Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
anak yang dibuang saat sakit
"Bang, ayo bawa Nabil ke rumah sakit," ucap Santi dengan suara gemetar. Air matanya terus mengalir di pipi yang pucat, memeluk tubuh kecil Nabil yang panas dingin.
Bayu duduk di depan televisi, matanya menatap layar tanpa ekspresi. Cuek. Seolah tak ada yang lebih penting dari acara TV-nya.
"Bang, ayo dong... Nabil panas tinggi, badannya menggigil. Mukanya pucat. Aku takut, ini bisa DBD atau tipes," suara Santi makin lirih, nyaris putus asa.
"Brisik banget sih kamu, ganggu aku aja!" bentak Bayu, tanpa menoleh sedikit pun.
Santi merapatkan selimut ke tubuh Nabil. "Dia anak kita, Bang... Tolong..."
Bayu menoleh, kali ini dengan tatapan benci. "Udah kubilang dari dulu, bawa aja anak itu ke panti asuhan. Aku gak mau urus dia. Anak idiot kayak dia, buat apa diselamatin?"
Santi tercekat. Kata "idiot" itu seperti pisau, menyayat lebih dalam dari sebelumnya.
"Brisik banget sih! Ada apa lagi sih?" Sinta, ibu Bayu, keluar dari kamar dengan wajah masam.
"Ini, Bu," kata Bayu cepat. "Si Santi merengek minta anaknya dibawa ke rumah sakit. Padahal aku males keluar uang. Gak penting."
Teriris hati santi bagaimana mungkin urusan anak sendiri dianggap tidak penting
Sinta mengangkat alis, lalu mendengus. "Biarin aja lah, Santi. Anak gak berguna itu kenapa masih kamu urus? Itu salahmu, kamu sih pendidikannya rendah, pantas punya anak cacat begitu."
Santi memandang mertuanya. "Bu... Ini cucu Ibu juga. Jangan berkata seperti itu, tolong..."
"Aduh, aduh... berisik banget!" Nunik, adik Bayu, keluar dari kamarnya. "Ada apa sih?"
"Ini lho, si Santi dari tadi nangis-nangis minta si Nabil dibawa ke rumah sakit," jawab Sinta sambil mencibir.
"Pemborosan, Bu. Udah jadi beban rumah tangga, sekarang malah harus dibela-belain bawa anak pembawa sial itu ke rumah sakit? Halah."
Santi berdiri. Dadanya sesak. Tangannya gemetar. Tapi kali ini ia tak mau diam saja.
"Stop! Kalau kalian tidak mau nolong, gak apa-apa. Tapi tolong... jangan hina anak saya!"
"Sudah berani melawan kamu sekarang?" suara Bayu tinggi. Ia bangkit dari kursi, masuk ke kamar dan mulai melempar keluar baju-baju Santi dan Nabil.
Dengan mata menyala, ia berteriak, "PERGI KAU DARI SINI! SEKARANG JUGA!"
Santi menatap baju-bajunya yang berserakan di lantai. Nafasnya pendek, dadanya perih. Tapi ia tahu, ini saatnya pergi. Ia memungut satu per satu pakaian yang ia punya, lalu menggendong Nabil yang tubuhnya makin dingin, muka semakin pucat.
Langkahnya berat, tapi ia terus melangkah. Tanpa menoleh.
"Jangan pernah kembali lagi, Santi!" teriak Bayu dari balik pintu.
Hujan gerimis turun saat Santi menyusuri jalan desa yang sepi. Tubuhnya menggigil, tapi ia terus melangkah dengan membawa Nabil dalam pelukan. Keringat bercampur hujan membasahi wajahnya.
"Nabil... bertahan, ya, Nak. Ibu di sini..."
"Nanti kita cari pertolongan. Pasti ada jalan..."
"Santi?" Sebuah suara memanggil dari kejauhan.
Santi menoleh. Di bawah lampu jalan yang temaram, terlihat Pak Budi, ketua RT.
"Ada apa kamu malam-malam begini bawa Nabil?"
Santi tak menjawab. Air matanya jatuh begitu saja.
Pak Budi segera mendekat, melihat kondisi Nabil. "Ya Allah... Ini gejala DBD, San! Kamu tunggu sini sebentar. Aku ke kantor desa, kita panggil ambulans."
Santi hanya bisa mengangguk. Kakinya lemas, tapi hatinya masih menggenggam harapan.
Tak lama kemudian, suara sirine ambulans kecil desa terdengar. Dua petugas turun dan langsung membawa Nabil masuk.
"Ayo, San. Kita ke rumah sakit. Kamu juga ikut," kata Pak Budi dengan suara hangat.
Santi duduk di dalam ambulans sambil menggenggam tangan Nabil erat-erat. Ternyata... masih ada orang baik di dunia ini.
Sesampainya di rumah sakit, Nabil langsung dibawa ke ruang IGD. Dokter dan perawat bergerak cepat. Tubuh mungil Nabil dipasangi infus, oksigen, dan selimut hangat.
Pak Budi mengurus semuanya. Berkat bantuannya, Nabil bisa dirawat secara gratis melalui jalur bantuan warga dan desa.
"Untung saja datang tepat waktu, Bu," kata dokter perempuan dengan nada tegas. "Kalau lebih lama sedikit, saya tidak bisa jamin. Anak ibu sudah sangat kritis. Kalau nanti ada gejala seperti ini, langsung ke rumah sakit. Jangan ditunda!"
Santi menunduk. Ia ingin menjawab, ingin menjelaskan bahwa bukan karena tak peduli... Tapi bagaimana mungkin ia bisa membawa Nabil tanpa uang, tanpa dukungan, tanpa siapa-siapa?
Ia hanya seorang ibu rumah tangga. Dianggap pembantu. Dihina. Dibuang.
Tapi hari ini, ia memilih bertahan.
Santi duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Nabil yang lemah.
Anak itu berusia lima tahun. Kepalanya lebih besar dari anak-anak lain. Tubuhnya kecil. Kurus. Perutnya agak membuncit, bukan karena kenyang... tapi karena terlalu sering lapar.
Jari-jarinya terus bergerak, seolah sedang menggambar sesuatu yang hanya ia bisa lihat. Pandangannya kosong. Terkadang air liur menetes dari sudut bibirnya. Tapi Santi tetap menyeka dengan cinta.
"Anakku... Bertahan ya... Ibu sayang kamu."
Dan Nabil hanya menatap langit-langit... dengan sepasang mata yang seolah menyimpan dunia yang berbeda.
..
“San, kamu di sini ya. Aku mau ngabarin Bayu, suamimu,” ucap Pak Budi.
“Jangan, Pak... Dia sudah mengusir aku tadi,” balas Santi lirih.
Pak Budi terdiam sesaat. Sorot matanya tajam menahan geram.
“Dasar gila... Anak sakit malah diusir.”
Ia menghela napas, lalu menepuk bahu Santi dengan lembut.
“Ya sudah, tunggu di sini, ya. Aku pulang dulu.”
Sebelum pergi, Pak Budi menyelipkan selembar uang lima puluh ribuan ke telapak tangan Santi.
“Ini buat kamu makan. Kamu harus sehat... supaya bisa jaga Nabil.”
Tak ada jawaban dari Santi. Bibirnya gemetar. Ia hanya menunduk dan menangis pelan.
Dalam hati, ia mencatat nama Pak Budi. Bukan sekadar tetangga. Tapi malaikat pertama yang turun untuk anaknya.
Pak Budi pulang. Ia mengetuk satu per satu pintu warga. Memberi kabar, memohon bantuan. Dan karena semua tahu siapa Pak Budi—orang jujur, suka menolong, dan tak pernah pamrih—dalam waktu singkat, sumbangan pun terkumpul.
Sore menjelang. Di bangsal kelas tiga rumah sakit, Santi masih duduk di sisi ranjang, mengusap peluh dari dahi Nabil yang pucat. Enam ranjang berdempetan, aroma obat menyengat, suara detak monitor bergema di antara sunyi.
Tiba-tiba, pintu terbuka keras.
Bayu datang. Matanya merah. Wajahnya penuh amarah.
“Hei, istri enggak tahu diri! Semua orang di rumah kelaparan, kamu malah enak-enakan di sini!, cepat pulang masak di rumah” aneh sekali si sengklek ini padahal dia sendiri yang mengusir santi dan sekarang memintanya kembali
Serumah bayu ada 3 prempuan semejank ada santi semua jadi pemalas, biasa dimasakan oleh santi, bahkan baju merekapun dicucikan santi, kenapa santi bertahan tentu saja demi nabil, berharap suatu saat bayu dan keluarganya menerima nabil yang memang tidak seperti anak pada umumnya
Santi tak menjawab. Ia hanya menatap kosong.
dalam hari dia bertekad akan membesarkan nabil seorang diri, nabil bukan aib, nabil adalah anugerah baginya, setiap anak pasti ada rezekinya, demi menjaga kewarasan dia tidak akan bersama bayu lagi, seorang ayah yang jijik sama anak sendiri. Baginya sekarang nabil adalah segalanya.
Bayu semakin mendekat.
“Dasar goblok! Diam saja kamu! Kamu tuli, ya?”
Tangannya terangkat, siap memukul.
“Jangan buat keributan di sini!” bentak seorang pria dari ranjang sebelah. “Kamu buta, apa? Istrimu lagi jaga anak yang sedang sakit!”
Bayu melotot.
“Jangan ikut campur! Ini urusan keluargaku!”
Pria itu berdiri. Rambutnya pirang, tubuhnya penuh tato.
“Urusan lo? Anjing! Ini ruang rawat, bukan ring tinju!”
Ia maju dua langkah.
“Kalau mau ribut, ayo keluar. Jangan ganggu istri gue yang lagi istirahat juga!”
Bayu mundur setengah langkah. Tapi lidahnya masih tajam.
“Awas kamu, Santi! Dasar istri durhaka! Kalau kamu nggak pulang malam ini, aku ceraikan kamu!”
Itu jurus andalannya. Biasanya, Santi akan menangis, bersimpuh, dan memohon.
Tapi kali ini berbeda.
Santi berdiri. Matanya berkaca-kaca, tapi sorotnya tajam.
“Ceraikan aku sekarang juga, Bayu Ardiansyah,” ucapnya lantang.
Bayu mengernyit. Ia pikir ini hanya drama Santi di depan umum.
“Kalau itu maumu,” ucap Bayu keras, “Aku, Bayu Ardiansyah, hari ini menceraikan kamu. Kamu bukan istriku lagi!”
Ia menunggu Santi menangis seperti biasa. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Santi menghadap kiblat. Lalu bersujud di lantai.
“Alhamdulillah, ya Allah,” ucapnya dalam haru, “Aku bebas dari laki-laki kejam ini.”
Tepuk tangan terdengar dari seluruh penjuru ruangan. Penunggu pasien, bahkan beberapa perawat, ikut tersenyum lega.
Pria bertato itu mendekat lagi.
“Hei, bajingan. Sekarang lo bukan siapa-siapa buat dia. Pergi sebelum gue seret keluar!”
Bayu mendengus, memaki, lalu pergi sambil membanting pintu.
Santi memeluk Nabil dengan senyum. Tangisnya masih mengalir, tapi itu bukan air mata putus asa. Itu air mata kemenangan.