Seorang wanita yang hilang secara misterius, meninggalkan jejak berupa dokumen-dokumen penting dan sebuah jurnal yang penuh rahasia, Kinanti merasa terikat untuk mengungkap kebenaran di balik hilangnya wanita itu.
Namun, pencariannya tidak semudah yang dibayangkan. Setiap halaman jurnal yang ia baca membawanya lebih dalam ke dalam labirin sejarah yang kelam, sampai hubungan antara keluarganya dengan keluarga Reza yang tak terduga. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Di mana setiap jawaban justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan.
Setiap langkah membawanya lebih dekat pada rahasia yang telah lama terpendam, dan di mana masa lalu tak pernah benar-benar hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aaraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perpustakaan Tua
Senja mulai merambat ketika Kinanti dan teman-temannya tiba di depan gedung perpustakaan tua di pusat kota. Bangunan bergaya kolonial itu berdiri angkuh dengan cat yang sudah mengelupas dan tanaman rambat yang menutupi sebagian dindingnya. Kinanti menatap gedung itu dengan campuran rasa kagum dan was-was. Di sampingnya, Reza menggenggam senter dengan tangan yang sedikit gemetar.
"Menurut catatan Prof. Handoko, perpustakaan ini dulunya menjadi markas rahasia para pejuang," ujar Arya sambil membaca ulang catatan di ponselnya. Mahasiswa semester tiga itu tampak antusias, meski ada kekhawatiran yang tersembunyi di balik kacamatanya.
Nadya, yang berdiri di sebelah Dimas, mengeluarkan kunci yang mereka dapatkan dari Prof. Handoko. "Profesor bilang kunci ini bisa membuka pintu belakang perpustakaan. Katanya dulu para pejuang selalu menggunakan pintu itu untuk pertemuan rahasia mereka."
Mereka bergerak mengendap-endap ke bagian belakang gedung. Reza, sebagai ketua tim, memimpin di depan. Kinanti tidak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok pemuda itu. Ada sesuatu dalam cara Reza memimpin yang mengingatkannya pada cerita-cerita tentang Pratama, kakek Reza yang merupakan rekan seperjuangan neneknya, Kartika.
Arya, yang sejak tadi memperhatikan interaksi keduanya, merasakan sebersit rasa tidak nyaman. Ia dan Kinanti telah berteman sejak kecil, dan sejak dulu, perasaannya pada gadis itu telah berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan chemistry yang jelas terlihat antara Kinanti dan Reza.
Pintu belakang perpustakaan terbuka dengan suara berderit yang memecah kesunyian. Udara pengap dan debu menyambut mereka begitu melangkah masuk. Dimas segera menyalakan senter yang lebih besar, memberikan penerangan yang cukup untuk melihat rak-rak buku yang menjulang tinggi.
"Kita harus berpencar untuk mencari katalog rahasianya," usul Dimas. "Tapi tetap dalam jarak pandang satu sama lain."
Reza mengangguk setuju. "Nadya dan Dimas, kalian periksa bagian timur. Aku dan Kinanti akan memeriksa bagian barat. Arya, kau ahli sejarahnya. Tolong periksa bagian tengah, mungkin ada petunjuk yang hanya bisa kau pahami."
Pembagian tim itu membuat Arya mengerutkan dahi. Ia tahu Reza sengaja memasangkan diri dengan Kinanti. Namun, sebagai profesional, ia menelan kekecewaannya dan mulai memeriksa area yang ditugaskan padanya.
Kinanti dan Reza menyusuri lorong-lorong di antara rak buku. Debu berterbangan setiap kali mereka menyentuh buku atau rak. Dalam keremangan, Kinanti bisa merasakan hangat tubuh Reza yang berjalan di sampingnya.
"Kau tahu," Reza memecah keheningan, "kakekku sering bercerita tentang nenekmu, Kartika. Katanya dia wanita yang luar biasa berani."
Kinanti tersenyum. "Ya, aku selalu mendengar cerita itu juga. Dan aku tidak menyangka, ternyata wajahku sangat mirip dengannya."
"Bukan hanya secara fisik," Reza menambahkan, matanya menatap Kinanti dengan kelembutan. "Kau juga punya keberanian yang sama."
Jantung Kinanti berdegup kencang mendengar pujian itu. Namun, sebelum ia bisa merespons, suara gedebuk keras terdengar dari arah Arya berada, diikuti seruan tertahan.
"Arya!" Kinanti spontan berlari ke arah suara, dengan Reza mengikuti di belakangnya.
Mereka menemukan Arya terduduk di lantai, dikelilingi buku-buku yang berserakan. Namun, bukan itu yang membuat mereka terkesiap. Di hadapan Arya, sebuah pintu rahasia terbuka di balik rak buku yang runtuh.
"Aku tidak sengaja menarik salah satu buku," Arya menjelaskan sambil berdiri, membersihkan debu dari celananya. "Dan tiba-tiba rak ini bergeser."
Nadya dan Dimas bergabung dengan mereka, sama-sama takjub melihat penemuan itu. Di balik pintu rahasia, tampak tangga sempit yang menuju ke bawah.
"Ini pasti ruang pertemuan rahasia yang dimaksud dalam catatan," kata Arya bersemangat.
Mereka saling berpandangan sejenak sebelum memutuskan untuk turun. Reza kembali memimpin, diikuti Kinanti, lalu yang lain. Tangga itu cukup curam dan licin oleh lumut. Di tengah perjalanan, kaki Kinanti hampir tergelincir dan Reza dengan sigap menangkap pinggangnya, mencegahnya agar tidak jatuh.
"Hati-hati," bisik Reza, tangannya masih melingkar di pinggang Kinanti. Gadis itu bisa merasakan napas Reza di telinganya, membuat pipinya merona.
Arya yang melihat kejadian itu dari belakang, mengepalkan tangannya erat. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi Nadya menyentuh bahunya pelan, memberi isyarat untuk tetap tenang.
Ruangan di bawah ternyata cukup luas. Dinding-dindingnya dipenuhi rak-rak berisi dokumen dan buku-buku tua. Di tengah ruangan, ada meja besar dengan peta usang terbentang di atasnya.
"Lihat ini!" seru Dimas, mengarahkan senternya ke sebuah lemari katalog tua di sudut ruangan. "Ini pasti katalog rahasia yang kita cari."
Mereka mendekati lemari itu. Namun, saat Reza mencoba membukanya, laci-lacinya terkunci.
"Tunggu," kata Kinanti, mengamati lubang kunci di salah satu laci. "Bentuk lubang kuncinya mirip dengan kunci ketiga yang kita temukan."
Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan kunci itu dari tasnya. Benar saja, kunci itu pas. Laci terbuka dengan suara klik pelan.
Namun, kegembiraan mereka tidak berlangsung lama. Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh dari atas. Debu dan pecahan plester mulai berjatuhan.
"Gedungnya tidak stabil!" teriak Arya. "Kita harus segera keluar!"
Kinanti cepat-cepat mengambil beberapa dokumen dari laci yang terbuka. Saat itulah, sebagian langit-langit mulai runtuh. Reza menarik Kinanti menjauh tepat sebelum reruntuhan menimpa tempat ia berdiri sedetik lalu.
"Cepat ke tangga!" perintah Reza.
Mereka berlari ke arah tangga, tapi sebagian sudah tertutup reruntuhan. Arya, yang berada paling dekat dengan Kinanti, menarik tangannya. "Lewat sini!" teriaknya, menunjuk celah sempit di antara reruntuhan.
Namun Kinanti ragu, tangannya masih menggenggam dokumen-dokumen berharga. Reza, yang melihat keraguannya, berlari kembali ke arahnya.
"Biar aku yang bawa dokumennya," kata Reza, mengambil dokumen dari tangan Kinanti. "Kau pergi duluan dengan Arya!"
"Tapi—"
"Percaya padaku," Reza menatap mata Kinanti dalam-dalam. "Aku akan menyusul."
Dengan berat hati, Kinanti membiarkan Arya menariknya ke celah aman. Nadya dan Dimas sudah lebih dulu mencapai tangga yang masih utuh. Kinanti terus menoleh ke belakang, melihat Reza yang masih berusaha menyelamatkan dokumen-dokumen lain.
"Reza, cepat!" teriak Kinanti panik saat melihat lebih banyak bagian langit-langit yang mulai runtuh.
Reza akhirnya berlari ke arah mereka, dokumen-dokumen berharga terpegang erat di dadanya. Tepat saat ia mencapai celah, reruntuhan besar jatuh, nyaris menimpanya. Arya dan Kinanti bersamaan menarik Reza ke tempat aman.
Mereka berlima akhirnya berhasil mencapai pintu belakang perpustakaan, terengah-engah dan dipenuhi debu. Dari luar, mereka bisa melihat bagian belakang gedung perpustakaan yang mulai runtuh.
"Semua selamat?" tanya Dimas, matanya memeriksa satu per satu temannya.
Mereka mengangguk. Kinanti menatap dokumen-dokumen yang berhasil diselamatkan Reza. "Terima kasih," bisiknya.
Reza tersenyum lemah. "Sama-sama. Tapi sebenarnya, kita harus berterima kasih pada Arya. Dia yang menemukan ruang rahasia itu, dan dia juga yang menyelamatkanmu lebih dulu."
Arya, yang sedang membersihkan bajunya yang berdebu, mendongak terkejut mendengar pengakuan itu. Matanya bertemu dengan mata Kinanti, yang tersenyum penuh terima kasih padanya.
"Kita sebaiknya segera pergi dari sini sebelum ada yang melihat," usul Nadya, memecah momen itu.
Mereka bergegas meninggalkan lokasi, dengan dokumen-dokumen berharga terselamatkan. Di mobil dalam perjalanan pulang, Kinanti duduk di antara Reza dan Arya, perasaannya campur aduk. Di satu sisi, ia masih bisa merasakan kehangatan tangan Reza saat menolongnya di tangga. Di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan bagaimana Arya selalu ada di saat ia membutuhkan pertolongan.
Dimas, yang mengemudi, melirik dari kaca spion. "Jadi, dokumen apa yang berhasil kita selamatkan?"
Kinanti membuka salah satu dokumen dengan hati-hati. Matanya melebar melihat isinya. "Ini... ini catatan lokasi dua kunci terakhir!"
"Apa?" seru yang lain bersamaan.
"Ya, lihat!" Kinanti menunjukkan halaman yang menguning itu. "Ada peta dan petunjuk detail tentang lokasi dua kunci terakhir. Sepertinya para pejuang sengaja menyimpan informasi ini terpisah untuk keamanan."
"Itu artinya..." Nadya menoleh dari kursi depan, "kita semakin dekat untuk membuka kotak peninggalan Kartika?"
Kinanti mengangguk, matanya berbinar. Tanpa sadar, ia menggenggam tangan Reza dan Arya yang duduk di kedua sisinya. "Kita semakin dekat untuk mengungkap misteri yang ditinggalkan Nek Kartika."
Reza dan Arya saling melirik dari balik kepala Kinanti, menyadari bahwa pencarian ini bukan hanya akan mengungkap misteri masa lalu, tapi juga akan menentukan masa depan hati mereka.
Malam itu, mobil mereka melaju membelah kegelapan, membawa lima remaja dengan sejuta pertanyaan, dua hati yang bergejolak, dan misteri yang masih menanti untuk diungkap. Petualangan mereka masih jauh dari selesai, dan bahaya yang lebih besar mungkin masih menanti di depan. Namun satu hal yang pasti, mereka akan menghadapinya bersama, apapun yang terjadi.
Awas ya kalau Hiatus Author.. Cerita nya bagusss Bangettt😭♥️♥️♥️
semangat nulis thor💪