Revisi
Ada beberapa hal yang dirasa kurang memuaskan, jadi diputuskan untuk merevisi bagian awal cerita.
Petugas kepolisian Sektor K menemukan mayat di sebuah villa terpencil. Di samping mayat ada sosok perempuan cantik misterius. Kasus penemuan mayat itu nyatanya hanya sebuah awal dari rentetan kejadian aneh dan membingungkan di wilayah kepolisian resort kota T.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lastri penari di dalam air
Tarian di bawah sinar rembulan, pertunjukan yang tidak pernah Priyo kira akan menyaksikannya. Tubuh mungil di atas lempengan batu besar terus bergerak gemulai, dengan sorot mata tajam menantang, menggoda. Keringat mulai menetes dari kening Sang Penari menambah kesan seksi dan panas.
Napas Priyo mulai memburu. Darah terpompa lebih cepat, gairah menggebu hingga bola matanya melotot tak mampu berpaling. Lastri Sang penari akhirnya berhenti. Membungkuk penuh kebanggaan. Lalu detik berikutnya dia menanggalkan semua pakaiannya.
Mata Priyo tak berkedip. Tentu saja, pria mana yang akan melewatkan pemandangan indah mendebarkan di hadapannya. Lastri berdiri mematung dengan senyumnya yang merekah.
"Tubuhku gerah. Tak bisakah kita mandi bersama Kang?" goda Lastri. Kemudian berbalik badan menunjukkan punggungnya yang putih mulus di bawah rembulan. Bagaikan nektar yang siap dihisap oleh kumbang. Mahkota bunga yang merah merekah di hadapan Priyo.
Lastri melompat ke sungai, berenang di kegelapan malam. Dengan terburu-buru, Priyo melepas sepatu dan semua pakaiannya. Tubuh laki-laki itu cukup atletis menandakan dirinya tidak lupa berolahraga.
Priyo ikut menceburkan diri ke dalam air sungai. Rupanya tak sedingin yang dia kira. Lastri berenang ke tepi dan Priyo membuntutinya. Hingga akhirnya laki-laki itu berhasil mendekap Sang Penari dari belakang.
"Bolehkah seperti ini, meski kita baru berkenalan?" tanya Priyo ragu, meski napasnya sudah memburu. Lastri tersenyum simpul.
"Kenapa ragu? Itulah enaknya tinggal di desa ini Kang. Semua yang kamu inginkan, bisa kamu dapatkan. Kami tidak memandangmu berdasar pangkat atau kekayaan. Asalkan kamu bersedia bersama kami seterusnya, semua akan kuberikan," jawab Lastri kalem.
"Aku telah jatuh hati padamu. Bagaimana ini?" ucap Priyo sembari memandangi bola mata Lastri. Mereka berdua terlihat seperti sepasang katak di dalam air.
"Mudah saja Kang. Berjanjilah untuk bersedia menjadi bagian dari kami di desa ini disaksikan oleh gemericik air, maka aku akan menjadi milikmu," balas Lastri. Perempuan itu berbalik badan. Kini Priyo dan Lastri berhadap-hadapan. Aroma melati menguar dari tubuh perempuan berparas ayu itu.
"Aku berjanji. Bahkan jika kamu minta aku untuk meninggalkan karier ku pun aku bersedia," jawab Priyo terburu-buru. Pikirannya sudah kacau tak mampu lagi berpikir jernih kala kemolekan tubuh Lastri terpampang di hadapannya.
"Kamu memberikan duniamu? Sungguh?" desak Lastri.
"Iya." Priyo mengangguk. Dia mendekatkan wajahnya. Tanpa diduga Lastri menyambutnya. Keduanya bergumul di tepian sungai. Kemudian berlanjut ke bagian tengah sungai dengan airnya yang cukup dalam. Mereka berenang dengan dua tubuh yang menyatu.
"Ikut denganku ya Kang," pinta Lastri manja. Priyo mengangguk yakin.
Tiba-tiba, tubuh Lastri terasa berat. Priyo yang awalnya menikmati mendekap perempuan itu, terseret masuk ke dalam air. Saat Priyo hendak melepas dekapannya, Lastri mencengkeram erat tubuh sang petugas kepolisian.
Semakin dalam terseret arus air, Priyo merasakan sesak di dadanya. Priyo mengayunkan kaki, tetapi percuma. Tubuhnya terus jatuh semakin dalam.
Priyo merasakan kepalanya yang pusing. Paru-paru yang hendak meledak meminta udara. Ingin berteriak tetapi tak bisa. Mulutnya dibungkam dengan puluhan kubik air.
Saat pandangan Priyo mulai buram, wajah Lastri tampak berbeda. Perempuan itu berubah. Bibirnya yang seperti ceri berubah ungu. Kulitnya putih pucat dan tampak berkerut. Kuku tangan yang memanjang mencengkeram dan menusuk perut Priyo.
"Kang, kita pulang," bisik Lastri jelas. Wajahnya berubah sendu. Priyo mengejang sesaat. Seluruh organ tubuhnya dipenuhi oleh air.
Sementara itu, Fudin sudah melangkah sampai di perumahan warga. Dia berhasil mendapatkan sinyal. Dengan wajah sumringah segera mengirimkan pesan pada pacarnya.
Sayang, cepet bobok. Nais drim. I love you sooooo much. Muach (emot love sekebon+bibir merah)
Pesan pun terkirim. Fudin bernapas lega. Setelah mengirim pesan, Fudin menyadari lingkungan tempat tinggal warga desa Karang benar-benar sepi. Bahkan beberapa rumah tampak gelap gulita. Seolah tidak ada yang menempati rumah-rumah bergaya joglo itu.
Di salah satu rumah yang lampu terasnya menyala redup, tampak seorang laki-laki yang tengah menyesap kopi. Laki-laki itu mengangguk dan tersenyum sopan pada Fudin.
"Lagi nyari sinyal Pak," ucap Fudin meski tidak ditanya.
"Bapak nggak lihat tayub?" tanya Fudin kemudian. Dia ingin berbasa-basi sebentar.
"Tayub?" Laki-laki tua tampak kebingungan.
"Iya. Di balai desa kan ada tayub Pak. Ramai banget. Wah, Anda ketinggalan nih. Monggo," ucap Fudin sambil tersenyum.
"Tayub ndas e pethal." Laki-laki tua mengumpat lirih. Fudin mendengarnya tapi enggan berdebat. Dia berpikir mungkin Si Tua itu sudah pikun. Lagipula dia kapok beradu otot dengan warga desa meski sudah tua sekalipun. Tenaganya tidak main-main. Bahkan didorong sekuat tenaga juga tetap bergeming.
Fudin kembali ke balai desa. Tujuannya untuk mencari sinyal sudah terpenuhi. Dia ingin mengajak Priyo kembali ke villa. Namun apa yang dilihatnya saat sampai di balai desa membuat tubuhnya kaku untuk sesaat.
"Cik! Apa ini? Kenapa bisa? Mustahil!" pekik Fudin sendirian. Lututnya gemetar.
Balai desa gelap gulita, sepi dan sunyi. Tidak ada pagelaran tayub yang tadi terlihat sangat meriah. Tidak ada seorang pun disana. Lalu, lampu dan obor lenyap hanya dalam hitungan menit.
Di hadapan Fudin hanya ada balai desa dengan pelatarannya yang dipenuhi sampah daun bambu kering. Bunyi gong yang tadi terdengar kini berganti dengan bunyi pohon bambu yang beradu, berderak dengan suaranya yang khas.
"Lalu dimana Priyo? Hoe! Janc*k!" Umpat Fudin. Bulu kuduknya berdiri.
Kakinya yang gemetar dipaksakan untuk berlari. Fudin ingin segera kembali ke villa dan mengajak Hartono untuk mencari Priyo. Dia khawatir Priyo kalap, kobeng, disembunyikan oleh sosok penunggu hutan bambu.
Pagelaran tayub, pesta malam yang seharusnya tidak ada di desa. Fudin terus mengayun langkah. Berlomba dengan degup jantungnya yang tak berirama. Rasa takut membuatnya melupakan lelah. Bahkan saat keringat terus mengalir di tengah udara yang dingin tidak menghentikan ayunan kaki dari petugas berwajah bulat itu.
Sampai di villa, terlihat Hartono sedang berjongkok di depan tenda memunggungi Fudin. Kulit kacang berserakan di tanah. Fudin merasa heran, darimana Hartono mendapatkan kacang rebus tersebut.
"Pak Har, apa Priyo sudah kembali kesini?" tanya Fudin sembari mengatur napas.
Hartono diam saja tak menyahut. Fudin mendekatinya. Tiba-tiba saja Hartono menoleh, menunjukkan ekspresi yang aneh. Laki-laki itu diam dengan wajah datar. Kepalanya dimiringkan ke kanan dan ke kiri dengan mata yang beberapa kali berkedip cepat.
Keterkejutan Fudin bertambah saat Hartono secara tiba-tiba melompat tinggi. Gerakannya lincah seperti seekor kera. Memungut sisa-sisa kacang rebus di tanah. Kemudian lari berkeliling di halaman villa.
"Pak Har? Ada apa ini? Pak Har kenapa?" pekik Fudin ketakutan.
Hartono berlari masuk ke dalam villa, menerobos garis polisi kemudian lenyap di telan kegelapan. Fudin hendak menyusul, tetapi kemudian mengurungkan niatnya. Ada puluhan pasang mata berwarna merah yang memandang Fudin dari dalam villa. Wajah-wajah yang tak terlihat, hanya berupa bayangan hitam berdiri tegak di setiap sudut bagian dalam villa. Fudin pun berlari tunggang langgang tidak tentu arah.