Di sekolah, Dikta jatuh hati pada gadis pengagum rahasia yang sering mengirimkan surat cinta di bawah kolong mejanya. Gadis itu memiliki julukan Nona Ikan Guppy yang menjadi candunya Dikta setiap hari.
Akan tetapi, dunia Dikta menjadi semrawut dikarenakan pintu dimensi lain yang berada di perpustakaan rumahnya terbuka! Pintu itu membawanya kepada sosok gadis lain agar melupakan Nona Ikan Guppy.
Apakah Dikta akan bertahan dengan dunianya atau tergoda untuk memilih dimensi lain sebagai rumah barunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellowchipsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berdua’an Mencari Camilan
...٩꒰。•‿•。꒱۶...
...𝙏𝙐𝘼𝙉 𝙆𝙐𝘿𝘼 𝙇𝘼𝙐𝙏 & 𝙉𝙊𝙉𝘼 𝙄𝙆𝘼𝙉 𝙂𝙐𝙋𝙋𝙔...
...© Yellowchipsz...
...—Waktu berdua yang manis menciptakan tawa romantis.—...
...꒰✘Д✘◍꒱...
Sebelum bertualang mencari camilan bersama Dikta, Saila berlari-lari kecil ke ruangan pribadi mamanya terlebih dahulu. "Diktaaa, tunggu! Aku mau ambil cardigan dulu!"
*Cardigan: Jenis pakaian yang cocok digunakan saat cuaca dingin
Kekhawatiran menguasai Dikta saat dirinya melihat Saila beringsut lincah di atas lantai rumah sakit yang licin. "P-pelan-pelan, Saila. Nggak akan kutinggal," cemasnya, lalu diiringi kekehan gemas terhadap gadis itu.
Sunyi sejenak di kala Dikta menunggu kesiapan Saila. Tiba-tiba suara laki-laki tak asing menggemparkan jiwanya.
"Ambillah."
Dikta membatin jeri, Suara Bang Dirham?!
Ia memutar badannya untuk menelaah kondisi sekitar. Hanya ada beberapa perawat wanita melintas di dekatnya. Kemudian, gelombang suara itu menerpa indra pendengarnya lagi.
"Hei, Pangeran nakal. Ambil pedangnya."
"Bang???" sahut Dikta membalas suara itu dengan netra basah disertai guncangan tubuh.
Suara Dirham terus berdengung di telinganya. Tatapan Dikta menggelap dipenuhi rasa kalut dan takut yang menghujam atmanya. Tuturan lembut abangnya terdengar begitu sopan menembus relung hati, tapi Dikta tidak mengerti maksud kata pangeran dan pedang yang dibicarakan.
Sepertinya, kegilaan yang nyata sudah menggerogoti kewarasan Dikta akibat terlalu mengagungkan rindu pada wujud Dirham.
Saila keluar dari ruangan mamanya hanya dalam beberapa detik, kini ia tampil bersama cardigan krem yang membalut cantik tubuhnya.
"Udaaah!" seru Saila sembari mendatangi Dikta.
Dikta separuh tersadar dari kegilaannya sendiri. Suara abangnya lenyap seketika. Atmosfer sekitar pun diramaikan oleh lisan Saila yang memuja-muja namanya.
Dikta beribu merindu dengan Dirham, tapi aura suara tadi membuatnya merinding. Syukurnya, suara Saila menyelamatkannya dari kejerihan abstrak itu.
"Dikta ..., Dikta ..., Dikta ...," panggil Saila manja, lalu menatap dengan imut.
"Iya, Saila???" jawab Dikta kaget.
"Dikta kenapa?" tanya Saila cemas melihat Dikta yang gelisah. "Apa masih pusing mikirin keadaan Lingga?"
"Mungkin ini efek aku udah kelaperan," jawab Dikta berusaha biasa lagi.
"Ya udah. Ayo, kita berangkat sekarang!" ajak Saila mengerutkan hidung kecilnya hingga membuat Dikta tersenyum hangat kembali.
Mereka berjalan beriringan diselimuti romansa yang terpendam.
"Dingin, ya?" tanya Dikta memperhatikan Saila mengenakan pakaian berbahan rajutan, tapi lebih ringan.
"He'em. Dikta nggak kedinginan? Di luar juga masih gerimis," kata Saila yang berjalan makin memepet pada Dikta. Dia tersipu melihat bisep Dikta yang terekspos lantaran hanya mengenakan kaos oblong putih.
"Udah biasa sama dinginnya hawa hujan," jawab Dikta memperhatikan kelingking kecil Saila.
"Apa Dikta juga tahan sama dinginnya hawa salju?" tanya Saila mencari topik.
"Tahan, lah," kekeh Dikta.
"Beneran???" takjub Saila.
"Salju kulkas. Wleee!" ledek Dikta berlari dikejar Saila.
"Uuuh!" sebal Saila yang lanjut tertawa mendengarnya.
Lengan mereka bertabrakan ringan, sampai Dikta menautkan kelingking nakalnya pada kelingking Saila yang mungil.
Sekujur tubuh Saila menghangat hanya karena sentuhan kecil kelingking Dikta. Pipi chubby-nya mulai memanas disertai kerlip menatap dalam mata Dikta yang mencuri pandang.
"Kalau nggak suka, aku akan melepasnya," lirih Dikta dengan ekspresi muka hangus.
"Suka banget!" ungkap Saila yang menjepit erat kelingking ketua kelas barunya.
Dikta tersenyum lebar dan berusaha menutupi ledakan hasrat kasih di dalam hatinya.
Beberapa perawat rumah sakit membicarakan Saila. Mereka menduga anak pemilik rumah sakit Permata Laut tersebut sudah putus dari Arjuna dan sekarang punya pacar baru yang manis dan atletis.
Dikta mengiringi Saila dan membukakan pintu mobil untuk gadis itu. Setelahnya, giliran dia yang masuk dan siap menyetir mobil Lingga.
Jika saja keadaan Lingga tidak membaik, mungkin Dikta akan susah tersenyum seperti sekarang. Terlebih saat ini dia pergi hanya berdua dengan Saila, rasanya ini di luar perkiraan harapan.
Perjalanan dimulai, tapi belum ada yang memulai dialog. Dikta menyetir dengan pikiran terpusat pada sosok Arjuna yang sudah membuatnya patah simpati. Dikta mengingat kejadian di masa kelas sepuluh, di mana dia menolong Arjuna yang dibully oleh Bruno dan antek-anteknya di gedung belakang sekolah.
Flashback on
"Ngaca lo!" amuk Bruno menendang tubuh Arjuna sampai menabrak dinding lusuh.
Kacamata Arjuna terhempas dan menjadi injakan para geng Skull yang baru menetas di wilayah sekolah.
"Apa salah gue?" tanya Arjuna menunduk dan hilang daya karena dikepung.
"Lo tahu, nggak? Saila anak IPA Satu di kelas lo itu target gue! Kenapa lo bisa pulang bareng sama dia?" tanya Bruno menempeleng kasar kepala Arjuna. "Mentang-mentang mobil lo bagus! Bisa sombong lo?"
"Saila itu dari kecil udah jadi punya gue. Lo mimpi ngarepin dia," tantang Arjuna mencoba berani meski tubuhnya tinggal dimangsa beramai-ramai.
Bruno berniat meninju kepala Arjuna.
"Oy!" suara Dikta yang lantang membuat konsentrasi geng Skull terpecah.
"Siapa lo?!" geram Bruno terganggu melihat bayang-bayang seseorang makin melekat ke arah mereka.
Dikta berjalan santai mengantongi buku tangannya ke saku celana. "Skull?" kekeh Dikta membaca lambang pada jaket para berandal sekolah.
Bruno berhenti menyiksa Arjuna dan berusaha mengingat wajah sosok yang datang itu, "Lo anak IPA Dua yang jadi perbincangan guru karena nggak sengaja matahin kaki meja, kan? Ngapain lo?! Nggak ada meja di sini buat lo patahin!"
"Hahahahah!" tawa anak-anak Skull lainnya mengejek Dikta.
"Gue cuma rindu teman SMP," jawab Dikta membicarakan Arjuna.
"Hahahah!" tawa Bruno geli, "Lo temenan sama anak cupu dan lemah beginian?!"
"Karena nggak ada meja di sini," kata Dikta dengan amatan garang, "kalian semua yang jadi mejanya!"
Setelah semua perdebatan itu, Dikta berhasil melumpuhkan geng Skull dengan peluh puas yang membanjir. Namun, apa balasan Arjuna?
"Enyah," usir Arjuna pada Dikta yang menghalangi jalannya, "kita nggak pernah temenan."
Dikta pikir masalahnya dengan Arjuna berakhir saat SMP. Ternyata, Arjuna menjadi dingin dan memendam benci padanya sampai saat ini.
Sejak kejadian bully itu, Arjuna memutar otak dan mulai menggunakan kekuasaan hebat ayahnya untuk menaklukkan Bruno dan geng Skull. Maka, Bruno tidak berani macam-macam lagi dengan Arjuna, malah dia mengikuti perintah Arjuna yang mengiming-iminginya uang banyak meski Bruno harus menjadi babu.
Arjuna sampai rela berpisah beberapa waktu dari kacamatanya, hanya digunakan ketika ia kesulitan membaca. Semua itu demi penampilan barunya yang tidak ingin dicap terlalu cupu.
Selain itu, karena ketangguhan fisik yang dimiliki oleh Dikta, Bruno tertarik dan berusaha mencari muka untuk meminta maaf. Bruno juga berharap supaya Dikta mau bergabung ke dalam geng Skull meski tangannya sempat cedera gara-gara serangan yang Dikta berikan. Namun, Dikta menolak dengan keras, tidak mungkin bersekutu dengan geng pembully.
Flashback off
"Dikta, sejak kapan bisa menyetir mobil?" tanya Saila membuyarkan keheningan Dikta, "Kalau aku bisa nyetir baru-baru ini, tapi belum dibolehin mama bawa mobil sendiri."
Dikta tak menyangka, jika sedekat ini ternyata Saila cukup banyak tanya. Tentu saja Dikta senang akan hal itu. "Oh, gitu ya. Kalau aku sejak kelas sepuluh. Lingga sendiri yang ngajarin aku nyetir."
"Benarkah???!" takjub Saila. "Pasti seru, ya!"
"He'em. Mobilnya pernah penyok gara-gara aku nggak sengaja nabrak kios buah di pasar," ungkap Dikta mengingat momen geger itu, "Dan Lingga nggak marah, malah ngetawain bagian mobilnya yang penyok. Udah gila emang dia tuh!"
"Haha!" tawa Saila geli. "Bisa-bisanya Lingga nggak marah perkara mobil, tapi malah marah gara-gara buku Bukan Malaikat Hujan yang sering kalian bahas."
"Hm, soal buku itu. Mental Lingga terguncang membacanya, sama kayak aku. Tulisan mendiang abangku itu nyata bagi kami. Jadi, kusarankan kamu nggak usah penasaran ya, Saila," bujuk Dikta yang ingin menipiskan niat Saila untuk mengetahui tentang buku itu.
"Hmmm," pasrah Saila tentang buku tersebut. Namun, dia malah kepo mengenai abangnya Dikta yang sudah tiada. "Dikta, abangmu pasti penulis andal sampai membuat kalian gila karena tulisannya. Boleh aku tahu lebih banyak tentang sosok bang Dirham? Apa dia lucu kayak Dikta? Hihi."
Dikta tersenyum ringan mendengar pertanyaan itu. "Dia bukan penulis buku seperti yang kamu bayangkan, tapi seorang nahkoda yang gigih. Saat pulang berlayar, bang Dirham akan menguasai perpustakaan di rumah, entah itu membaca atau pun menulis ringan. Dia sangat sempurna, Saila. Pintar, ganteng, penyayang, receh, pembawaannya lebih tenang, dan menghasilkan banyak uang. Aku bukan apa-apa dibandingkan bang Dirham. Dia susu vanilla kesayangan nenek, sedangkan aku susu cokelat yang cuma bisa bikin nenek pusing," jelas Dikta dengan netra memanas. Segera dia menghadap ke atas sebentar untuk melenyapkan air mata rindu yang menusuk.
Saila menggeleng, "Dikta nggak boleh begitu! Dikta adalah adiknya. Pasti Dikta bisa kayak bang Dirham! Tapi lebih baik Dikta menjadi diri sendiri karena setiap makhluk punya keunikan yang nggak dimiliki makhluk lain. Aku juga yakin kalau nenek sayang banget sama Dikta! Kalau disuruh milih, aku lebih napsu minum susu cokelat daripada vanilla!"
"Huahahah!" ledak Dikta mendengar kata napsu yang Saila lontarkan. Padahal, di awal dia sudah terharu karena semangat yang diberikan Saila kepadanya.
"Aku serius, Dikta!" manyun Saila, "Karena aku memang lebih suka rasa cokelat, sedangkan orang lain juga punya selera. Ada yang pecinta rasa cokelat, ada yang maniak vanilla."
"Makasih, Saila," lirih Dikta kembali bersemangat.
"Dan aku tertawan manisnya cowok tan di sebelahku ini," lirih Saila amat kecil.
"Hah? Apa tadi?" tanya Dikta minta diulangi.
Bersambung ... 👑
dipikir saila mainan?/Sob/