan tinggal diam.
Di kantor, saat sedang menikmati makan siang di kantin, ponsel Arman tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk.
"Hai, Arman. Aku Raya."
Arman menghela napas panjang. Ia tahu pasti ini ulah ibunya yang memberikan nomor ponselnya kepada Raya. Ia memilih mengabaikannya dan melanjutkan makannya. Namun, tak lama kemudian, ponselnya kembali berbunyi.
"Kamu nggak rindu aku, Man? Aku rindu sekali sama kamu."
Arman mengepalkan tangan. Mau tak mau, ia mengetik balasan cepat.
"Cukup, Raya. Aku sudah menikah. Jangan ganggu aku lagi."
Tanpa menunggu respon, Arman bangkit dari kursinya dan berjalan keluar kantin. Jam istirahatnya sebentar lagi selesai, tapi pikirannya kini tak lagi fokus.
Selama sisa jam kerja, ia terus memikirkan pesan dari Raya. Hatinya gelisah. Kenapa, Raya? Kenapa setelah bertahun-tahun kamu pergi tanpa penjelasan, sekarang kamu datang lagi? Aku sudah berusaha melupakanmu, membangun rumah tangga dengan Diva. Kenapa sekarang kamu malah mengusik ketenangan ini?
Arman memejamkan matanya sejenak. Ia sadar, di dalam hatinya, masih ada ruang kecil untuk Raya. Bukan berarti ia tak mencintai Diva ia sangat menyayangi istrinya. Tapi pertemuan dengan Raya setelah tujuh tahun membuatnya tak bisa membohongi perasaannya sendiri.
Namun, ia sudah berjanji pada Diva. Dan Arman bukan pria yang mudah mengingkari janji.
Sore itu, meskipun masih kesal dengan ibu mertuanya, Diva tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Ia menata semua makanan di meja makan, memastikan semuanya rapi sebelum kembali ke kamar untuk merapikan ruangan yang sedikit berantakan. Setelah selesai, ia segera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Sementara itu, Arman baru saja sampai di rumah. Ia mengernyit heran tumben sekali rumah terasa begitu sepi. Mungkin ibu sedang tidur, pikirnya. Ia sempat membuka kamar kosong tidak ada orang, tapi tak menemukan siapapun di dalamnya. Tak lama, suara pintu kamar terbuka, Diva baru saja selesai mandi dan masuk ke kamar mereka.
“Div, habis mandi kamu?” tanya Arman sambil tersenyum.
“Iya, Bang,” jawab Diva santai.
“Ibu mana?”
“Lagi tidur, Bang.”
Diva terdiam sejenak sebelum akhirnya membuka obrolan. “Bang...”
“Iya, Div?”
“Aku mau pulang, aku rindu sama Kak Dira. Udah lama nggak ketemu,” ujar Diva pelan.
Arman mengangguk. “Boleh dong, sayang. Tapi abang nggak bisa nganter kamu.”
“Iya nggak apa-apa. Aku naik travel aja.” Diva terlihat antusias.
“Tapi nanti bilang ibu dulu, ya,” ujar Arman mengingatkan.
“Iya, Bang,” jawabnya mantap.
Saat makan malam, Arman pun membuka pembicaraan. “Bu, Diva mau pulang.”
Ibu Susan langsung menoleh dengan raut wajah tak senang. “Loh, kok mendadak sekali sih?”
“Iya, katanya Diva rindu,” ujar Arman tenang.
“Ya sudah, untung ada Arini yang mau pulang. Kalau nggak, ibu repot,” jawabnya dengan nada ketus.
Diva tersenyum tipis. “Baik, Bu. Terima kasih.”
Arman menghela napas lega. “Syukurlah ibu memperbolehkan.”
Namun, tanpa sepengetahuan Arman, ibu Susan sedang menyusun rencana dalam pikirannya. Senyum samar terukir di wajahnya, membayangkan berbagai cara untuk menyatukan Arman dan Raya.
Diva bukan perempuan bodoh. Ia tahu persis apa yang sedang dipikirkan ibu mertuanya. Tapi biarlah. Kali ini, ia ingin menguji kesetiaan suaminya.
Malam itu, Diva sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk kepulangannya besok pagi. Ia berencana membereskan rumah lebih dulu sebelum pergi, memastikan semuanya tertata rapi agar tak memberi celah bagi ibu mertuanya untuk mengomentari kepergiannya.
Karena ia akan cukup lama di sana, Diva pun mengambil langkah lebih jauh. Ia sudah mengatur seseorang untuk diam-diam mengawasi gerak-gerik Arman dan ibu mertuanya. Ia ingin tahu sejauh mana rencana mereka, sekaligus mencari informasi lebih dalam tentang Raya.
Tak ingin membuang waktu, Diva segera mengirim pesan kepada kakaknya, mengabarkan kepulangannya. Setelah semuanya beres, ia merebahkan diri di tempat tidur, membiarkan pikirannya melayang ke suasana kota yang dirindukannya.
Di sana, ia bisa bebas. Tanpa tekanan. Tanpa omelan ibu mertua.
Ia tersenyum kecil. Tunggu aku, Kak Dira. Aku akan kembali.
Menjelang malam, Arman mendekati Diva, berharap bisa berbagi keintiman seperti biasanya. Namun, dengan suara lembut, Diva menolak. "Maaf, Bang, aku baru saja datang bulan," ujarnya.
Arman menghela napas, sedikit kecewa, tapi ia memahami keadaan istrinya. Tanpa banyak kata, ia pun memeluk Diva lalu terlelap bersama.
Menjelang subuh, sekitar pukul empat pagi, Diva sudah terbangun lebih dulu. Dengan hati-hati agar tak mengganggu suaminya, ia segera bangkit dan mulai beres-beres rumah. Setiap sudut ia rapikan, memastikan tak ada celah bagi ibu mertuanya untuk mengeluh.
Setelah itu, ia menuju dapur. Ia ingin meninggalkan kesan baik sebelum pergi, jadi ia memasak beberapa hidangan favorit Arman dan ibu mertuanya. Ia tahu, meski hatinya penuh luka, tanggung jawabnya sebagai istri masih harus dijalankan.
Sementara itu, di kamarnya, Arman masih terlelap, tak menyadari istrinya telah sibuk sejak dini hari. Sedangkan ibu mertuanya, yang biasanya bangun pagi untuk mengomel, masih terlelap juga.
Diva melirik jam dinding. Masih banyak waktu . Karena beberapa hari lagi Arini akan datang setelah itu, aku bisa pergi dengan tenang.
Setelah semua persiapan selesai, mereka duduk bersama untuk sarapan. Diva tetap menjalankan tugasnya seperti biasa, memastikan semuanya tertata dengan baik sebelum pergi.
Tak lama kemudian, suara klakson mobil travel terdengar di depan rumah. Dengan hati-hati, Diva bangkit dan berpamitan kepada Arman serta ibu mertuanya. Ia mencoba tersenyum, meskipun hatinya masih menyimpan banyak luka .
Saat mobil travel melaju menjauh, Arman juga bersiap berangkat ke kantor. Ia berpamitan kepada ibunya sebelum melajukan mobilnya.
Di rumah, Ibu Susan tersenyum puas. Akhirnya, kesempatan untuk menyatukan Arman dan Raya kembali! Meskipun untuk sementara ia harus repot mengurus rumah sendiri, ia rela melakukannya agar rencana nya tidak gagal, ini lah yang selalu ia idam-idamkan bu Susan yaitu bermenantukan Raya dan menimang cucu dari Raya karena ia selalu berpikir Diva lah yang mandul.
Sementara itu, dalam perjalanan, Diva lebih banyak tidur. Tubuhnya terasa lelah setelah bangun terlalu pagi dan mengurus banyak hal sebelum berangkat. Dua jam berlalu, akhirnya mobil travel berhenti di depan sebuah rumah yang sudah lama tak ia kunjungi rumah peninggalan kedua orang tuanya yang kini ditempati oleh kakaknya, Dira, dan suaminya.
Diva mengetuk pintu perlahan. Tak butuh waktu lama, pintu terbuka, dan di baliknya berdiri Kak Dira dengan mata berkaca-kaca.
"Ya Allah, Diva!" seru Dira, langsung memeluk adiknya erat, tangisnya pecah seketika.
Diva pun membalas pelukan itu dengan perasaan haru. Sudah lama ia tidak merasakan kehangatan rumah ini.
"Ya Allah, Div, kok kamu kurusan sih?" tanya Dira sambil memperhatikan adiknya dengan cemas.
Diva tersenyum kecil, mencoba menutupi apa yang sebenarnya ia rasakan. "Eh, iya, lagi diet, Kak," jawabnya asal.
Dira menghela napas, menatap adiknya penuh rasa sayang. "Ya sudah, masuk dulu. Kamu pasti capek, kan?"
Tanpa banyak bicara, Diva melangkah masuk. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia merasa benar-benar pulang.