"Kamu tahu arti namaku?" Ucap Acel saat mereka duduk di pinggir pantai menikmati matahari tenggelam sore itu sembilan tahun yang lalu.
"Langit senja. Akash berarti langit yang menggambarkan keindahan langit senja." jawab Zea yang membuat Acel terkejut tak menyangka kekasihnya itu tahu arti namanya.
"Secinta itukah kamu padaku, sampai sampai kamu mencari arti namaku?"
"Hmm."
Acel tersenyum senang, menyentuh wajah lembut itu dan membelai rambut panjangnya. "Terimakasih karena sudah mencintaiku, sayang. Perjuanganku untuk membuat kamu mencintaiku tidak sia sia."
Air mata menetes dari pelupuk mata Zea kala mengingat kembali masa masa indah itu. Masa yang tidak akan pernah terulang lagi. Masa yang kini hanya menjadi kenangan yang mungkin hanya dirinya sendiri yang mengingatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia seperti apa ini?!
"Nona, mari saya bantu." seorang pelayan berani keluar dari kamarnya begitu dia tidak lagi mendengar suara Amel di dapur.
Dia membantu Zea berdiri menjauh dari pecahan kaca, lalu membawakan air besih untuk menghilangkan rasa perih dimata Zea.
"Terimakasih, Bik."
"Sebentar saya ambilkan obat merah dulu, Nona."
Kemudian wanita paruh baya itu mengobati luka di kedua telapak tangan Zea dengan obat merah, tidak lupa dia juga mengobati luka di ujung jari kaki Zea.
"Apa Bibik tidak takut dihukum sama Nyonya?"
"Tidak masalah. Saya sudah sering dihukum."
"Maafkan saya, Bik."
"Saya yang harusnya minta maaf sama Nona, karena saya tidak melakukan apapun saat nona Amel menyakiti Nona."
Zea merasa terharu, disituasi seperti ini, disaat semua orang dirumah ini tidak peduli padanya, rupanya ada seorang wanita tua baik hati yang berani membantah majikannya demi membantunya.
"Lukanya sudah diobati, sebaiknya Nona kembali kekamar untuk istirahat."
"Sekali lagi terimakasih, Bik."
"Sama sama, Nona."
Dengan sangat hati hati dia membantu memapah Zea menaiki anak tangga menuju kamarnya. Dia mengantarkan Zea sampai benar benar melihat sendiri Zea berbaring nyaman di tempat tidurnya, barulah dia keluar dari kamar itu.
Begitu tiba didapur, wanita paruh baya itu mengubah posisi berdirinya menjadi sangat tegap. Dia mengeluarkan hp dari saku daster yang dipakainya untuk kemudian menelpon seseorang.
"Nona Zea sudah tidur. Saya sudah mengobati lukanya." ucapnya dengan nada suara yang berbeda dengan saat dia menjadi pelayan tua.
"Pastikan kejadian seperti tadi tidak pernah terulang lagi, atau kamu yang akan saya jadikan seperti itu!" Titah seseorang dari seberang sana.
"Maafkan saya. Saya akan lebih teliti mengawasi nona Zea."
Panggilan berakhir, wanita paruh baya itu melanjutkan tugasnya untuk kemudian menghapus semua jejak cctv saat dia membantu Zea barusan. Dia ditugaskan oleh seseorang untuk menjaga Zea.
.
.
.
Mike dan Acel masih berjuang meretas jaringan pengaman pintu masuk ke markas bawah tanah milik Tiger.
"Tuan muda, kita harus kembali. Sejauh ini Boby masih aman. Kita tidak bisa meneruskan rencana berbahaya ini tanpa perlengkapan." Mike menyarankan setelah dia berhasil meretas jaringan keamanan yang malah memperlihatkan betapa bahayanya jika mereka tetap nekat.
Acel pun setuju. Mereka segera meninggalkan tempat itu. Tapi, sialnya musuh menangkap pergerakan mereka.
Dor
Dor
"Akh..."
"Tuan muda!"
Mike sangat khawatir, karena satu timah panas itu begitu cepat dan tepat sasaran mengenai tepat di bahunya.
"Bertahanlah Tuan muda."
Mereka berlari semakin jauh hingga berhasil lolos dari kejaran para musuh. Begitu tiba di pinggir sungai, Mike segera menghubungi Lui. Lui yang mendapat kabar itu segera menyusul.
Tidak berpikir lama, Lui dan Mike langsung membawa Acel ke rumah seorang dokter bedah sekaligus sahabat baik Acel. Beruntungnya dokter itu sedang di rumahnya.
"Ya ampun! Ada apa ini?!" wanita seumuran Acel itu kaget melihat luka tembak di bahu seorang Akash.
Dia yang panik dan khawatir melihat darah yang terus keluar dibahu Acel dan hampir kehilangan kesadaran pun, langsung saja membersihkan luka itu, membiusnya dan mencoba mengeluarkan timah panas yang bersarang dibahu Acel, tidak terlalu dalam namun masih mengeluarkan asap.
"Apa yang terjadi? Mengapa Acel sampai mendapat luka tembak seperti ini?!" Celoteh Queen, sahabat baiknya yang merupakan seorang dokter bedah.
"Kenapa kalian diam saja? Apa yang terjadi?!" dia menatap Lui dan Mike bergantian dengan tatapan kesal.
"Beruntung aku sedang tidak tugas di luar kota. Jika tidak, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Acel." celotehnya sambil terus memeriksa keadaan Acel setelah berhasil mengeluarkan timah panas dari bahu Acel dan menjahit lukanya.
.
.
.
Tiga hari kemudian. Acel tidak ada kabar. Alia sendiri juga sangat khawatir hingga memerintahkan anak buahnya untuk mencari Acel karena besok adalah hari pelantikannya. Sedangkan Lui, Boby dan Mike sendiri pun juga tidak bisa dihubungi sama sekali.
Zea sendiri, awalnya tidak begitu memperdulikan ketidak pulangan Acel. Tapi, diam diam, dia pun merasa khawatir, saat mengetahui Mama mertuanya bahkan juga tidak bisa menghubungi putranya itu.
Ditengah hiruk pikuk kekhawatiran Alia yang membuat semua orang di rumah utama ikut gaduh, Zea malah memikirkan sesuatu yang lain. Digunakannya kesempatan itu untuk masuk ke ruang kerja Alia guna mencari tahu sesuatu yang mungkin terhubung dengan kecelakaan Sanah dan kematian Rudi.
Zea sudah berada di ruang kerja Alia, dia pun mulai mencari cari di rak buku, di tumpukan file dan di dalam laci yang tidak terkunci. Namun, tidak ada satu hal yang mencurigakan pun yang dia temui.
Hingga kedua sorot matanya menangkap satu brankas yang terkunci rapat dengan akses pembuka menggunakan password. "Apa yang tersimpan disana?!" bisik Zea penasaran.
Tanpa pikir panjang, dia pun mulai mengutak atik brankas itu. Namun semua angka yang dia masukkan salah. Dia tidak menyerah, mencoba sekali lagi dengan menggunakan angka pada tanggal lahir Acel dan...
Bip
Brankas terbuka. Dengan cepat Zea memeriksa isinya yang ternyata ada tiga amplop besar dengan warna yang berbeda. Zea membuka amplop pertama yang isinya adalah surat perjanjian sebelum menikah antara Alia dan Handi.
Mata Alia membola kala mengetahui hal mengejutkan itu. "Rahasia macam apa ini?!"
Tap
Tap
Zea mendengar suara langkah kaki semakin mendekat. Dia pun mulai khawatir dan kembali memasukkan amplop itu kedalam brangkas. Merapikan semuanya seperti semula.
"Nyonya!" seru wanita paruh baya yang berlari mengejar langkah Alia yang hampir tiba di ruangannya.
"Ada apa, Bik?"
"Ada telpon dari Mike." ucapnya.
Segera Alia mengambil alih telepon seluler dari tangan pembantunya itu dan meletakkan ketelinganya.
"Mike, dimana tuan muda Akash?" tanyanya, namun dia tidak mendengar suara Mike dengan jelas. "Halo, Mike!"
"Maaf Nyonya, sepertinya jaringannya buruk. Coba Nyonya bawa ke depan." sarannya yang langsung diikuti oleh Alia.
Begitu Alia menjauh, pembantu itu langsung membuka pintu ruangan yang mana saat itu Zea sedang menguping di balik daun pintu. Begitu pintu dibuka, tubuh rapuh Zea terdorong kebelakang pintu.
"Nona Zea!" wanita itu mencari keberadaan Zea.
"Bik, aku disini!" Seru Zea dari belakang pintu.
"Nona! Ya ampun, Nona bersembunyi di belakang pintu?"
"Aku tidak. Bibik yang mendorong pintu..."
"Maafkan saya, Nona." membantu Zea berdiri.
"Kita harus segera meninggalkan ruangan ini sebelum Nyonya Alia kembali."
Bik Maya segera mengantar Zea keluar dari ruangan itu menuju kamarnya, kemudian dia kembali sendirian keruangan Alia untuk merapikan semuanya dan menghapus jejak Zea dari ruangan itu. Tidak lupa, seperti biasa Maya menghapus jejek rekam cctv yang memperlihatkan tindakan Zea hari ini