Setelah diadopsi Verio, kehidupan Ragna berubah. Apalagi saat mendapat ingatan masa lalunya sebagai putri penjahat yang mati akibat penghianatan.
Memanfaatkan masa lalunya, Ragna memutuskan menjadi yang terkuat, apalagi akhir-akhir ini, keadaan kota tidak lagi stabil. Bersama Verio, mereka memutuskan menuju puncak dalam kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Ragna duduk di pinggir atap sekolah, menggoyangkan kakinya dengan malas, sebelum matanya menangkap gerombolan familiar yang sedang berkerumun di dekat gerbang sekolahnya. Alisnya langsung berkerut, bibirnya berdecak kesal.
"Geng Edgar lagi? Hobi banget cari gara-gara," gumamnya sambil menyandarkan tubuh ke dinding belakang. Pandangannya menajam, mengingat semua kekacauan yang pernah mereka buat.
Bayangan masa lalu melintas di kepalanya—Reymond dan Silvi dengan segala dramanya, ditambah sekelompok pengikut Edgar yang gemar mengipasi api konflik. Suasana jadi kacau balau, dan Ragna selalu berada di tengah-tengahnya.
"Sepertinya mereka lupa, dulu mereka juga sering bikin hidup gue kayak neraka. Dan sekarang, mau sok akrab atau apa?" Ragna menghela napas panjang, lalu menyeringai kecil.
Tangannya merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel dan mulai mengetik pesan. Pesannya simpel, langsung menuju inti: ‘Papa, aku mau main sedikit. Bakal rusuh dikit di luar sekolah. Izin, ya?’
Ponselnya bergetar tak lama setelah itu. Sebuah pesan masuk dari Verio: ‘Hancurkan mereka dengan penuh gaya. Jangan bikin malu nama keluarga.’
Ragna membaca pesan itu dan tertawa pelan. Senyum lebar menghiasi wajahnya, tapi matanya memancarkan sesuatu yang dingin, hampir menyeramkan.
"Baik, Edgar. Kau main kotor, aku main lebih kotor. Kau hancurkan aku, aku musnahkan kau," gumamnya sambil bangkit dari duduk.
Langkah Ragna ringan, tetapi ada bahaya yang terpantul di setiap gerakannya. Dia melangkah turun dari atap, mengaktifkan mode ‘penghancur’ dalam dirinya. Permainan baru saja dimulai.
Ragna melangkah turun dari atap dengan langkah santai, ponselnya masih tergenggam erat. Dari kejauhan, dia bisa melihat Edgar yang berdiri dengan gaya sok berkuasa, dikelilingi oleh anak buahnya. Ragna hanya tersenyum kecil, senyuman yang penuh arti.
"Edgar, Edgar... kau selalu mencari masalah di tempat yang salah," gumamnya sambil memasukkan ponsel ke dalam saku.
Dia berhenti sejenak di sudut koridor, memeriksa tali sepatunya sambil memikirkan rencana. Dari kantung kecil di ranselnya, Ragna mengeluarkan beberapa petasan kecil yang biasanya ia simpan untuk "keadaan darurat." Tangannya bekerja cekatan, memasangnya di area yang strategis di sekitar lapangan belakang, tepat di mana Edgar dan gengnya berkumpul.
"Baiklah, pertunjukan akan dimulai." Ragna menyeringai puas sebelum berbalik menuju ruang kontrol sekolah.
Di ruang kontrol, dia melihat tombol pengeras suara yang biasa digunakan guru untuk menyampaikan pengumuman. Ragna mengaktifkan mikrofon dan berbicara dengan nada ceria yang penuh kepalsuan.
"Perhatian, seluruh siswa! Di lapangan belakang sedang berlangsung pertunjukan spesial yang disponsori oleh geng Edgar! Jangan lewatkan!"
Begitu suaranya menggema di seluruh sekolah, murid-murid langsung berhamburan menuju lapangan belakang. Edgar yang awalnya masih berbincang santai dengan anak buahnya kini terlihat panik saat kerumunan mulai mengelilingi mereka.
"Apa-apaan ini?! Siapa yang bikin pengumuman bodoh itu?!" bentaknya marah, tapi teriakan Edgar tenggelam oleh suara petasan yang tiba-tiba meledak di dekat mereka.
Ragna yang sudah berdiri di salah satu sudut atap tertawa kecil, puas melihat kekacauan itu. Dengan penuh percaya diri, dia berteriak dari atas, memastikan suaranya cukup keras untuk didengar Edgar.
"Hei, Edgar! Aku hanya ingin memberi tahu kalau ini baru babak pertama! Selamat bersenang-senang!"
Mata Edgar langsung membelalak ke arah Ragna, rahangnya mengatup rapat menahan amarah. "RAGNA!" teriaknya, tapi Ragna sudah melompat turun dari atap menuju lorong di bawah, menghilang begitu saja di antara kerumunan siswa.
Langkahnya ringan saat ia berjalan ke ruang kelas, senyum kecil terus menghiasi wajahnya. "Kalau ini yang disebut nostalgia, aku cukup menikmatinya," gumamnya, membayangkan ekspresi Edgar yang pasti sekarang sedang mendidih.
Sesampainya di kelas, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Verio.
"Aku lihat kau mulai bermain lagi. Jangan lupa, tetap awas, Nak. Kalau dia berani macam-macam, buat dia belajar dengan cara kita."
Ragna membalas dengan satu kalimat penuh keyakinan.
"Tenang, Pa. Aku janji mereka nggak akan lupa hari ini."
Setelah memastikan semuanya terkendali, Ragna bersandar di kursi kelasnya, menikmati beberapa menit ketenangan. Namun, dia tahu bahwa kedamaian itu tidak akan bertahan lama. Benar saja, seorang siswa dari kelas lain muncul di ambang pintu, terengah-engah, seperti habis dikejar waktu.
"Ragna! Ada pertarungan di halaman belakang. Orang bernama Edgar ingin ketemu sama lo!" seru siswa itu.
Tanpa menunjukkan sedikit pun keterkejutan, Ragna hanya mengangkat alis. "Oh, begitu? Bilang sama dia, aku sudah tahu cara ke sana sendiri. Dia nggak perlu repot ngirim utusan."
Siswa itu terlihat bingung dengan tanggapan santai Ragna, tapi ia tetap mengangguk dan pergi. Ragna berdiri dari kursinya, merapikan seragamnya, lalu berjalan keluar kelas dengan langkah yang mantap.
Di lapangan belakang, Edgar berdir tertatih dengan kedua tangan di saku celananya. Wajahnya penuh lebam dan memar, sementara anak buahnya tergeletak tak berdaya.
Ragna tiba dengan gaya santai seperti biasa. Dia menyelipkan kedua tangannya ke saku rok seragamnya dan menatap Edgar dengan tatapan datar. "Kau memanggilku seperti bos besar, Edgar. Ada apa? Mau minta maaf karena mengganggu sekolahku?"
Edgar mendengus, menyilangkan lengannya dengan ekspresi dingin. "Kau pikir kau lucu, ya? Kau pikir bisa mempermalukan aku begitu saja? Aku nggak akan membiarkanmu lolos kali ini."
Ragna mengangguk-angguk, pura-pura serius. "Ah, jadi ini tentang harga dirimu yang tersakiti? Aku kira kau lebih tebal kulitnya, Edgar. Tapi tenang, aku punya sesuatu untukmu."
Sebelum Edgar bisa merespons, Ragna mengeluarkan sebuah kunci pas kecil dari dalam tasnya dan melemparnya ke tanah, tepat di depan kaki Edgar. "Aku dengar motor mewahmu mogok setelah kebut-kebutan tadi pagi. Kau pasti butuh ini, kan? Jangan bilang kau datang ke sini cuma untuk itu."
Edgar menatap kunci pas itu dengan bingung, sementara anak buahnya mencoba menahan tawa. Namun, senyuman Ragna langsung memudar saat ia mengambil langkah maju, berbicara dengan nada rendah yang penuh ancaman.
"Dengar, Edgar. Kalau kau pikir bisa menginjakku seperti dulu, kau salah besar. Kali ini, aku bukan mainanmu. Jadi, kalau kau masih ingin mencoba peruntunganmu, datanglah. Tapi aku nggak akan tanggung jawab kalau kau pulang tanpa gigi."
Ketegangan terasa di udara. Edgar terdiam, matanya menatap Ragna dengan tajam, tapi dia tidak berkata apa-apa.
"Kau nggak akan berani—" Salah satu anak buah Edgar mencoba membuka mulut, tapi Ragna menatapnya tajam, membuat pemuda itu langsung bungkam.
"Kalau tidak ada yang lain, aku pergi. Hari ini ulangan matematika, dan aku tidak mau gagal hanya karena harus meladeni drama kalian." Ragna berbalik pergi, meninggalkan Edgar yang masih berdiri mematung, dilingkupi rasa malu di depan anak buahnya.
Di kejauhan, ponsel Ragna kembali bergetar. Sebuah pesan baru dari Verio muncul.
"Kau selesai dengan Edgar? Aku tunggu laporan lengkapnya di rumah."
Ragna tersenyum kecil, lalu membalas.
"Selesai. Tapi jangan kaget kalau kau dapat tamu tak diundang nanti malam."
🍃
Hari itu sekolah Ragna pulang lebih cepat dari biasanya. Bersama beberapa temannya, dia berjalan santai menyusuri jalanan menuju rumah. Namun, belum jauh mereka melangkah, Edgar dan gengnya muncul menghadang mereka dengan jumlah yang lebih besar dibanding pagi tadi.
“Hei, kalian! Urusan kita belum selesai!” seru Edgar dengan wajah memar penuh amarah.
Ragna melirik sekilas ke arah Edgar dan anak buahnya. Kali ini, mereka membawa tambahan orang-orang dengan tampang lebih sangar. Mungkin preman bayaran. Ragna hanya berdecak kecil, merasa bosan dengan skenario yang sama.
“Kalau berani, jangan keroyokan!” seru Jay dengan suara lantang.
“Bacot! Hajar mereka!” balas Edgar sambil memberi aba-aba pada anak buahnya.
Pertarungan pun pecah. Tapi tidak seperti dugaan Edgar, Ragna langsung maju tanpa ragu. Dengan kecepatan dan ketepatan yang mengejutkan, dia melumpuhkan beberapa orang hanya dalam hitungan detik. Terdengar bunyi patahan tulang yang diiringi jeritan menyakitkan.
Di saat yang sama, sebuah mobil berhenti tidak jauh dari lokasi tawuran. Verio menurunkan kaca mobil, mengamati kerumunan itu dengan mata menyipit. Dari balik kepulan debu dan kekacauan, dia melihat sosok yang sangat dikenalnya. Ragna sedang menarik tangan Edgar sebelum menjatuhkannya ke tanah dan mengunci kakinya. Tak lama, terdengar bunyi patahan yang jelas disertai teriakan Edgar yang melengking.
Verio keluar dari mobil, berjalan santai mendekati medan pertempuran. Kerumunan langsung bubar perlahan ketika sosok pria dewasa itu mendekat. Dengan tenang, dia berdiri di samping Ragna yang sedang mengibaskan debu dari seragamnya.
“Bagus,” ucap Verio dengan nada datar. “Akhirnya kau mulai paham seni bela diri. Tapi kenapa harus mematahkan tulangnya di siang bolong, di depan kamera CCTV?”
Ragna mengangkat bahu, tampak sama sekali tidak bersalah. “Oh, aku cuma ingin menunjukkan ke Papa kalau aku bisa. Lagipula, kalau terekam, itu bukti kalau aku berbakat, kan?”
Verio memijat pelipisnya, menghela napas panjang. “Berbakat? Kau lebih mirip headline berita kriminal.”
Ragna terkekeh kecil. “Headline yang mana? Yang bilang ‘Anak Montir Menjadi Kebanggaan Kota’? Kayaknya itu cocok, ya.”
“Tentu,” balas Verio sambil menepuk kepala Ragna dengan ringan. “Setelah itu, aku akan siapkan bail bond paling mahal untuk keluarkan kau dari penjara.”
Ragna hanya tersenyum tipis, menatap Edgar yang kini tergeletak tak berdaya di tanah. “Nggak usah repot-repot, Pa. Kalau aku masuk penjara, aku bakal tetap jadi bintang di sana.”
Verio menghela napas lagi, tapi senyuman kecil di wajahnya menunjukkan bahwa dia, meskipun enggan mengakuinya, cukup terkesan dengan aksi putrinya itu. “Ayo pulang. Sebelum wartawan datang.”
Ragna mengangguk, mengambil tasnya, dan mengikuti Verio menuju mobil. Di belakang mereka, Edgar dan anak buahnya hanya bisa meringkuk, menahan rasa sakit dan rasa malu.
Setelah masuk ke dalam mobil, Ragna duduk santai di kursi penumpang sambil menyilangkan kakinya. Wajahnya terlihat puas, seperti baru saja memenangkan kejuaraan tinju tingkat nasional.
Verio meliriknya sekilas sebelum menyalakan mesin mobil. “Kau tahu, kalau terus seperti ini, kau akan membuatku jadi langganan kantor polisi.”
Ragna terkekeh kecil. “Papa harusnya bangga punya anak yang bisa jaga diri. Lagipula, aku nggak mulai masalah, mereka yang cari gara-gara duluan.”
“Kau benar. Tapi kau juga tidak menyelesaikan masalah dengan cara yang... biasa,” balas Verio sambil menginjak gas.
“Biasa itu membosankan, Pa. Lagipula, aku cuma memberi mereka pelajaran supaya nggak seenaknya lagi. Apa salahnya?”
Verio menghela napas panjang. “Salahnya adalah kau lupa kalau dunia ini penuh kamera. Apa kau pikir CCTV itu hanya untuk dekorasi?”
Ragna menyeringai, menatap keluar jendela. “Kalau mereka berani lapor, aku tinggal bilang itu pembelaan diri. Bukankah hukum ada di pihak yang tertindas?”
“Dan kau tertindas? Kau melumpuhkan hampir sepuluh orang sendirian tadi,” balas Verio sarkastis.
“Detail kecil, Pa. Detail kecil,” ucap Ragna santai sambil menyandarkan kepalanya ke kursi.
Verio menggeleng, menahan tawa. Meski kesal, ada rasa bangga di hatinya melihat keberanian putrinya yang tak kenal takut. “Tapi serius, kau perlu mulai belajar menahan diri. Dunia ini tidak selalu hitam dan putih, Ragna.”
“Aku tahu, Pa. Tapi kalau aku nggak bertindak, mereka akan terus berpikir aku lemah. Dan aku benci terlihat lemah,” jawab Ragna dengan nada serius untuk pertama kalinya.
Verio terdiam sejenak, mengerti apa yang dirasakan putrinya. Dia tahu kehidupan Ragna tidak pernah mudah, dan dia menghormati cara gadis itu melindungi dirinya sendiri, meski caranya sering kali berlebihan.
“Baiklah,” kata Verio akhirnya. “Tapi kalau kau sampai masuk berita kriminal, jangan harap aku akan membelamu.”
Ragna tersenyum lebar, mengetahui itu hanya gertakan. “Siap, Kapten! Aku janji akan lebih bijak... mungkin.”
Verio mendesah, tapi tak bisa menahan senyuman kecil yang muncul di sudut bibirnya. “Kau benar-benar seperti ibumu, tahu?”
Ragna menoleh dengan rasa penasaran yang terpancar di matanya. “Apa aku pernah dibilang mirip dia sebelumnya?”
Verio hanya tersenyum samar, menghindari pertanyaan itu, lalu mengganti topik pembicaraan. “Jadi, apa kau mau makan dulu sebelum pulang? Atau kau mau langsung pergi mencari masalah baru?”
“Makan dulu, dong. Aku lapar. Berkelahi itu butuh energi, tahu,” jawab Ragna sambil mengusap perutnya.
Verio tertawa kecil. “Baiklah, anak pembuat onar. Mari kita isi perutmu sebelum kau mulai hobi baru yang lebih ekstrem.”
Mereka pun melaju meninggalkan area sekolah, dengan tawa kecil dari Verio dan senyum penuh arti dari Ragna. Di antara segala kekacauan, ada satu hal yang pasti—hubungan mereka memang tidak biasa, tapi keduanya selalu saling mengerti dengan cara yang unik.
Semangat author...jangan lupa mampir 💜