novel ini adlaah adaptasi dari kelanjutan novel waiting for you 1
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uppa24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ayahmu!!
Sementara itu, di hotel, Alvio duduk di dekat jendela, menatap langit yang mulai senja. Dia tahu ibunya tengah menghadapi sesuatu yang besar, sesuatu yang mungkin akan mengubah kehidupan mereka lagi. Tapi sebagai anak yang bijaksana melebihi usianya, dia memilih untuk menunggu dengan tenang.
“Apakah Ibu akan baik-baik saja, Pak Jen?” tanyanya sambil menatap pelayan setianya.
Pak Jen, yang sedang menyiapkan secangkir cokelat panas untuknya, tersenyum lembut. “Nyonya Elena adalah wanita yang sangat kuat, Tuan Muda. Saya yakin dia akan menemukan jalannya.”
Alvio mengangguk pelan. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa pertemuan ini mungkin hanyalah awal dari babak baru yang lebih besar dan penuh tantangan. Namun, dia yakin satu hal—tidak peduli apa yang terjadi, dia akan selalu berdiri di sisi ibunya.
...~||~...
Ketika Elena kembali ke hotel malam itu, langkah kakinya terasa berat. Meski ia telah berbicara dengan Aidan dan memberikan peluang yang sangat ia ragukan, hatinya masih diselimuti kecamuk emosi. Langit malam terasa begitu hening, seolah mengiringinya dalam keheningan yang mencekam.
Pintu kamar terbuka perlahan, memperlihatkan sosok kecil Alvio yang sedang tertidur di sofa dengan posisi tidak nyaman, meski di sekitarnya tertata rapi secangkir cokelat panas yang telah dingin. Pak Jen segera mendekatinya, menawarkan bantuan, tetapi Elena mengangkat tangannya dengan halus.
"Aku akan mengurusnya, Pak Jen. Terima kasih sudah menemaninya," kata Elena lembut.
Elena menggendong Alvio dengan penuh hati-hati menuju tempat tidur. Wajah putranya yang damai dalam tidur membuat hatinya mencair, meskipun ia tahu bahwa di balik kedamaian ini, ada banyak pertanyaan yang tidak terucapkan dari anaknya.
Sambil menyelimuti putranya, Elena duduk di sampingnya, tangannya lembut membelai rambut hitam Alvio yang lembut. “Kau terlalu pintar untuk usiamu, Nak,” bisiknya lirih, meski tidak berharap jawaban dari putranya yang terlelap.
Keesokan harinya, Alvio bangun lebih pagi dari biasanya. Ketika membuka matanya, ia mendapati ibunya tengah duduk di balkon, mengenakan baju tidur berwarna putih yang membuatnya terlihat damai meskipun ada lelah di wajahnya. Alvio perlahan turun dari tempat tidur dan berjalan menghampiri.
“Ibu?” panggilnya kecil.
Elena menoleh, tersenyum lembut. “Kau sudah bangun, Nak? Tidurmu nyenyak?”
Alvio mengangguk, duduk di pangkuan ibunya. “Ibu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian, tatapan matanya mencerminkan kekhawatiran khas anak kecil yang begitu mencintai ibunya.
“Aku baik-baik saja, Vio,” jawab Elena sambil mengusap pipi putranya. “Kemarin hanya... pembicaraan panjang yang harus kuhadapi.”
“Dengan Ayah?” potong Alvio langsung.
Meskipun terkejut dengan kepekaan putranya, Elena tidak ingin menyembunyikan kebenaran. Ia tahu Alvio pantas mendapatkan jawaban yang jujur, tentu dengan cara yang sesuai untuk seorang anak kecil. “Iya, Ibu bertemu dengan Ayahmu. Ada banyak hal yang harus kami bicarakan.”
“Apa dia membuat Ibu sedih?” Alvio memeluk Elena lebih erat, kekhawatirannya jelas terlihat.
Elena tersenyum kecil, mencium puncak kepala Alvio. “Tidak, Sayang. Aku hanya... sedang mencoba memahami banyak hal. Ayahmu ingin menjadi bagian dari hidup kita lagi. Tapi Ibu ingin memastikan segalanya benar-benar aman untukmu sebelum mengambil keputusan apa pun.”
Alvio mengangguk perlahan, memproses informasi itu. Di usianya yang sangat muda, ia mungkin tidak memahami seluruh implikasi dari apa yang ibunya katakan, tetapi ia merasakan beratnya keputusan tersebut. “Aku percaya pada Ibu,” ucapnya akhirnya.
Elena memeluknya dengan erat. Di dalam pelukan itu, ia menemukan kekuatan baru yang selama ini terkubur oleh ketakutannya.
Di tempat lain, Aidan juga memikirkan pertemuan mereka kemarin. Ia tahu bahwa keputusannya untuk kembali telah mengguncang kehidupan Elena dan Alvio, tetapi itu adalah risiko yang siap ia ambil demi menebus kesalahannya.
Di ruang kerjanya, ia duduk di depan komputer, mempelajari kembali detail tentang keluarga El Bara. Ia tahu ini bukan sekadar tentang memenangkan kembali hati Elena—ini tentang membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia mampu menjadi figur ayah yang dibutuhkan Alvio, dan mungkin, mitra yang dapat Elena andalkan di masa depan.
Langkahnya tidak mudah, apalagi dengan warisan keluarganya sendiri yang sering kali bertentangan dengan prinsip keluarga El Bara. Keluarga Aidan memang bukan hanya pemain di dunia bisnis, tapi juga dunia kekuasaan. Seiring usahanya untuk memahami Elena dan Alvio, ia juga harus menghadapi tekanan dari keluarganya sendiri yang mempertanyakan pilihannya untuk kembali.
Namun kali ini, Aidan tidak mau menyerah.
“Dia adalah anakku,” gumamnya dengan suara rendah namun penuh tekad. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun menghancurkan hubungan ini—bahkan keluargaku sendiri.”
Elena tahu, momen berikutnya akan menjadi titik penting. Ia menghubungi pihak legalnya dan memberikan perintah untuk mulai mempersiapkan langkah antisipasi jika muncul ancaman dari pihak mana pun. Sementara itu, ia juga memberikan instruksi khusus kepada Pak Jen untuk meningkatkan keamanan di sekitar Alvio tanpa membuat putranya merasa terganggu.
“Prioritas utama kita adalah Alvio,” kata Elena. “Jika ada ancaman, sekecil apa pun, aku ingin mengetahuinya lebih dulu.”
“Iya, Nyonya,” jawab Pak Jen penuh hormat.
Hari itu, Elena juga mengirimkan pesan kepada Aidan, mengundangnya untuk bertemu Alvio dalam sebuah pertemuan singkat dan terstruktur. Ia tahu, ini adalah langkah besar untuk semua pihak, tetapi ia ingin melihat apakah Aidan benar-benar mampu memenuhi kata-katanya.
Saat pesan terkirim, Elena memandangi ponselnya sejenak, berharap ia tidak salah mengambil keputusan.
Aidan menerima pesan dari Elena dengan tatapan yang serius. Ia duduk di ruang kerjanya, mata terfokus pada layar ponselnya saat tangannya meremas pelan sudut meja yang terbuat dari kayu mahal. Ia tahu bahwa pertemuan dengan Alvio tidak akan mudah, namun itu adalah langkah yang tak bisa lagi dihindari. Keputusan Elena untuk mempertemukannya dengan Alvio adalah batu pijakan pertama, namun langkahnya selanjutnya akan menjadi ujian—untuk dirinya sendiri dan untuk hubungan yang coba ia bangun kembali dengan wanita yang pernah ia cintai.
“Aku harus melakukannya,” bisik Aidan kepada dirinya sendiri. Meski ia tahu ini bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan begitu saja, rasa sayang dan tanggung jawab terhadap Alvio membimbing langkahnya. “Aku ingin berada di sini, di hidup mereka. Aku harus bisa menjadi ayah yang baik untuknya.”
Malam sebelum pertemuan, Aidan mempersiapkan dirinya secara mental. Ia mengatur seluruh waktunya dengan rapi, menyusun kata-kata yang akan ia sampaikan kepada Elena dan Alvio. Ia ingin menunjukkan bahwa niatnya tidak hanya sekadar ingin menebus masa lalu, tetapi untuk menjadi bagian dari kehidupan keluarga mereka—untuk menjadi pelindung, bukan beban.
Keesokan harinya, Alvio tidak mengetahui bahwa ayahnya akan datang menemuinya. Ia bermain dengan mainan di ruang tamu hotel saat Elena datang, mengenakan gaun elegan yang dipilih dengan cermat. Tentu saja, ia tak ingin menghadapi Aidan dalam keadaan yang terlalu santai. Meskipun ketegangan masih tergantung di udara, Elena merasa sedikit lebih tenang dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Keputusan ini datang dengan segala konsekuensinya, namun ia harus melakukan ini—demi kedamaian Alvio dan stabilitas keluarga mereka.
“Ibu, siapa yang datang?” tanya Alvio yang masih duduk dengan santai sambil memainkan mobil-mobilan di tangan kecilnya.
Elena duduk di sampingnya, memeluk bahu anaknya dan menjawab dengan lembut, “Ayahmu, Sayang. Ia datang untuk bertemu denganmu.”
Reaksi Alvio sedikit mengesankan Elena, meski ia tidak menunjukkan perasaan secara terbuka. Anak sekecil Alvio mungkin tak tahu bagaimana cara untuk menunjukkan kekhawatiran, tapi matanya yang tajam menangkap setiap perubahan dalam suasana hati ibunya, dan itu sudah cukup baginya untuk merasakan ada sesuatu yang berbeda.
Alvio menatap ibunya sebentar. "Aku ingin bertemu dengannya," jawabnya, dengan suara yang lembut tetapi mantap. Mungkin ia masih terlalu muda untuk mengerti segala sesuatunya, tapi ia sudah tahu bahwa hubungan dengan Aidan sangat berbeda dari dulu.
Pada saat itu, suara pintu berbunyi. Elena dan Alvio menoleh, dan di sana, berdiri Aidan dengan senyum kecil yang tidak sepenuhnya terlihat yakin. Ia mengenakan setelan jas gelap yang dipilih dengan cermat, wajahnya menunjukkan usaha keras untuk menjaga ketenangan di tengah perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.
Elena berdiri dari tempat duduknya dan memberi isyarat agar Aidan mendekat. “Kau datang tepat waktu,” katanya singkat, mengatur nada suaranya agar tidak terkesan terlalu dingin.
Aidan memberikan senyum lembut kepada Elena, meski itu tidak bisa sepenuhnya menutupi ketegangan di wajahnya. “Terima kasih sudah memberiku kesempatan untuk bertemu,” jawabnya, matanya bergerak ke arah Alvio yang kini menatapnya dengan perhatian penuh.
Elena tidak mengatakan apapun, tetapi matanya yang lembut menunjukkan penerimaan. Ini adalah titik awal dari perjalanan yang panjang—bertemu kembali sebagai orang asing di satu sisi, namun di sisi lain, masih terhubung oleh ikatan darah yang tak bisa disangkal.
Alvio lalu berdiri dan berjalan ke arah Aidan. Meski usianya hanya tiga tahun, ia memiliki tekad yang luar biasa dan rasa penasaran yang besar. Ia menatap ayahnya dengan intens, seakan ia sedang mengamati bukan hanya penampilannya, tetapi jiwanya.
“Apa benar kau ayahku? Tapi sudahlah lagi pula kita pernah bertemu” tanya Alvio, suara anak kecil yang polos namun menusuk hati.
Aidan tertegun sejenak, seolah tidak siap dengan pertanyaan langsung yang begitu sederhana namun menyentuh inti dari segala sesuatunya. “Iya, Sayang, aku ayahmu,” jawab Aidan dengan suara serak, mencoba menahan emosi yang mulai meluap.
Alvio terdiam sejenak, mengukur jawabannya dengan cara yang hanya dimiliki oleh anak-anak yang sangat pintar untuk usianya. Ia melihat ekspresi wajah Aidan yang penuh kebingungannya, serta sedikit keraguan yang terlipat dalam kata-kata ayahnya.
Kemudian, Alvio berkata dengan penuh keyakinan, “Jika kamu ayahku, maka kamu harus bisa melindungi ibu, kan? Jika tidak kembalilah ke rumahmu”
Elena yang mendengar itu hanya bisa terdiam, perasaan bercampur aduk dalam dirinya. Ia tahu bahwa putranya sedang menguji niat Aidan, dan itulah yang paling besar dalam kehidupan mereka sekarang: kepercayaan. Aidan hanya bisa mengangguk, meski ia tahu betapa beratnya untuk memenuhi harapan itu.
“Aku akan melindunginya, Vio,” kata Aidan dengan suara penuh tekad. “Aku akan melakukan segala cara agar Ibu dan kamu aman, dan kami bisa hidup bersama dalam kedamaian.”
Elena menghela napas dalam, merasakan kedalaman kata-kata Aidan. Namun, ia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang cukup kuat untuk mengubah kenyataan. Aidan harus menunjukkan itu dalam tindakannya, bukan hanya dengan kata-kata.
Sekarang, tak ada yang bisa memprediksi bagaimana perjalanan ini akan berlanjut. Sebuah babak baru telah dimulai, dan semuanya akan tergantung pada bagaimana Aidan mampu menghadapi kenyataan dan apa yang akan terjadi dalam kehidupan keluarga mereka selanjutnya. Namun satu hal yang pasti—keputusan ini akan membentuk masa depan mereka untuk selamanya.